Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Purnama Cinta di Langit Tumapel

19 Oktober 2016   18:12 Diperbarui: 19 Oktober 2016   18:37 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kali Brahmana Lohgawe memergoki Ken Arok duduk menyendiri. Pandangan pemuda itu penuh binar mengarah pada satu tempat. Kaputren.

"Anakku, apa yang engkau pikirkan?" Brahmana bijak itu duduk di samping muridnya. Tangannya yang lembut menyentuh pundak pemuda kesayangannya itu.

"Guru, seperti yang pernah kusampaikan padamu. Aku jatuh hati pada istri akuwu itu."

Sang guru tidak segera menyahut. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ken Arok. 

"Guru, apakah perasaanku ini salah?" Ken Arok balas menatap gurunya. Brahmana Lohgawe menggeleng.

"Tak ada yang salah dengan perasaanmu, anakku. Cinta dan ambisi pada diri manusia sudah ada semenjak dilahirkan. Keduanya berusaha saling mendominasi. Sekarang yang ingin kutanyakan padamu, perasaanmu terhadap perempuan itu manakah yang lebih mendominasi?" 

Ke Arok terdiam. Hatinya diliputi kebimbangan.

"Jika itu cinta, maka kau akan menuai bahagia jika bisa mendapatkan perempuan itu. Tapi jika itu ambisi..." sang guru tidak melanjutkan kalimatnya. Ditatapnya kembali wajah Ken Arok.

"Guru..." Ken Arok menundukkan kepala.

"Anakku, aku sangat mengenal dirimu melebihi siapapun. Satu tarikan napas yang kau hela, itu kejujuran atau kebohongan, aku bisa merasakannya."

"Maafkan muridmu ini guru...."

"Bocah, sudahlah. Barangkali memang lelakon hidupmu harus seperti ini." Sang Brahmana berdiri. Disentuhnya sekali lagi pundak Ken Arok.

"Terima kasih guru telah berkenan memahamiku."

"Nak, boleh aku bertanya lagi?"

"Silakan guru."

"Modal apa yang engkau miliki demi mendapatkan Ken Dedes?"

Mendengar pertanyaan itu, Ken Arok mengeluarkan sebilah keris dari balik bajunya. Keris yang belum sempurna. Masih setengah jadi. Sang guru tampak sangat terkejut.

"Arok, apakah ini ada hubungannya dengan kematian Mpu Gandring dan Kebo Ijo?" bisik Brahmana seraya menyipitkan mata tuanya.

Kali ini pemuda bernama Ken Arok menganggukkan kepala tanpa ragu.

***

Ini purnama kedua sejak hati Ken Dedes kesengsem pada pemuda tampan itu. Dadanya yang penuh senantiasa membucah jika mengingat pertemuan pertama mereka. Perbincangan di dalam kereta saat berkeliling hutan Baboji, cukup berkesan bagi perempuan yang lama merindukan cinta sejati.

"Bibi emban, dia pemuda yang baik dan cerdas," Ken Dedes tak bisa menyembunyikan kekagumannya setiap membicarakan sosok gagah itu. Emban sepuh itu terlihat sangat gembira. Sudah lama ia tidak melihat senyum Ndoro putrinya sejak perempuan cantik itu diboyong ke kaputren ini. 

"Ndoro, saatnya ndoro putri berendam di padusan," Emban sepuh mengingatkan.

"Malam-malam begini, Bibi emban?" Ken Dedes mengernyitkan alis. Emban sepuh tersenyum simpul.

"Ini bulan purnama, Ndoro...."

"Oh, iya, aku lupa. Baiklah, siapkan segala sesuatunya."

Emban sepuh segera beranjak meninggalkan kamar. Sementara Ken Dedes berdiri menatap purnama yang sedari tadi mengintip dari balik jendela.

Dada perempuan itu penuh bergemuruh. Purnama di langit Tumapel malam ini begitu indah. Sesaat pandangannya terlempar jauh. Dan ia sedikit terkejut manakala tertangkap oleh sudut matanya sesosok bayangan. Sosok itu berjalan mengendap-endap di sekitar taman kaputren. Ken Dedes mengernyitkan alis. Perlahan ia mendekatkan diri pada bingkai jendela. 

