"Ndoro, saatnya ndoro putri berendam di padusan," Emban sepuh mengingatkan.
"Malam-malam begini, Bibi emban?" Ken Dedes mengernyitkan alis. Emban sepuh tersenyum simpul.
"Ini bulan purnama, Ndoro...."
"Oh, iya, aku lupa. Baiklah, siapkan segala sesuatunya."
Emban sepuh segera beranjak meninggalkan kamar. Sementara Ken Dedes berdiri menatap purnama yang sedari tadi mengintip dari balik jendela.
Dada perempuan itu penuh bergemuruh. Purnama di langit Tumapel malam ini begitu indah. Sesaat pandangannya terlempar jauh. Dan ia sedikit terkejut manakala tertangkap oleh sudut matanya sesosok bayangan. Sosok itu berjalan mengendap-endap di sekitar taman kaputren. Ken Dedes mengernyitkan alis. Perlahan ia mendekatkan diri pada bingkai jendela.Â
"Ndoro, ubarampe sudah siap," suara Emban sepuh mengagetkannya. Ken Dedes bersegera menutup jendela. Kemudian ia menoleh dan memberi tanda kepada abdi sepuhnya itu untuk bergegas mengikutinya.
Sepanjang perjalanan menuju padusan benak Ken Dedes tak henti bertanya-tanya. Bayangan siapakah tadi yang sempat dilihatnya? Orang jahatkah ia? Atau....
"Bibi emban, apakah Kangmas Tunggul Ametung berkenan mengunjungiku malam ini?" ujarnya berusaha menepis kegundahan.
"Ndoro kenapa bertanya begitu? Bukankah setiap bulan purnama Ndoro akuwu selalu berada di kaputren?"
"Oh Bibi, aku berharap Kangmas tidak mengunjungiku malam ini."