Â
Ada kenangan manis yang membekas dalam ingatanku. Ketika masih kecil kakek selalu melantunkan Kidung untukku sebelum tidur. Entah mengapa. Begitu mendengar suara kakek mengidung, hatiku terasa damai, tenang dan terhanyut. Aku pun terlelap dalam buai mimpi indah.
Begitu juga ketika adikku yang masih bayi tiba-tiba rewel. Kakek akan segera mengambilnya dari gendongan ibu. Kakek membawa adik berdiri di ambang pintu. Mata tuanya menengadah ke langit. Lalu ia menyenandungkan Kidung yang indah. Aneh, adikku yang rewel pun berhenti menangis. Ia tertidur pulas dalam pelukan kakek.
Sejak itu aku jadi bertanya-tanya. Apakah Kidung yang dilantunkan kakek itu semacam mantra? Mengapa setiap kali mendengarnya aku merasa terhipnotis?
"Kek, ajari aku mengidung, ya," pintaku suatu hari pada Kakek.
"Bener, Le?" tanya Kakek setengah tak percaya. Aku mengangguk mantap.
Malam itu sebelum tidur Kakek mengajakku duduk di ruang tengah. Sebuah buku bersampul coklat berada di atas meja.
"Ini kumpulan Kidung sastra Jawa. Sebelum kita mulai belajar nembang atau mengidung, ada baiknya kamu mengetahui sejarahnya terlebih dulu, Le," tutur Kakek. Aku menggeser dudukku dan mulai menyimak penjelasan Kakek.
"Kidung merupakan salah satu karya sastra pada era Jawa pertengahan ( Majapahit akhir). Bentuknya tembang atau syair yang dilagukan. Masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara, salah satu penyebab Kidung ini lahir. Para Wali 9 yang menyebarkan agama Islam menggunakan Kidung ini sebagai sarana menyampaikan ajaran Islam. Sunan Kalijaga adalah salah satu contoh. Beliau menggunakan Kidung Kawedar untuk melantunkan puji-pujian terhadap para Nabi dan sahabat." Kakek mulai membuka satu halaman buku di hadapannya.
"Ini contoh Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga. Simak baik-baik ya, Tole..."
Â
Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakub pamirsayaning wang
Yusuf ing rupaku mangke
Nabi Dawud swaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawa
Idris ing rambutku
Bagendhali kulite wang
Getih daging Abubakar Ngumar singgih
balung Bagendhah Ngusman
Â
"Tahu artinya, Le?" Kakek menatapku sambil tersenyum. Aku menggeleng. Ah, Kakek, membuatku tersipu malu. Aku ini lahir dan dibesarkan di Jawa tapi aku nggak paham sama sekali Bahasa Jawa dalam Kidung itu.
"Ndak usah pingas-pringis seperti itu, Le. Wajar kamu nggak ngerti bahasa Kidung ini. Kan anak sekarang jarang yang tertarik pada sastra Bahasa Jawa," ujar Kakek seolah memahami jalan pikiranku.
"Artikan, dong, Kek!" pintaku. Kakek mengangguk.
Â
Nabi Isa dengan kelebihannya merasuk dalam napasku
Nabi Yakub di pendengaranku
Yusuf di wajahku
Nabi Dawud suaraku
Kanjeng Nabi Sulaeman kesaktianku
Nabi Ibrahim nyawaku
Idris rambutku
Baginda Ali kulitku
Abu Bakar dan Umar panutan menjadi darah daging
tulang Baginda Usman
Â
"Wah, kalau kisah Nabi-nabi aku paham. Di sekolah juga diajarkan!" ujarku bangga.
"Mau dilanjutkan Kidungnya, Le?" Kakek menatapku serius. Aku mengangguk.
Â
Sumsum ingsun Patimah linuwih
Siti Aminah minangka rahayuning Angga
Ayub minangka ususe
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
netraku yo Muhammad, panduluku Rasul
Pinayungan Adam sarak
sampun pepak sakathahing para Nabi
dadiya sarira tunggal
Â
"Artinya Kek?" aku menyela tidak sabar.
Â
Fatimah dengan segala kelebihannya merasuki sumsumku
Siti Aminah menjadi keselamatan
Ayub sebagai usus
Nabi Nuh sebagai jantung
Nabi Yunus di uratku
Mataku adalah Muhammad, pandanganku Rasul
dinaungi syariat Adam
Lengkap sudah semua Nabi
menyatu dalam diriku
Â
"Indah sekali, Kek!" aku menatap Kakek takjub.
"Itulah, Le.... Ada banyak macam cara untuk menyampaikan dakwah secara indah. Salah satunya ya dengan Kidung ini." Kakek menutup buku di hadapannya.
"Sekarang waktunya kamu belajar ngidung bersama Kakek," ujar Kakek sembari beringsut.
"Tapi Kek...." aku menatap Kakek ragu.
"Kenapa, Le?"
"Belajarnya dimulai darimana?"
"Buatlah sebait puisi. Biar nanti Kakek bantu mengubahnya ke dalam Bahasa Jawa."
Waduh, aku garuk-garuk kepala. Aku nggak pernah menulis puisi. Di sekolah pun, jika mendapat tugas membuat puisi aku jarang mengerjakannya. Nilai Bahasa Indonesiaku selalu jeblok.
"Ayo, Tole, jangan melamun. Mulai menulis!" Kakek menegurku.
"Ah, Kakek. Bagaimana kalau belajarnya kali ini mendengarkan saja? Listening, Kek!" aku berusaha ngeles.
"Tidak, Le. Doing!" ujar Kakek tak mau kalah.
Ah, itulah sekelumit kenangan masa kecil yang manis bersama kakek. Kini aku tak pernah lagi mendengar lantunan Kidungnya. Karena kakekku yang pintar mengidung itu telah tiada.
Â
***
Malang,30 November 2015
Lilik Fatimah Azzahra
*Sumber Kidung Kawedar: B.Wiwoho : Tasawuf Jawa
*Sumber Gambar :www.fotografer.net
Â
Â