Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kidung

30 November 2015   09:47 Diperbarui: 30 November 2015   10:10 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ada kenangan manis yang membekas dalam ingatanku. Ketika masih kecil kakek selalu melantunkan Kidung untukku sebelum tidur. Entah mengapa. Begitu mendengar suara kakek mengidung, hatiku terasa damai, tenang dan terhanyut. Aku pun terlelap dalam buai mimpi indah.

Begitu juga ketika adikku yang masih bayi tiba-tiba rewel. Kakek akan segera mengambilnya dari gendongan ibu. Kakek membawa adik berdiri di ambang pintu. Mata tuanya menengadah ke langit. Lalu ia menyenandungkan Kidung yang indah. Aneh, adikku yang rewel pun berhenti menangis. Ia tertidur pulas dalam pelukan kakek.

Sejak itu aku jadi bertanya-tanya. Apakah Kidung yang dilantunkan kakek itu semacam mantra? Mengapa setiap kali mendengarnya aku merasa terhipnotis?

"Kek, ajari aku mengidung, ya," pintaku suatu hari pada Kakek.

"Bener, Le?" tanya Kakek setengah tak percaya. Aku mengangguk mantap.

Malam itu sebelum tidur Kakek mengajakku duduk di ruang tengah. Sebuah buku bersampul coklat berada di atas meja.

"Ini kumpulan Kidung sastra Jawa. Sebelum kita mulai belajar nembang atau mengidung, ada baiknya kamu mengetahui sejarahnya terlebih dulu, Le," tutur Kakek. Aku menggeser dudukku dan mulai menyimak penjelasan Kakek.

"Kidung merupakan salah satu karya sastra pada era Jawa pertengahan ( Majapahit akhir). Bentuknya tembang atau syair yang dilagukan. Masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara, salah satu penyebab Kidung ini lahir. Para Wali 9 yang menyebarkan agama Islam menggunakan Kidung ini sebagai sarana menyampaikan ajaran Islam. Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh. Beliau menggunakan Kidung Kawedar untuk melantunkan puji-pujian terhadap para Nabi dan sahabat." Kakek mulai membuka satu halaman buku di hadapannya.

"Ini contoh Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga. Simak baik-baik ya, Tole..."

 

Napasku Nabi Ngisa linuwih

Nabi Yakub pamirsayaning wang

Yusuf ing rupaku mangke

Nabi Dawud swaraku

Jeng Suleman kasekten mami

Nabi Ibrahim nyawa

Idris ing rambutku

Bagendhali kulite wang

Getih daging Abubakar Ngumar singgih

balung Bagendhah Ngusman

 

"Tahu artinya, Le?" Kakek menatapku sambil tersenyum. Aku menggeleng. Ah, Kakek, membuatku tersipu malu. Aku ini lahir dan dibesarkan di Jawa tapi aku nggak paham sama sekali Bahasa Jawa dalam Kidung itu.

"Ndak  usah pingas-pringis seperti itu, Le. Wajar kamu nggak ngerti bahasa Kidung ini. Kan anak sekarang jarang yang tertarik pada sastra Bahasa Jawa," ujar Kakek seolah memahami jalan pikiranku.

"Artikan, dong, Kek!" pintaku. Kakek mengangguk.

 

Nabi Isa dengan kelebihannya merasuk dalam napasku

Nabi Yakub di pendengaranku

Yusuf  di wajahku

Nabi Dawud suaraku

Kanjeng Nabi Sulaeman kesaktianku

Nabi Ibrahim nyawaku

Idris rambutku

Baginda Ali kulitku

Abu Bakar dan Umar panutan menjadi darah daging

tulang Baginda Usman

 

"Wah, kalau kisah Nabi-nabi aku paham. Di sekolah juga diajarkan!" ujarku bangga.

"Mau dilanjutkan Kidungnya, Le?" Kakek menatapku serius. Aku mengangguk.

 

Sumsum ingsun Patimah linuwih

Siti Aminah minangka rahayuning Angga

Ayub minangka ususe

Nabi Nuh ing jejantung

Nabi Yunus ing otot mami

netraku yo Muhammad, panduluku Rasul

Pinayungan Adam sarak

sampun pepak sakathahing para Nabi

dadiya sarira tunggal

 

"Artinya Kek?" aku menyela tidak sabar.

 

Fatimah dengan segala kelebihannya merasuki sumsumku

Siti Aminah menjadi keselamatan

Ayub sebagai usus

Nabi Nuh sebagai jantung

Nabi Yunus di uratku

Mataku adalah Muhammad, pandanganku Rasul

dinaungi syariat Adam

Lengkap sudah semua Nabi

menyatu dalam diriku

 

"Indah sekali, Kek!" aku menatap Kakek takjub.

"Itulah, Le.... Ada banyak macam cara untuk menyampaikan dakwah secara indah. Salah satunya ya dengan Kidung ini." Kakek menutup buku di hadapannya.

"Sekarang waktunya kamu belajar ngidung bersama Kakek," ujar Kakek sembari beringsut.

"Tapi Kek...." aku menatap Kakek ragu.

"Kenapa, Le?"

"Belajarnya dimulai darimana?"

"Buatlah sebait puisi. Biar nanti Kakek bantu mengubahnya ke dalam Bahasa Jawa."

Waduh, aku garuk-garuk kepala. Aku nggak pernah menulis puisi. Di sekolah pun, jika mendapat tugas membuat puisi aku jarang mengerjakannya. Nilai Bahasa Indonesiaku selalu jeblok.

"Ayo, Tole, jangan melamun. Mulai menulis!" Kakek menegurku.

"Ah, Kakek. Bagaimana kalau belajarnya kali ini mendengarkan saja? Listening, Kek!" aku berusaha ngeles.

"Tidak, Le. Doing!" ujar Kakek tak mau kalah.

Ah, itulah sekelumit kenangan masa kecil yang manis bersama kakek. Kini aku tak pernah lagi mendengar lantunan Kidungnya. Karena kakekku yang pintar mengidung itu telah tiada.

 

***

Malang,30 November 2015

Lilik Fatimah Azzahra

*Sumber Kidung Kawedar: B.Wiwoho : Tasawuf Jawa

*Sumber Gambar :www.fotografer.net

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun