Ada banyak pertanyaan yang melayang di langit-langit. Hingga aku terlelap tanpa bisa menemukan jawaban.
***
Tahun demi tahun berlalu, kami telah terbiasa hidup tanpa seorang ayah. Ibu telah benar-benar menggantikan posisinya sebagai tulang punggung keluarga. Ia bekerja banting tulang untuk membiayai sekolahku hingga sekarang duduk di bangku SMA. Terkadang aku merasa kasihan pada ibu, sampai-sampai aku memintanya untuk menikah lagi. Namun ia dengan tegas menolak permintaanku.
Sebagai anak yang telah beranjak dewasa, aku mulai coba untuk meringankan beban ibu. Dengan sedikit kemampuan memainkan gitar, setiap hari, sepulang sekolah aku bersama temanku  ngamen di warung-warung makan kaki lima.
Rencananya uang hasil ngamen itu aku tabung untuk biaya masuk kuliah nanti. Aku sangat berhasrat ingin jadi seorang jurnalis. Namun tak berlangsung lama, ibu mengetahui aktivitasku selepas sekolah. Sebab, ketika ibu pulang kerja lebih awal, aku tak ada di rumah.
"Dari mana saja baru pulang, ini udah jam berapa?"
"Dika ngamen sama teman-teman, Bu. Dika nyari uang buat bantu Ibu." Aku memang tak bisa berdusta di depan ibu.
Wajah ibu memerah kurasa ia akan marah besar. Namun sedetik kemudian tangisnya berderai dan dengan nada lembut berkata, "Dika, tugasmu hanya belajar. Cukup ibu yang kerja. Jangan ulangi ya, Nak."
"I-iya, Bu. Coba ada ay ...."
"Cepat ke kamar! Ibu gak mau dengar tentang ayah lagi," potongnya dengan tegas dan suara yang sedikit meninggi.
Aku hanya merunduk dan berlalu meninggalkan ibu. Entah kenapa ibu selalu bersikap begitu, jika mendengar tentang ayah. Pertanyaan-pertanyaanku selama ini tentang ayah telah menggunung di kepala. Rasa penasaran dan rindu terhadap sosok ayah seperti gumpalan awan hitam yang masih menjadi misteri tak terpecahkan. Namun lagi-lagi aku tak tega jika harus melihat ibu menangis dan terlihat menderita lagi karenanya.