Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Marital Rape dalam Perspektif Hukum Islam: Resume Tulisan Ilmiah Seputar Marital Rape dalam Hukum Islam

28 April 2019   12:28 Diperbarui: 28 April 2019   12:54 4303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, dunia maya diramaikan dengan diskusi antara Tengku Zulkarnain dengan seorang perempuan ketika membahas mengenai pemerkosaan kepada istri. Wasekjen MUI tersebut bersekukuh bahwa pemenuhan hubungan seksual merupakan kewajiban istri sehingga pemidanaan marital rape dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) tidak tepat, bahkan mempertanyakan keislaman perempuan tersebut. Dalam kesempatan lain, penulis sempat berbincang dengan salah seorang anggota partai yang menolak RUU PK-S dan orang tersebut memberikan penjelasan yang sama.

Hal tersebut menarik perhatian penulis sebagai seorang mahasiswa hukum untuk mencari tahu bagaimana pengaturan terkait marital rape dalam hukum Islam. Dikarenakan penulis tidak mengambil peminatan hukum Islam di kampus dan menghindari tafsir yang tidak tepat, maka dalam tulisan ini penulis akan memberikan resume dan bahan bacaan secara langsung agar pembaca dapat langsung memverifikasi. Dalam artikel ini, penulis akan menjabarkan 4 tulisan, seluruh tulisan tersebut adalah skripsi yang dinilai memiliki metodologi penelitian dan analisis yang terjamin dari beberapa universitas Islam negeri.

Infografis dokpri
Infografis dokpri

Tulisan 1

Judul: Bentuk-Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri Perspektif UU  No.23 Tahun 2004 dan Fiqih Islam

Penulis: Farid Kurniawan Bentuk Tulisan: Skripsi

Kampus: Jurusan Al Ahwal Al Sakhsiyah Fakultas Syari'ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Tahun: 2010

Dapat diakses di: http://etheses.uin-malang.ac.id/1888/1/04210048_Skripsi.pdf

Skripsi ini membahas relasi suami-istri menurut Islam. Dalam Islam, perkawinan memiliki tujuan yang agung, dan saling hubungan yang saling menghormati. Dalam Al-Baqarah ayat 187, suami-istri digambarkan seperti baju yang melindungi badan, dan memiliki hak berhubungan secara ma'ruf atau baik. Skripsi ini juga mengambil dasar hukum Al-Baqarah ayat 223 yang menerangkan bahwa istri diibaratkan sebagai ladang dan suami sebagai pemilik ladang. Apabila mempertimbangkan konteks saat itu, masyarakat pada masa tersebut hidup dalam kondisi geografis yang sangat tandus sehingga taman menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Disebutkan pula bahwa petani yang baik akan memperlakukan ladangnya dengan baik, melindungi ladangnya dan saat yang tepat. Skripsi ini juga melihat dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, menurut tafsiran skripsi ini, hubungan suami-istri merupakan pahala apabila dilakukan dengan cara-cara ma'ruf dan bukan merupakan hal yang tabu dibicarakan oleh suami- istri mengenai apa yang disukai atau tidak. Selain itu, relasi suami-istri didefinisikan mengacu pada prinsip "muasyarah bi al ma'ruf" dalam Al-Nisa ayat 19. Maka, relasi suami-istri akan berada dalam pola interaksi yang positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh keseimbangan hak dan kewajiban keduanya.

Pasca pengesahan UU P-KDRT, masih banyak anggapan dalam masyarakat bahwa persoalan kekerasan seksual dalam keluarga adalah persoalan domestik yang tidak dapat dicampuri oleh publik. Padahal, kekerasan seksual adalah sesuatu yang terlepas dari konsep perkawinan, melainkan bertitiktekan pada pemaksaan yang terjadi ke salah satu pihak. Skripsi ini juga melakukan penelitian langsung kepada korban dan mencatatkan beragam kekerasan yang dialami korban seperti paksaan hubungan seks, kekerasan verbal, hingga ditinggal oleh suami. Suatu fakta yang menarik dalam beberapa catatan menunjukan bahwa kemandirian ekonomi istri tidak menyebabkan mereka terhindar dari kekerasan seksual karena paradigma yang ada juga membuat kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai kejahatan.

Dalam konteks KDRT, skripsi ini mengutip Al Syirazi yang menyatakan meskipun ada kewajiban istri melayani permintaan suami ketika dia telah terangsang, dia dapat menawarnya dan dapat tidak melayani suaminya apabila sedang sakit. Ketika suaminya memaksa, pada hakikatnya maka suami telah melanggar musyawarah bil ma'ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru harusnya dia lindungi. Sebagian mazhab termasuk Hanafi, Imam Maliki, dan Hambali juga melihat bahwa contius interruptus (azl) tanpa persetujuan istri sebagai kekerasan seksual karena merusak hak istri untuk mendapatkan kenikmatan.

Islam dalam sejarahnya juga menggeser paradigma tradisi Jahiliyah yang menindas perempuan bahkan kerap membunuh anak perempuannya. Namun, pemahaman dari ayat-ayat dan hadis secara tekstual seakan-akan memberikan kekuasaan mutlak atas suami terhadap istri. Skripsi ini menjelaskan bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari umat-umat modern yang mengonsumsi produk pemikiran tanpa kritik historis dan pemahaman produk manusia disalahpahami sebagai ajaran Islam yang asli yang mutlak kebenarannya, baku dan bahkan dipahami sebagai sesuatu yang final sifartnya.

Kesulitan muncul disebabkan karena ada banyaknya pemikiran seputar Islam di Indonesia yang umumnya merupakan warisan pemahaman ulama salaf pada abad pertengahan yang dikonstruksikan oleh kelas menengah waktu itu dan memiliki jarak waktu scara plotik. Terlebih lagi identitas ulama yang membangun wacana fiqih adalah laki-laki sehingga memunculkan pemahaman Islam yang bias terhadap isu yang merugikan perempuan.

Skripsi ini sendiri memiliki kesimpulan bahwa terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi sebab kekerasan seksual dengan kekerasan fisik menimbulkan sakit, luka, atau cedera. Skripsi ini juga menyimpulkan bahwa sebagian ulama madzhab memandang azl sebagai kekerasan seksual dan apabila dilakukan dengan persetujuan istri, azl sendiri belum dianggap sebagai tindak pidana dalam UU PKDRT. Selain itu, skripsi ini memiliki dua saran.

Pertama, banyaknya praktik-praktik pelecehan perempuan yang dilakukan oleh suami kepada istri belum atau kurang disadari perempuan itu sendiri karena kuatnya pranata sosial dalam masyarakat yang membuatnya tidak sadar bahwa hal tersebut perlu ditinjau kembali.

Kedua, Islam mengajarkan nilai-nilai persamaan hak dan kewajiban antara suami istri sesuai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pola relasi yang harmonis antara suami dan istri dalam rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah adalah pola relasi yang diharapkan oleh Islam.

Infografis dokpri
Infografis dokpri

Tulisan 2

 

Judul: Marital Rape (Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Terhadap Istri) Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Penulis: Hasmila Bentuk Tulisan: Skripsi

Kampus: Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

Tahun: 2017

Dapat diakses di: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/4338/1/Hasmila.pdf

Skripsi ini dilatarbelakangi pandangan bahwa perkawinan adalah hal yang sakral, bahkan dalam perspektif agama dipandang sebagai mits'aqan galizan (akad yang kokoh, serius dan kuat). Hal tersebut juga tercermin dalam UU No.1 Tahun 1974 yang melihat perkawinan bertujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Secara sosiologis, perkawinan merupakan fenomena penyatuan dua keluarga besar yang asalnya tidak saling mengenal. Masalah yang muncul adalah ketika terdapat kekerasan dalam rumah tangga, termasuk didalamnya yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh suami kepada istri.

Pemaksaan kegiatan seksual beberapa kali ditemui ketika istri dalam keadaan tidak menginginkan kegiatan seksual baik secara fisik maupun dengan kondisi psikologis yang sedang tidak memungkinkan. Masalah bertambah pelik akibat paradigma bahwa laki-laki mempunyai hak otonom atas keluarga dan laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Dalam rumusan masalah, skripsi ini membahas mengenai gambaran umum marital rape, bagaimana pandangan Hukum Islam dan UU P-KDT, dan analisis perbandingan kedua hukum tersebut.

Dalam memberikan gambaran umum tentang marital rape, skripsi ini merujuk pada Alquran surah Al-Baqarah ayat 187. Berdasarkan ayat tersebut, suami harus melakukan hubungan seksual dengan ma'ruf sehingga tidak diperbolehkan adanya penganiayaan. Kewajiban melayani suami dimiliki oleh istri, namun istri dapat menawar atau menangguhkannya, dan apabila sedang sakit maka istri tidak memiliki kewajiban tersebut. Sementara apabila suami tetap memaksa, maka dia telah melanggar prinsip muasyaroh bil ma'ruf dengan berbuat aniya terhadap yang seharusnya dia lindungi. Bahkan dalam beberapa mazhab, melakukan azl tanpa seizin istri dilarang untuk melindungi hak istri untuk menikmati hubungan seksual. 

Dalam perspektif hukum lain, UU P-KDRT mengkategorikan kekerasan seksual dalam rumah tangga sebagai kekerasan fisik. Dengan demikian, terdapat pergeseran paradigma yang sebelumnya melihat pemerkosaan dalam perkawinan sebagai isu privat menjadi isu publik. Hal tersebut selaras dengan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang diadopsi PBB tahun 1993. Namun, dalam praktiknya pemaksaan seksual kepada istri seringkali bukan dianggap sebagai kejahatan atau dipersempit pada pandangan bahwa korban hanyalah mereka yang secara fisik terlukai tanpa mencakup aspek psikologis. Padahal dalam perspektif hukum Islam, diumpamakan bahwa istri laksana sawah ladang bagimu (suami), maka datangilah sawah ladangmu bagaimana kamu suka, terkandung pengertian kehati-hatian seorang "petani" di dalam menabur benih yang baik dan berkualitas.

Berdasarkan skripsi ini, terdapat beberapa faktor penyebab kekerasan suami terhadap istri, diantaranya adalah: (1) Proses pembesaran anak laki-laki; (2) Masyarakat yang memposisikan laki-laki dan perempuan secara setara; (3) Persepsi bahwa KDRT adalah masalah keluarga sehingga patut ditutup; dan (4) Ketergantungan istri kepada suami dan beberapa faktor lain. Dalam konteks kekerasan terhadap istri, terdapat diskriminasi gender dalam masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas dan pengaruh atas istri maupun anggota keluarga lain. Perbedaan peran dan posisi tersbutlah yang dalam masyarakat diturunkan secara kultural, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama.

Kekerasan seksual dalam rumah tangga juga menimbulkan beragam dampak baik psikologis dan fisik kepada korbannya. Apabila menarik perspektif sejarah, Islam sendiri datang pada masyarakat dimana perempuan berada dalam posisi yang sangat rendah. Oleh Islam, pandangan misoginis diskriminatif masyarakat pada saat itu diganti dengan pandangan dan praktik yang adil dan manusiawi dan mengembalikan otonomi perempuan sebagai manusia merdeka. Dalam konteks perkawinan, terdapat dua prinsip dasar yang mulia yaitu membangun ketaatan pada Allah dan untuk mewujudkan sakinah, mawaddah, dan rahmah, sehingga seks tidak sepatutnya dianggap sebagai perilaku nafsu semata.

Skripsi ini menyatakan bahwa penafsiran Al-Quran yang dilakukan secara tekstual, merupakan salah satu penambah pandangan superioritas laki-laki dalam keluarga. Padahal, Islam menganut prinsip kesetaraan, kerjasama, dan keadilan dalam hubungan seksual suami-istri. Tujuan perkawinan sendiri adalah tercapainya mawaddah dan rahmah sehingga segala perbuatan yang akan menimbulkan akibat mafsadat yang terdapat dalam kekerasan seksual merupakan perbuatan melawan hukum.

Lebih jauh lagi, apabila merujuk pada Alquran surah Al Maidah ayat 32, maka Islam memandang kehidupan manusia sebagai karunia Allah yang layak dihormati mengingat ajaran Alquran mencakup setiap aspek kehidupan maka definisi hidup tidak hanya merujuk pada fisik saja tetapi juga psikologis dan spiritual. Secara historis, Islam berusaha untuk memperbaiki tindakan zulm (kekejaman dan kekerasan) tanpa memandang usia dan jenis kelamin.

Dalam beberapa kasus pemerkosaan, tercatat nabi menghukum pemerkosa dari bukti-bukti soliter perempuan yang diperkosa, namun tidak memberikan hukuman apapun pada korban. Bahkan Umar (RA) memaksa anaknya untuk mengakui kejahatan pemerkosaannya dan memberikan hukuman sebagaimana mestinya tanpa memberikan hukuman apapun pada korban. Ahli hukum Islam, Ibnu Hazn, mengklasifikasikan pemerkosaan sebagai kejahatan hidarabah atau satu orang atau sekelompok orang yang menciptakan gangguan publik. Pemerkosaan sendiri tidak dikategorikan sebagai subkategori zinah karena pemerkosaan berarti mengambil otonomi korban dengan kekerasaan sehingga tidak perlu 4 orang saksi untuk membuktikan pelanggaran selayaknya zina. Selain itu, skripsi ini juga menyatakan bahwa definisi pemerkosaan tidak berubah karena hubungan sehingga merupakan hal penting untuk tidak mempercampuradukan hak-hak bersama yang pasangan miliki. Islam juga tidak memungkinkan dan menolelir kepemilikan manusia sehingga tidak memungkinkan bahwa seseorang memiliki hak untuk memiliki pikiran/tubuh/jiwa, manusia lain.

Skripsi ini sendiri memiliki tiga kesimpulan yang ditarik oleh penulisnya:

  • Kekerasan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga yang salah satu dampaknya adalah rusaknya alat reproduksi tidak dibenarkan dalam islam dengan beberapa alasan. Pertama, dari sisi maqahid asy-syari'ah tindak kekerasan seksual terhadap istri tidak mencerminkan terpenuhinya tujuan syari'ah dalam perkawinan dan beberapa poin inti dari maslahah ad-Daruriyyah yaitu, hifs annafs dan hifs an-nasl. Dampak dari kekerasan seksual suami terhadap istri secara verbal bisa merusak akal (psikologi), fisik (badan/jiwa) dan seksual (alat reproduksi). Kedua, dari sisi tindak pidana hukum islam perilaku tindak

kekerasan seksual suami terhadap istri masuk dalam kategori hukum pidana qishash pencederaan (penganiayaan) yaitu pelaku dihukum sesuai dengan perbuatannya.

  • Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya) seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai.
  • Adapun persamaan antara Hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT adalah bahwa di antara keduanya sama-sama memberikan perhatian yang lebih terhadap masalah relasi antara suami dan istri dalama sebuah perkawinan, khususnya terhadap tindak pemaksaan seksual yang dilakukan suami terhadap istri. Hal ini dilakukan dalam rangka menjamin rasa keadilan, saling menghormati hak-hak dan kewajiban suami istri demi terwujudnya sebuah rumah tangga sakinah yang didasarkan pada mawadah dan rahmah.

Adapun saran yang diberikan oleh penulis skripsi ini adalah:

  • Merubah pandangan budaya yang selalu menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan marjinal yang menyebabkan perempuan tidak dapat mandiri dan tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga, khususnya mengenai hak dan kewajiban sebagai istri.
  • Perlunya pemahaman ulang terhadap interpretasi teks-teks agama sehingga tidak adanya suatu penjustifikasian dalam pengaplikasian hukum yang tersirat atau pun tersurat di dalam teks-teks agama tersebut, yaitu dengan melakukan dialog dan sosialisasi terhadap penafian dogmatisasi berbagai pemahaman sebagai suatu bentuk yang baku, statis dan tidak bisa dikritisi dengan merekontruksi, reinterpretasi bahkan dengan mendekonstruksinya terhadap para ahli mufassirin atau ahli fiqih.
  • Dalam setiap keluarga, harus ada tempat untuk dialog atau interaksi aktif dari masing-masing pihak karena hal tersebut merupkan inti dari keberhasilan suatu keluarga dalam membina keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Infografis dokpri
Infografis dokpri

Tulisan 3

Judul: Tindakan Marital Rape Dalam Keluarga Menurut Hukum Islam dan Hukum Nasional

Penulis: Muhammad Anhar Rivai Bentuk Tulisan: Skripsi

Kampus: Prodi Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan Jurusan Peradilan Jurursan Peradilan Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar

Tahun: 2017

Dapat diakses di: http://repositori.uin-alauddin.ac.id/7895/1/MUH.%20ANHAR.pdf

Dalam rumusan masalah, dinyatakan bahwa skripsi ini akan membahas mengenai pandangan hukum Islam dan nasional tentang marital rape dalam keluarga dan bagaimana dampak marital rape dalam perkawinan. Rumusan masalah tersebut bersumber dari latar belakang masalah bahwa UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak terbatas pada media merealisasikan syari'at, tetapi juga merupakan kontrak perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban. Namun dalam realitanya, tidak sedikit pemikiran ulama yang memarjinalkan perempuan sebagai istri, dan suami mengabaikan hak istri dalam hal memiliki anak. Padahal Allah menganugerahkan cinta kasih, mawaddah dan rahmah kepada seapasang suami istri.

Dalam skripsi ini, dijelaskan mengenai latar belakang Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU KDRT sendiri dirumuskan akibat banyaknya kekerasan terdahadap perempuan dalam ranah domestik yang dikekalkan sikap-sikap tradisional dan ketergantungan ekonomi memaksa perempuan untuk bertahan.

Hal tersebut diperparah dengan fenomena gunung es dari KDRT karena ruang lingkup yang relatif tertutup, masyarakat kerap menganggapnya sebagai hal yang wajar karena dianggap sebagai hak suami dan diagnosa yang tidak pernah dilakukan. Hal tersebut diperparah dengan KUHP yang tidak mengakomodasi pemidanaan marital rape karena rumusan pasal yang terbatas.

Dalam penyusunannya, RUU PKDRT sendiri memerlukan waktu enam tahun sebelum akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Hal tersebut juga tidak terlepas dari keberatan sebagian kalangan baik dari anggota DPR maupun kalangan umat Islam yang menganggap urusan rumah tangga sebagai ruang privat dan mengajukan saran seperti RUU tentang keluarga sakinah dan sebagainya. Selain itu, perdebatan yang muncul adalah kekhawatiran bahwa RUU ini nantinya menimbulkan perpecahan dalam rumah tangga dan tingginya angka perceraian. Padahal tujuan dari RUU ini adalah agar suami takut untuk berbuat aniaya karena ancaman sanksi.

Menurut skripsi ini, dalam perspektif hukum Islam hubungan seksual tidak hanya rekreasi semata, tetapi mempunyai tujuan memperoleh keturunan sebagai penerus amal soleh. Dalam Alquran, ada norma dan nilai yang mesti diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual, seorang suami sebagai petani dan istri sebagai ladang yang tingkat kesuburannya ditentukan oleh dirinya sendiri, dan ketekunan dan kecerdasan suami dalam menggarap. Dijelaskan pula bahwa hubungan seksual idealnya dilakukan dengan cara yang ma'ruf, sehingga terdapat hak dan kewajiban kedua pihak serta kedua pihak dituntut untuk saling berdandan agar masing-masing saling tertarik. Apabila keduanya saling tertarik, maka dalam hubungan seksual tersebut tidak ada pihak yang merasa dipaksa atau dirugikan. Suami yang mengejar kenikmatan atas penderitaan istri atau sebaliknya melanggar tuntutan Alquran mengenai "mu'asyarah bi al- ma'rif".

