Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bidadari Hati

26 Januari 2020   08:34 Diperbarui: 26 Januari 2020   08:55 370 52
itu tak seindah biasanya, tak ada lembayung, hanya awan hitam yang diam seolah sedang bermalas-malasan. Kulihat ibu sedang murung mematung di beranda. Sesekali kaca-kaca di matanya pecah. Namun, ia buru-buru mengusapnya sebelum sempat membasahi pipi.

Semenjak kejadian di malam itu, semuanya berubah. Ibu kini lebih sering diam. Keriput kulit di bawah kantung matanya tampak jelas mengguratkan penderitaan batin yang hebat. Ia terlihat sangat rapuh, meski di hadapanku ia selalu mencoba untuk tetap tersenyum.

Aku masih ingat, saat teriakan dan bentakan ayah dari kamar sebelah itu membangunkan tidurku. Kemudian diakhiri dengan suara pintu kamar yang dibanting keras. Saat itulah terakhir kali aku mendengar suara ayah.

Kurasa akan seperti malam-malam sebelumnya. Di mana ayah datang bersama seorang perempuan. Kemudian terjadi pertengkaran hebat, saling memaki, terdengar bunyi benda-benda pecah, pintu dibanting, dan berakhir dengan isakan. Lalu esok paginya ayah pulang dan ibu menyambutnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Begitulah ibu, yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan di hadapan anaknya. Sehingga aku yang awalnya ketakutan, sudah mulai menganggapnya sebagai hal biasa yang wajar dilakukan oleh orang dewasa.

Apalah aku?

Aku hanyalah anak kelas 3 yang tak mengerti sama sekali tentang masalah orang dewasa.

Namun, kali ini berbeda. Sejak malam itu, ayah tidak lagi pulang. Setiap kali aku menanyakan tentang ayah, ibu selalu menjawab bahwa ayah sedang ada urusan di luar kota.

"Tapi kapan ayah akan pulang, Bu?

"Jangan banyak tanya. Ibu capek kerja seharian. Tidur sana!"

Dengan gontai aku berjalan menuju kamar.

Ada banyak pertanyaan yang melayang di langit-langit. Hingga aku terlelap tanpa bisa menemukan jawaban.

***

Tahun demi tahun berlalu, kami telah terbiasa hidup tanpa seorang ayah. Ibu telah benar-benar menggantikan posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Ia bekerja banting tulang untuk membiayai sekolahku hingga sekarang duduk di bangku SMA. Terkadang aku merasa kasihan pada ibu, sampai-sampai aku memintanya untuk menikah lagi. Namun ia dengan tegas menolak permintaanku.

Sebagai anak yang telah beranjak dewasa, aku mulai coba untuk meringankan beban ibu. Dengan sedikit kemampuan memainkan gitar, setiap hari, sepulang sekolah aku bersama temanku   ngamen di warung-warung makan kaki lima.

Rencananya uang hasil ngamen itu aku tabung untuk biaya masuk kuliah nanti. Aku sangat berhasrat ingin jadi seorang jurnalis. Namun tak berlangsung lama, ibu mengetahui aktivitasku selepas sekolah. Sebab, ketika ibu pulang kerja lebih awal, aku tak ada di rumah.

"Dari mana saja baru pulang, ini udah jam berapa?"

"Dika ngamen sama teman-teman, Bu. Dika nyari uang buat bantu Ibu." Aku memang tak bisa berdusta di depan ibu.

Wajah ibu memerah kurasa ia akan marah besar. Namun sedetik kemudian tangisnya berderai dan dengan nada lembut berkata, "Dika, tugasmu hanya belajar. Cukup ibu yang kerja. Jangan ulangi ya, Nak."

"I-iya, Bu. Coba ada ay ...."

"Cepat ke kamar! Ibu gak mau dengar tentang ayah lagi," potongnya dengan tegas dan suara yang sedikit meninggi.

Aku hanya merunduk dan berlalu meninggalkan ibu. Entah kenapa ibu selalu bersikap begitu, jika mendengar tentang ayah. Pertanyaan-pertanyaanku selama ini tentang ayah telah menggunung di kepala. Rasa penasaran dan rindu terhadap sosok ayah seperti gumpalan awan hitam yang masih menjadi misteri tak terpecahkan. Namun lagi-lagi aku tak tega jika harus melihat ibu menangis dan terlihat menderita lagi karenanya.

***

Suatu malam tanpa sengaja aku  mendengar ibu tersedu di kamarnya, dalam sela isaknya aku menyimak untaian kata yang dilantunkannya.

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan di dunia dan akhirat untuk anakku, ampunilah hamba yang belum bisa membesarkannya dengan baik. Jika memang akan ada kebaikan jika dia tahu tentang ayahnya maka hamba ridho mereka berjumpa, tapi jika hanya akan mendatangkan luka padanya, jangan pertemukan mereka."

Aku mulai paham ada kekhawatiran yang mendalam dalam benak ibu, rahasia tentang ayah yang tak ingin tahu.

Hingga siang itu di sebuah toko. Sepulang sekolah tak sengaja aku mendapati teman ngamenku sedang dimarahi oleh seorang perempuan yang terlihat tidak asing. Lantas kuhampiri saja mereka.

"Jangan ngamen di sini, kamu gak bisa baca apa ada tulisan gak menerima pengamen di depan sana?" Jari-jemari bongsornya yang penuh dengan perhiasan emas itu menunjuk-nunjuk ke arah kaca.

"Maaf Bu, saya butuh uang untuk biaya sekolah. Izinkan saya Bu. Sebentaaar saja." kata temanku dengan nada memelas.

Perempuan tambun itu terus menghardiknya yang membuat seorang lelaki paruh baya keluar dari balik sekat toko itu.

"Sayang, ada apa, kok ramai begitu?"

"Ini nih ada anak tahu aturan maksa ngamen, gak bisa baca apa?"

Lelaki itu menatap kami satu persatu, ada sorot iba di matanya. Tapi sebentar, kenapa garis wajah itu seperti milikku?

Lelaki itu memberikan uang sepuluh ribu dan meminta kami untuk segera pergi. Kami pun pergi meninggalkan toko itu dengan penuh tanda tanya.

Setibanya di rumah aku bercerita pada ibu tentang kejadian tadi. Ibu bertanya tentang nama toko itu, dan air matanya meluncur setelah aku menyebutkan nama tokonya.

"Besok-besok jangan ke sana lagi ya, Nak!"

"Kenapa, Bu?"

"Pokoknya jangan!"

"Apakah itu ayah?"

"Ya, dia ayahmu dengan selingkuhannya. Ibu telah mengira ini akan terjadi, tapi ibu takut jika kamu bertemu dengan lelaki itu, sifat buruknya akan menurun padamu. Ibu gak mau itu" Dengan nada geram yang disela isakan.

Kemudian ibu menceritakan semuanya, semua tentang keburukan ayah. Hingga semakin tahu tentang ayah, hatiku semakin terasa sesak dan sakit. Aku tak tahu sehancur apa hati ibu ketika ayah mengkhianatinya. Namun, aku merasakan ada luka mendalam di sudut hatinya.

Mulai saat ini, kuputuskan untuk menghapus semua gumpalan awan hitam itu di kepala dan lebih berfokus pada kebahagian ibu. Ya, aku akan lebih giat lagi belajar demi membahagiakan ibu, satu-satunya bidadari di hatiku.

Januari 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun