"Betul! Kau mampu urus ribuan karyawan. Sekian puluh perusahaan. Namun sayang, hanya mengurus mulut yang begitu kecilnya terlupakan. Lalu urusan apa lagi yang lebih penting dari ini."
"Demi kemaslahatan banyak orang. Aku harus berjuang memenuhi kebutuhan mereka. Perhatikan semua! Mereka punya anak isteri yang harus dinafkahi. Wajar jika kesejahteraan mereka jadi prioritas utama bagiku."
Beberapa kali dasi di lehernya hampir mencekiknya, sambil memberikan alibi sambil menarik-narik dasi. Entah disadari atau tidak.
"Anak dan isterimu? Sudahkah mereka kau nafkahi?"
Sedikit menahan napas, kepalanya sedang berputar mencari alasan yang tepat. Kali ini ia ingin tak terbantahkan. Keluarga raja segala urusan, begitu yang terlukis di kepalanya.
"Tenang, Bos! Rekening dan sekian banyak ATM telah aku bagikan pada mereka. Hingga tujuh turunan harta kekayaanku tak akan pernah habis. Jika setiap hari pun mereka berpoya-poya. Jika pun mereka keliling dunia. Mengunjungi seluruh tempat wisata dengan fasilitas megah, tak kekurangan sedikit pun."
"Oo, itukah nafkah yang paling istimewa darimu?"
"Memangnya ada nafkah lain selain itu? Bukankah semua lebih dari cukup?"
"Bolehkah aku bertanya satu hal?"
"Padahal sejak awal kau telah bertanya. Lalu apa lagi yang membuatmu tak puas mengorek keterangan. Adakah manfaatnya untuk dirimu?"
"Baiklah, setelah ini kau akan kemana?"