Dalam beragam kasus, kerap ditemui istri tetap menikah dengan para suami yang memerkosa dan menganiaya. Hal tersebut dikarenakan ketidakmampuan melawan dan tindakan kekerasan yang lebih buruk apabila melawan. Hal ini juga diperparah dengan ketiadaan tempat untuk lari dan berbagi, terlebih lagi terhadap perempuan yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Hal tersebut mengakibatkan serangkaian dampak medis dan psikis seperti dampak fisik, hyper arousal, instruson, dan numbing.

Dalam bagian analisis, penulis mengutip Quraish Shihab yang melihat bahwa pemerkosaan haram hukumnya walaupun dilakukan terhadap istri. Istri memang berkewajiban patuh pada suami, namun apabila permintaan suami melanggar norma agama, maka terlarang bagi istri untuk menuruti perintah suaminya. Selain itu, skripsi ini juga mengutip Alquran surah An Nisa ayat 19, karena itu hubungan suami istri harus dilakukan secara sopan dan tidak menyerupai perilaku hewan. Jika suami ingin berhubungan seksual dengan istrinya, maka dia harus mengetahui dulu bagaimana kondisi fisik dan psikis istrinya.

Dalam kesimpulannya, skripsi ini menyatakan bahwa Islam memandang kekerasan seksual suami terhadap istri dalam rumah tangga sebagai tindakan tercela dan dilarang serta dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, mempertimbangkan dampak dari kekerasan seksual terhadap istri, maka tindakan tersebut tidak mencerminkan terpenuhinya tujuan syari'ah dalam perkawinan dan masuk kedalam tindak pidana qishash atau pencederaan.

Terdapat dua implikasi penelitian ini, yaitu pemahaman yang salah terhadap nash Alquran dan hadis memberikan anggapan bahwa Islam melegitimasi semua yang dilakukan terhadap istri. Dalam menghadapi masalah ini, interpretasi yang lebih relevan dan kontekstual lebih lanjut sangat dibutuhkan dengan mengacu pada maqasid as-syari'ah dan Islam adalah rahmah li al- alamin. Kedua, segala bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan pelanggaran HAM dan bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.

Infografis dokpri
Infografis dokpri

Tulisan 4

Judul: Marital Rape (Pemerkosaan Perkawinan) Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia

Penulis: Muhammad Yunus Bentuk Tulisan: Skripsi

Kampus: Program Studi Perbandingan Mahzab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Tahun: 2018

Dapat diakses di: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44248/1/MUHAMMAD%20YUNUS- FSH.pdf

Skripsi ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa dalam sebuah pernikahan terdapat akad yang suci dengan tujuan suci untuk membina rumah tangga yang disebut sebagai ijab dan kabul. Idealnya rumah tangga menjadi tempat yang aman bagi anggota keluarga. Selain itu, perkawinan juga merupakan fenomena penyatuan keluarga besar. Lebih lanjut seks juga merupakan bagian integral dari kehidupan pernikahan. Namun, perkawinan menjadi masalah apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya terjadi diluar perkawinan, tetapi juga di dalam perkawinan. Meskipun pada prinsipnya suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang seimbang, kekerasan seksual dalam rumah tangga sangat jarang mendapatkan perhatian dalam masyarakat karena terlebih lagi karena konstruksi sosial dalam masyarakat. Fatalnya, marital rape yang menimbulkan buruk bagi korban kerap dilepaskan dalam koridor criminal serta berlindung dalam konsep agama dan adat.

Dari latar belakang diatas, skripsi ini merumuskan dua rumusan masalah; (1) Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang marital rape dalam putusan PN Bangil No. 912/Pid/B/2011/PN.Bgl; dan (2) Bagaimana pandangan Hukum Positif di Indonesia tentang marital rape dalam putusan PN Bangil No.91/Pd/B/2011/PN.Bgl.

Pembahasan skripsi ini mencakup kesetaraan gender dalam rumah tangga. Menurutnya, kesetaraan dan keadilan gender menghendaki relasi keluarga yang egaliter, hormat, dan terbuka merupakan hal yang dikehendaki. Lebih jauh, keluarga sakinah tidak dapat dibangun apabila hak-hak dasar pasangan suami istri dalam posisi tidak seimbang. Sebab, hubungan hierarkis pada umumnya dapat memicu relasi kuasa yang menciptakan subordinasi dan marginalisasi sehingga rentan disharmoni.

Hal tersebut ditunjukan dengan partisipasi aktif laki-laki dan perempuan dalam pengabilan keputusan, akses kontrol dan pengusaan perempuan dalam berbagai sumber daya, dan seberapa besar manfaat yang diperoleh perempuan. Skripsi ini berpandangan bahwa kesetaraan gender dalam perkawinan merupakan salah satu upaya membangun perkawinan bahagia, sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sementara terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga, menurut skripsi ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan paling berbahaya, dan sangat terkait dengan sikap-siakap tradisional dan ketergantungan ekonomi. Salah satu bentuk kekerasan adalah kekerasan seksual dalam perkawinan.

Terkait masalah seksualitas suami-istri dalam perspektif Hukum Islam, skripsi ini merujuk dalam beberapa ayat dalam Alquran. Pertama adalah Alquran surah Al Baqarah ayat 187. Ayat tersebut diejlaskan penulis skripsi ini bahwa dalam berhubungan seksual harus dilakukan dengan ma'ruf, bahwa kewajiban melayani permintaan suami dapat ditangguhkan oleh istri. Selain itu, terdapat juga larangan untuk melakukan azl tanpa izin istri berdasarkan hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah.

Konsensus antara suami istri juga mencakup penggunaan obat pencegah kehamilan. Dalam Hukum Islam, marital rape sendiri masuk ke dalam hukum pidana, karena perbuatan aniaya yang mengganggu hak individu orang lain, bertentangan dengan mawasid as-syari'ah kategori hifz an-nafs sekaligus prinsip mu'asyarah bi al-ma'ruf. Apabila merujuk pada Al Baqarah ayat 233, skripsi ini berpendapat bahwa perumpamaan istris sebagai ladang juga dan suami sebagai petani juga berarti suami memiliki kewajiban untuk mengatur waktu yang tepat dalam kehamilan, jangan sampai setiap panen merusak ladang.

Dalam kesimpulannya terkait dengan perspektif hukum Islam terhadap marital rape, skripsi ini memandang bahwa dalam hukum Islam, hak dan kewajiban antara suami dan istri adalah seimbang. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, sedangkan istri wajib taat dan patuh kepada suami. Kepatuhan istri pada suami yang paling asasi adalah menyangkut hubungan seksual. Selama tidak ada unsur syar'i seperti datang bulan atau sedang berpuasa Ramadhan, istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan badan. Namun sudah dijelaskan dalam Alquran surah An-Nisa ayat 19 untuk mempergauli istri dengan cara yang makruf. Ini berarti memaksakan persenggamaan dengan cara kekerasan adalah tindakan yang sangat tidak terpuji. Perbuatan itu hanya akan menyebabkan penderitaan batin dan fisik istri.

Dalam hal ini maka si suami tidak dapat dikatakan memperkosa istrinya, tetapi dia masuk ke dalam kategori suami durhaka karena tidak memperdulikan istrinya secara ma'ruf. Dengan demikian, menurut hukum Islam pelaku tindak pidana kekerasan seksual terrhadap istri dapat dikenakan sanksi ta'zir, yang belum ditentukan hukumnya oleh syara' dan wewenang untuk menetapkan hukumnya diserahkan pada ulil amri atau hakim.

Infografis Dokpri
Infografis Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun