Sejak kemarin, kita masih duduk di sini. Di beranda. Sama-sama memeluk bongkahan batu yang tumbuh liar di kepala.  Batu-batu itu membesar melebihi otak kita yang beratnya hanya seribu empat ratus lima puluh lima gram. Kita saling diam, pura-pura tidak saling memedulikanÂ
Akhirnya aku yang menyerah kalah. Beberapa menit lalu bebatuan di kepala kulempar enyah. Kukira mereka sudah melesat jauh ke luar angkasa. Bergabung dengan asteroid dan meteorit, yang kadang kala bertabrakan, berhamburan kemana-mana. Lalu orang-orang di bumi menganggap batu-batu yang berjatuhan dari langit itu, bertuah.
Kini kepalaku sudah ringan, terbebaskan dari himpitan bebatuan. Sedang kamu tampak masih ragu, duduk di situ. Sibuk mengukir batu-batu.Â
Persetan! Kamu mengumpat sembari mengacak-acak isi kepala yang semakin berantakan. Membuang memori-memori usang yang tidak diperlukan. Menggantikannya dengan batu-batu yang sepertinya kian memberati ruang kepalamu.
Sementara aku yang menunggumu, menguap berkali-kali. Tak mampu lagi menahan rasa kantuk yang berat ini. Kamu tahu, bukan? Sedari kemarin aku belum istirahat. Jadi, sekarang izinkan aku merebahkan badan. Di ruang hatimu. Yang tak sempat disinggahi oleh batu-batu.
Sungguh. Yang terjadi setelahnya di luar dugaan. Kamu mengulurkan tangan. Merengkuh kepalaku perlahan. Membelasakkanya di atas dadamu yang bidang. Sudahlah sayang. Mari kita mulai semua dari awal. Maafkan segala kekhilafan.  Mendadak aku melihat. Bongkahan bebatuan yang semula kaupahat, di kepalamu. Satu persatu runtuh.
***
Malang, 03 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra