***
Suatu malam tanpa sengaja aku  mendengar ibu tersedu di kamarnya, dalam sela isaknya aku menyimak untaian kata yang dilantunkannya.
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan di dunia dan akhirat untuk anakku, ampunilah hamba yang belum bisa membesarkannya dengan baik. Jika memang akan ada kebaikan jika dia tahu tentang ayahnya maka hamba ridho mereka berjumpa, tapi jika hanya akan mendatangkan luka padanya, jangan pertemukan mereka."
Aku mulai paham ada kekhawatiran yang mendalam dalam benak ibu, rahasia tentang ayah yang tak ingin tahu.
Hingga siang itu di sebuah toko. Sepulang sekolah tak sengaja aku mendapati teman ngamenku sedang dimarahi oleh seorang perempuan yang terlihat tidak asing. Lantas kuhampiri saja mereka.
"Jangan ngamen di sini, kamu gak bisa baca apa ada tulisan gak menerima pengamen di depan sana?" Jari-jemari bongsornya yang penuh dengan perhiasan emas itu menunjuk-nunjuk ke arah kaca.
"Maaf Bu, saya butuh uang untuk biaya sekolah. Izinkan saya Bu. Sebentaaar saja." kata temanku dengan nada memelas.
Perempuan tambun itu terus menghardiknya yang membuat seorang lelaki paruh baya keluar dari balik sekat toko itu.
"Sayang, ada apa, kok ramai begitu?"
"Ini nih ada anak tahu aturan maksa ngamen, gak bisa baca apa?"
Lelaki itu menatap kami satu persatu, ada sorot iba di matanya. Tapi sebentar, kenapa garis wajah itu seperti milikku?