Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tiga Pilihan Penanganan Covid-19 yang Dimiliki Joko Widodo

20 April 2020   11:18 Diperbarui: 20 April 2020   11:25 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Seharusnya Presiden Joko Widodo tidak memiliki dua atau tiga skema penanganan wabah Covid-19, melainkan hanya satu opsi yang pasti dan tepat. Dalam pandangan penulis, undang-undang yang paling tepat digunakan adalah Undang-Undang Karantina Kesehatan mengingat baik dasar penyusunan maupun materi muatannya paling sesuai dengan kondisi Pandemi.  

Sementara yang paling tidak relevan dan mengagetkan menjadi pertimbangan Presiden adalah implementasi Perppu Keadaaan Darurat. Namun, sebagaimana dibahas di atas sebagai undang-undang paling muda, Undang-Undang Karantina Kesehatan masih jauh dari siap untuk diiplementasikan.

Hal tersebut ditujukan dengan hampir tidak adanya peraturan pelaksana yang sudah ditetapkan, sehingga pengaturan lanjutan dari Undang-Undang Karantina Kesehatan yang menjadi landasan hukum bertindaknya aparatur negara masih belum ada. Penetapan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019 juga tidak sepenuhnya membantu. 

Substansi yang mengecewakan justru menjadi indikasi yang semakin kuat bahwa pemerintah belum memiliki ide bagaimana implementasi dan peraturan pelaksana Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Di samping permasalahan peraturan pelaksana, secara yuridis, Undang-Undang Karantina Kesehatan juga hanya mencabut peraturan di bidang karantina udara dan karantina laut. 

Dengan demikan ketentuan terkait penanganan wabah dalam Undang-Undang Penanganan Bencana dan Perppu Keadaan Berbahaya masih dapat diimplementasikan. Hal tersebut tentu menunjukan masih buruknya harmonisasi undang-undang di Indonesia. 

Undang-Undang Karantina Kesehatan, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana cukup menunjukan bahwa penyusunnya dan yang mengesahkannya tidak mepertimbangkan bahwa ada undang-undang sebelumnya dengan materi muatan yang tumpang tindih. 

Hal tersebut ditunjukan dengan fakta bahwa undang-undang yang lebih baru tidak mencabut atau mengubah ketentuan apapun dalam undang-undang yang lebih lama, atau setidak-tidaknya mempertimbangkan bagaimana institusi yang dibentuk olehnya untuk dapat singkron dengan isntitusi yang sudah ada. 

Kalau hal tersebut dilakukan, sepatutnya Undang-Undang Penanggulangan Bencana mengubah Pasal 1 ayat 1 Perppu Keadaan Bahaya sehingga bencana alam tidak mungkin ditangani dengan mekanisme Darurat Sipil. 

Hal yang sama juga sepatutnya dilakukan oleh penyusun Undang-Undang Karantina Kesehatan dengan mengubah definisi "bencana non-alam" dalam Undang-Undang Penanggulangan bencana, sehingga penanganan epidemi dan wabah tidak menjadi materi muatan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.

Opsi lain yang mungkin dilakukan adalah dengan merevisi Undang-Undang Karantina Kesehatan sehingga mengatur peran BNPB (atau kalau masih memaksakan Penguasa Darurat Sipil, meskipun penulis merasa sudah tidak relevan lagi) dalam penanganan wabah penyakit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun