"Saat menceritakan sosok Salim, matamu berbinar, Nak. Dan itu cukup bagiku untuk membaca perasaanmu."
Ah, Ibu. Aku selalu tidak bisa berbohong padanya. Secuil pun tidak pernah bisa.
"Anarkali, kau paham apa yang Ibu maksudkan bukan? Kita dari kasta rendah, Nak. Tidak pantas memimpikan hal-hal di luar jangkauan kita," Ibu kembali mengingatkanku. Aku mengangguk.
Tapi anggukan itu ternyata berlawanan keras dengan hati nuraniku.
Kupastikan bahwa aku---memang telah benar-benar jatuh cinta.
***
Aku tengah berhias ketika seseorang membuka pintu ruangan. Salim!
"Anak Mandeera menari sebagus Ibunya," Salim mendekat dan berdiri di belakangku. Wajahnya yang tampan dengan sepasang mata elang menatapku melalui pantulan cermin. Bibirnya mengulum senyum. Membuat jantungku berdetak riuh tiada menentu.
"Mulai sekarang aku akan duduk di bangku paling depan untuk menyaksikan tarianmu," Salim masih belum mengalihkan pandangannya dariku.
"Aku---akan grogi menari di hadapanmu," sahutku gugup. Salim tertawa. Sederet giginya yang rapi terlihat indah.
***