"Ndoro, ubarampe sudah siap," suara Emban sepuh mengagetkannya. Ken Dedes bersegera menutup jendela. Kemudian ia menoleh dan memberi tanda kepada abdi sepuhnya itu untuk bergegas mengikutinya.

Sepanjang perjalanan menuju padusan benak Ken Dedes tak henti bertanya-tanya. Bayangan siapakah tadi yang sempat dilihatnya? Orang jahatkah ia? Atau....

"Bibi emban, apakah Kangmas Tunggul Ametung berkenan mengunjungiku malam ini?" ujarnya berusaha menepis kegundahan.

"Ndoro kenapa bertanya begitu? Bukankah setiap bulan purnama Ndoro akuwu selalu berada di kaputren?"

"Oh Bibi, aku berharap Kangmas tidak mengunjungiku malam ini."

"Kenapa begitu, Ndoro?"

"Entahlah."

Ken Dedes menghentikan langkah. Ia telah sampai di bibir padusan. Kakinya yang mulus masuk ke dalam air. Ia merasakan dingin yang menggigit. Namun ia tetap ingin melakukan ritual tapa kumkum.

"Bibi emban pergilah," ia menyuruh abdinya meninggalkan tempat. Selalu begitu. Setiap melakukan tapa kumkum, ia tak ingin ditemani oleh siapapun. Tak juga suaminya, akuwu Tunggul Ametung.

Pantulan bulan purnama menembus ke dalam air. Bergoyang-goyang tertiup angin. Ken Dedes sudah duduk bersila di atas batu besar yang memang disediakan untuk pelaksanaan ritualnya. Batu itu terletak tepat di bagian pusar padusan. 

Matanya yang bagus terpejam. Rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian tubuhnya yang tiada berbusana.

Sementara seseorang secara diam-diam menatapnya dari jauh. Berdecak kagum menikmati keindahan yang tiada terperi. Perempuan cantik di bawah naungan bulan purnama duduk bersila di tengah-tengah kolam. Bagai sebuah lukisan. Sebagian tubuhnya terendam air. Sebagian lagi memancarkan sinar yang sungguh menyilaukan mata lelakinya. Gejolak dalam dadanya tetiba tak mampu diredakan.

"Duh, Gusti Dewa Bhatara, dia mahluk ciptaanmu yang paling sempurna," berulang kali ia menggumamkan kalimat itu. Tanpa sadar ia berjalan mendekati. Dilucuti pakaian yang dikenakannya. 

Jebbbyuuur! Serta merta ia menjatuhkan diri masuk ke dalam kolam.

Bunyi kecipak dan guncangan air membuyarkan tapa kumkum yang tengah dilakoni Ken Dedes. Kedua matanya terbuka. Dilihatnya sesosok pemuda tampan tengah berenang menyisir tepian kolam.

"Gusti putri, sembah sungkem kahatur untukmu," Ken Arok menangkupkan kedua tangannya dari jauh. Wajah Ken Dedes seketika memerah. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir mungilnya kecuali degup dada yang kian mengencang.

Di langit bulan masih benderang. Sesekali tubuh bundarnya bersembunyi di balik awan. Seolah ingin memberi kesempatan pada dua anak manusia yang tengah sibuk meredakan gejolak perasaan.

"Maafkan atas kelancangan hamba, Gusti putri," Ken Arok memberanikan diri menghampiri. Ken Dedes gemetar. Tetiba saja ia limbung dan terjatuh ke dalam air.

Hup!

Sigap nian Ken Arok menangkap tubuh sintal sang dewi pujaan.

***

Malang, 19 Oktober 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*kesengsem      = tertarik

*padusan          = kolam pemandian bagi para putri bangsawan

*ubarampe       = benda-benda kebutuhan ritual

*tapa kum-kum= bertapa di dalam air

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun