Beberapa kali Brahmana Lohgawe memergoki Ken Arok duduk menyendiri. Pandangan pemuda itu penuh binar mengarah pada satu tempat. Kaputren.
"Anakku, apa yang engkau pikirkan?" Brahmana bijak itu duduk di samping muridnya. Tangannya yang lembut menyentuh pundak pemuda kesayangannya itu.
"Guru, seperti yang pernah kusampaikan padamu. Aku jatuh hati pada istri akuwu itu."
Sang guru tidak segera menyahut. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ken Arok.Â
"Guru, apakah perasaanku ini salah?" Ken Arok balas menatap gurunya. Brahmana Lohgawe menggeleng.
"Tak ada yang salah dengan perasaanmu, anakku. Cinta dan ambisi pada diri manusia sudah ada semenjak dilahirkan. Keduanya berusaha saling mendominasi. Sekarang yang ingin kutanyakan padamu, perasaanmu terhadap perempuan itu manakah yang lebih mendominasi?"Â
Ke Arok terdiam. Hatinya diliputi kebimbangan.
"Jika itu cinta, maka kau akan menuai bahagia jika bisa mendapatkan perempuan itu. Tapi jika itu ambisi..." sang guru tidak melanjutkan kalimatnya. Ditatapnya kembali wajah Ken Arok.
"Guru..." Ken Arok menundukkan kepala.
"Anakku, aku sangat mengenal dirimu melebihi siapapun. Satu tarikan napas yang kau hela, itu kejujuran atau kebohongan, aku bisa merasakannya."
"Maafkan muridmu ini guru...."