Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Ikhwal "Pedang Tumpul" KPK, Minim Tindakan Panen Hentikan Kasus

24 Februari 2020   12:05 Diperbarui: 24 Februari 2020   12:38 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


MASIH ingat saat awal-awal  Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang disokong pemerintah hendak merevisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang pemberantasan korupsi? Ya, itu terjadi sekitar tri wulan terakhir tahun 2019 lalu.

Reaksi publik kala itu langsung menyatakan ketidak setujuannya atas rencana revisi dimaksud. Para penggiat anti korupsi, masyarakat, mahasiswa, bahkan anak-anak STM - pun turut turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya sebagai bentuk penolakan atas rencana revisi Undang-undang KPK.

Penolakan revisi ini bukan tanpa sebab. Para mahasiswa dan masyarakat dan penggiat anti korupsi lainnya menganggap revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 hanya sebagai akal-akalan para anggota dewan yang berada di parlemen Senayan, Jakarta, untuk melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Betapa tidak melemahkan, pasal-pasal atau poin-poin yang akan dimasukan pada undang-undang hasil revisi nyatanya sangat memberatkan bahkan "mengamputasi" langkah KPK dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai lembaga antirasuah.

Sebut saja dua diantara beberapa poin yang berpotensi bakal melemahkan itu adalah dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Dalam hal ini, pimpinan atau komisioner lembaga antirasuah ini tidak lagi memiliki kewenangan penuh. Lantaran segala sesuatu terkait tindakan harus seizin Dewas.

Pun dengan kewenangan penyadapan yang selama ini merupakan "jaring" jitu KPK dalam melakukan tindakan oprasi tangkap tangan (OTT), tidak lagi bisa semaunya. Lagi, harus seizin Dewas.

Banjir Demo, Revisi Jalan Terus

Rupanya aksi massa dan mahasiswa yang hampir tejadi di seluruh pelosok tanah air untuk tolak revisi Undang-undang KPK tidak membuat niat para anggota dewan terhormat periode 2014-2019 yang juga disokong pemerintah menyurutkan niatnya.

Mereka terus membahas revisi tersebut, seberapapun kuatnya arus demo di luar gedung parlemen dan beberapa daerah lainnya. Hingga akhirnya, "tok" Undang-undang KPK hasil revisi disahkan DPR yang disepakati pemerintah, pada tanggal 17 September 2019, melalui sidang paripurna DPR.

Terang saja, dengan disahkannya revisi Undang-undang KPK, untuk selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2019, arus demo dan penolakan semakin besar. 

Tidak hanya di Jakarta, tapi tersebar hampir di seluruh daerah di tanah air. Hingga akhirnya aksi demo besar-besaran ini merenggut nyawa beberapa orang mahasiswa dan ratusan korban luka.

Berkaca dari kuatnya arus demo dan adanya korban jiwa, sempat timbul harapan bahwa perjuangan para demonstran ini tidak sia-sia, ketika Presiden Jokowi mewacanakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang KPK hasil revisi.

Sayang, nyatanya harapan publik tidak terwujud. Diduga kuatnya intevensi dari hampir seluruh partai politik, Presiden Jokowi urung menerbitkan Perppu hingga hari ini, dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2019 pun sah menjadi panduan KPK dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi di tanah air.

Kekhawatiran Publik Jadi Kenyataan

Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 yang sejak awal dianggap berpotensi melemahkan kinerja lembaga antirasuah nampaknya perlahan mulai jadi kenyataan.

"Keganasan" KPK yang acap kali dipertontonkan lewat layar kaca dengan sejumlah penindakan maupun OTT, saat ini tak ubahnya hanya sebuah "pedang tumpul". Tidak banyak gebrakan-gebrakan yang dilakukan KPK yang saat ini diketuai Firli Bahuri.

Bahkan, tidak hanya tumpul dalam hal penindakan, KPK di bawah komando Firli baru-baru ini malah menghentikan penanganan kasus. Seperti ramai diberitakan media massa, ada 36 kasus yang dihentikan lembaga antirasuah tersebut.

Tentu saja kebijakan yang dikeluarkan KPK tersebut memantik reaksi sejumlah kalangan, tak terkecuali pihak Indonesian Corruption Watch (ICW).

Seperti dilansir TEMPO.CO, Koordinator ICW, Adnan Topan menilai, keputusan KPK mengumumkan penghentian penyelidikan 36 kasus merupakan sebuah blunder. Sebab, akan membuat publik semakin penasaran dan bertanya tentang 36 kasus dimaksud.

"Akhirnya banyak tuntutan lebih lanjut dan membuat KPK kelabakan karena akan selalu dikejar, padahal basisnya ketidakpastian," kata Adnan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Ahad, 23 Februari 2020.

Tidak dipungkiri, Adnan pun mengamini bahwa penghentian kasus adalah hal wajar. Karena prak-praktek semacam ini juga sering dilakukan lembaga hukum lainnya. Cuma, tindakan KPK dengan mengumumkannya pada publik adalah hal baru yang dilakukan pada era Firli.

Sementata dilansir Tirto.id, Peneliti ICW, Wana Alamsyah heran dengan kinerja KPK dalam kendali Firli. Menurutnya, selama tiga bulan dilantik belum pernah ada upaya pendindakan, justru sebaliknya malah menghentikan proses penyelidikan terhadap 36 kasus.

Wana juga membandingkan data yang disebutkan KPK bahwa terdapat 162 kasus yang dihentikan sejak 2016. Artinya, menurut Wana, di era sebelumnya KPK hanya menghentikan dua kasus setiap bulannya, beda jauh dengan era Firli yang menghentikan 18 kasus setiap bulan.

"Sedangkan jika dibandingkan dengan kinerja penindakan, belum ada satu pun kasus yang disidik di era pimpinan saat ini. Sebab, kasus OTT Bupati Sidoarjo dan juga OTT salah satu komisioner KPU bukan merupakan hasil pimpinan KPK saat ini," kata Wana kepada reporter Tirto, Jumat (21/2/2020).

Masih dilansir Tirto.id, Wana menyebut kepuasan publik terhadap KPK terjun drastis. Asalnya peringkat ke-2 pada tahun 2019 menjadi ke-5 di tahun 2020. Hal ini menuru Wana merujuk pada data Alvara Reseach Center, 12 Ferbuari 2020.

Jika menilik dari dua pernyataan yang disampaikan pihak ICW, adalah hal wajar jika tingkat kepercayaan publik merosot. 

Bukan tidak mungkin, KPK yang awalnya diharapkan dan diagung-agungkan publik sebagai lembaga yang cukup konsisten memberantas korupsi, perlahan akan ditinggalkan publik dan boleh jadi dihujat jika tidak mampu memperbaiki performanya dalam hal pemberantasan korupsi di tanah air.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun