Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Miss. Liz] Selamat Datang Mantra-mantra!

22 Agustus 2017   16:33 Diperbarui: 3 Agustus 2023   04:53 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Aku merapikan buku-buku yang berserak di atas meja. Anak-anak masih duduk terbengong-bengong di bangku mereka masing-masing.

"Kita sudah kembali ke kelas 8 A dengan selamat!" seruku memberi semangat. Kelas mendadak menjadi riuh. Bocah-bocah berseragam putih biru itu bergumam bagai dengung lebah. Mereka saling bertukar cerita. Pengalaman bertemu Dinosaurus beberapa menit lalu tampaknya membawa kesan tersendiri.

"Kukira---, ya, kukira kita tadi sudah menjadi santapan empuk hewan purbakala itu," Dirga berkata sembari tersenyum nyengir. Sementara Renata yang duduk tak jauh darinya, mencibir.

"Di antara kami, cuma kau tadi yang terlihat paling berani, Ga. Berani kabur duluan!" Renata menyindir. Teman-temannya yang lain tertawa. Mereka berebut memukul punggung Dirga. Tapi Dirga, bocah bertubuh gembul itu sama sekali tidak marah. Ia malah ikut tertawa.

Aku mendengarkan celoteh murid-muridku sembari berpikir. Andai pensil warisan Kakek itu tidak terbawa olehku, entah apa yang akan terjadi. Mungkin Dinosaurus yang kelaparan itu benar-benar sudah melahap kami.

"Miss. Liz, saya minta maaf. Saya mengakui sulap Anda sungguh sangat hebat. Di saat genting, Anda sigap menyelamatkan kami," Renata berdiri dan mengangguk hormat ke arahku. Sikapnya terlihat lebih lembut dari sebelumnya. Aku membalas anggukannya dengan senyum kecil. Meski dalam hati aku sempat membatin, andai saja ia tahu betapa paniknya aku saat itu, saat hewan purba itu siap menginjakan kakinya di atas kepala kami yang tengah berdiri bergerombol. Untunglah tanganku tanpa sengaja menyentuh pensil berkepala naga warisan Kakek yang terselip di saku kemejaku. Dan, cliing! Kami terpental kembali ke masa kini dalam waktu yang sungguh mepet sekali.


Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Kelas kembali riuh. Anak-anak berebut merapikan buku-buku yang sama sekali belum sempat terisi oleh materi pelajaran dariku.

"Miss. Liz. Saya berharap setiap hari ada pelajaran Matematika di kelas ini," Dirga berkata riang.

"Kau suka pelajaran Matematika, Boy?" sambutku senang. Bocah gembul itu menggeleng.

"Bukan itu maksud saya, Miss. Saya suka---mengalami hal-hal menegangkan seperti tadi. Saya yakin, bersama Anda kelas 8 A akan lebih sering mengalami petualangan seru."

Aku mengangkat bahu

***

Pemilik rumah kos bergegas menyongsongku begitu melihat aku datang. Perempuan setengah umur itu menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat tanpa berkata apa-apa. Aku sigap memasuki kamar. Kuamati sejenak amplop di tanganku.

Untuk Liz. Pengirim Basuki.

Basuki? Bukankah Basuki itu nama almarhum Kakekku?

Agak tergesa aku merobek amplop yang tampak sudah sangat tua dan lusuh itu. Terbaca olehku tahun pengirimannya. 1995. Bukankah itu tahun kelahiranku? Rupanya Kakek sudah mempersiapkan surat ini jauh-jauh waktu, sejak dua puluh dua tahun yang lalu.

Warna kertas surat itu sudah menguning. Saat kubuka, tidak tertulis kalimat apa pun sebagai tegur sapa. Hanya ada kata-kata asing yang berderet rapi.

Mungkinkah deretan kata-kata itu sejenis mantra? Bisa jadi. Kukira surat Kakek ini ada kaitannya dengan pensil antik itu.

Kuraih pensil berkepala naga yang tergeletak di atas meja. Lalu kucoba membaca salah satu huruf yang tertulis di secarik kertas yang masih berada di tanganku.

COLORIUS!

Tiba-tiba---entah dari mana datangnya, berpuluh celana kolor aneka warna menghujani kepalaku. Benda terbuat dari kain itu seolah tercurah dari atap kamar secara terus menerus, tiada henti, hingga tubuhku ternggelam dan hanya kepalaku saja yang terlihat.

"Kau salah baca, Liz. Lidahmu terlalu medok mengucapkannya. Gunakan dialek Inggris. Samarkan huruf 'r' nya."

Itu bisikan Kakek. Dan aku menurut. Kuucapkan sekali lagi kata yang baru saja kuucapkan dengan lidah kebule-bulean.

COLORIUS!

Mendadak tumpukan celana yang menimbunku hilang, bertukar dengan pendar pelangi. Indah sekali.

Sesaat lamanya mataku terhipnotis, termanjakan. Lalu tanpa sadar tanganku membentang dan bibirku berucap, "Terima kasih Kakek. Dan--- selamat datang mantra-mantra!"

***

Malang, 22 Agustus 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun