Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Menonton Fiksi Impor Lebih Menarik daripada Berita di Indonesia (Juga Termasuk Fiksi Lokal)

23 April 2010   01:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="225" caption="Lost Poster "][/caption] Teknik Bercerita 1: Unreliable Narrator dan Twisted Plot

Setiap membaca suatu karya sastra (atau menonton film), saya selalu mencoba meraba-raba teknik bercerita yang digunakan oleh si penulis. Walaupun saya percaya bahwa teknik tersebut tidak menjadi satu-satunya ciri dalam suatu karya sastra-tentu ciri utamanya adalah tetap gaya penggunaan kata, kalimat, atau frasa (serta semua unsur kebahasaan lainnya) yang sangat khas-saya beberapa waktu ini terobsesi dengan teknik bercerita yang menciptakan kesan mendalam sebagai "konsumen".

Ada waktunya ketika twisted ending atau twisted plot menjadi semacam favorit saya. Gaya seperti ini biasa muncul dalam tulisan bergaya detektif atau thriller. Gaya ini biasanya "mengecoh" pembaca dengan menciptakan realitas atau fakta palsu-tentu saja, "fakta" itu baru diketahui palsu pada saat-saat terakhir. Salah satu twisted ending atau twisted plot favorit saya adalah epilog dari "Pembunuhan atas Roger Ackroyd" karya Agatha Christie. Teknik dalam novel ini sebenarnya tumpang tindih dengan teknik lain yang agak mirip, yaitu unreliable narrator. Intinya, dalam novel ini, Christie menggunakan seorang narator yang menceritakan semua kejadian dari sudut pandangnya. Pada akhir novel, pembaca baru tahu bahwa narator tersebut ternyata unreliable alias tidak dapat dipercaya. Inilah twisted plot yang menggunakan unreliable narrator. Dalam kasus novel Agatha Christie di atas, pembaca terkecoh karena mengira orang lainlah yang telah membunuh Roger Ackroyd. Asumsi pembaca digiring melalui unreliable narrator ke arah yang menyesatkan. Bukti-bukti "palsu" atau "kabur" ditunjukkan, sementara fakta tidak diceritakan sepenuhnya-tentu karena narator "terlibat" dalam tindak kejahatan utama dalam novel ini. Narasi, dialog, dan suasana terbangun secara palsu. Pembaca hanya memiliki fakta telanjang sebagaimana yang dikisahkan oleh si narator, sehingga mereka tidak tahu fakta yang sebenarnya. Walaupun memang lazim dalam novel-novel detektif atau thriller, teknik ini tidak tabu digunakan dalam novel atau karya sastra di luar itu. Contoh yang populer adalah seri Harry Potter (baik novel maupun film). Tokoh "Snape" digambarkan sebagai antagonis sampai hampir novel terakhir. Dalam novel terakhirlah baru terungkap siapa sebenarnya tokoh ini. Efek dari penggunaan teknik tersebut adalah suatu perasaan "terkecoh" atau terkejut dari pihak pembaca. Tentu rasa terkejut ini diharapkan meninggalkan kesan yang mendalam yang membuat cerita atau kisah itu dapat mengendap lebih lama dalam benak pembaca. Jelas, semakin pandai si penulis merangkai plotnya, karakter, dan dialognya, semakin dalam kesan yang berhasil diciptakannya melalui teknik ini. Pembaca atau penonton diharapkan untuk membuat semacam kontras antara fakta yang disajikan kepadanya selama ini dan fakta sebenarnya yang secara mendadak diajukan kepadanya. Sering, penulis novel atau penulis scenario film menyelipkan fakta sebenarnya ini dalam satu kalimat atau satu adegan pendek-itulah satu kalimat atau adegan yang menjungkirbalikkan perspektif dan asumsi pembaca/penonton selama ini. Teknik Bercerita 2: Kilas Balik, Kilas Depan, dan Kilas Samping Suatu serial televisi yang sedang saya tonton baru-baru ini adalah "Lost". Ini adalah suatu serial televisi yang disiarkan di Amerika Serikat sejak tahun 2004 dan kini (2010) memasuki musim terakhir (musim ke-6). Serial ini sebenarnya merupakan suatu tontonan hiburan semata, semacam film-film seri serupa dari Hollywood, misalnya "X Files", "Heroes", "Supernatural", atau yang lebih klasik seperti "Star Trek". Film ini berkisah mengenai sekelompok penumpang pesawat dari Sydney, Australia, menuju Los Angeles, Amerika, terdampar-setelah pesawat yang mereka tumpangi pecah secara misterius di udara menjadi 3 bagian-di suatu pulau misterius. Film seri ini memikat penonton di Amerika dengan terbukti telah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi di sana (misalnya Emmy Award) dan berhasil memiliki rating penonton yang cukup tinggi. Untuk sebuah film yang tidak bisa begitu saja diberi predikat film drama, "Lost" ternyata cukup memiliki rating yang tinggi. Ini bisa dibandingkan dengan "Heroes" dan "Supernatural" yang cukup populer di Indonesia-apalagi jika dibandingkan dengan film berlabel "science fiction", seperti "Star Trek". Film-film yang disebut terakhir ini memang memiliki cukup penggemar di Amerika, tetapi tidak mencapai jumlah penonton yang signifikan. "Lost" adalah film seri yang dimaksudkan untuk berakhir pada suatu titik tertentu-ini berbeda dengan misalnya "Star Trek" atau film-film drama yang memang dimaksudkan untuk diputar secara terus-menerus. Sepintas, gaya yang digunakan "Lost" adalah gabungan dari "Heroes", "Supernatural", dan "Star Trek". Namun, sebagai film seri yang berlabel drama, "Lost" tidak menyerap sepenuhnya gaya-gaya dari film-film seri tersebut. Tokoh yang berkemampuan luar biasa seperti dalam "Heroes" tidak dieksploitasi dan hanya 1-2 kali dijadikan plot utama dari suatu episode, sementara unsur "gaib" dalam "Supernatural" tidak menjadi salah satu motif utama-walaupun menjadi bumbu cerita yang menghiasi plot misterius dari "Lost". Dilihat dari segi teknik bercerita, "Lost" benar-benar berlimpah akan teknik cerita. Hampir semua teknik cerita digunakan dalam seri ini, dari ironi, jutaksposisi, twisted plot, dan sebagainya. Namun, saya ingin menyoroti beberapa teknik lain yang secara unik digunakan dalam seri ini: kilas balik (flashback), kilas depan (flashforward), dan kilas samping (flashside). Teknik yang terakhir ini sebenarnya cukup unik dan agak baru dalam teknik bercerita dalam dunia sastra-saya tidak tahu pasti tentang hal ini. Dua teknik yang pertama adalah sesuatu yang cukup lazim dalam novel atau film. Teknik kilas balik menyajikan suatu penceritaan atas kejadian yang terjadi sebelum saat ini atau sebelum plot utama terjadi. Biasanya, peristiwa/kejadian yang dikisahkan tersebut memiliki hubungan erat atau malah menjadi "sebab utama" dari semua peristiwa/kejadian saat ini. Teknik ini juga bisa digunakan bersama dengan teknik twisted plot, dengan motif utama: mengecoh pembaca (atau tepatnya: menyajikan ending yang mengejutkan atau tak terduga) dengan membeberkan fakta yang terjadi di masa lampau. Teknik kilas depan (flashforward) termasuk yang jarang digunakan dalam karya sastra-walaupun bukannya tidak ada sama sekali. Teknik ini adalah kebalikan dari teknik kilas balik: menceritakan/menggambarkan kejadian atau peristiwa yang terjadi setelah plot utama (kejadian/peristiwa masa kini). Peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa depan tersebut dijadikan sebagai teknik bercerita lain, yaitu semacam "pancingan" atau "petunjuk" (keduanya biasa disebut "foreshadowing", "red herring" atau "Chekov's gun") bagi pembaca-tentu tujuan utamanya adalah agar pembaca atau penonton menjadi penasaran. "Lost" secara piawai menggunakan kedua teknik di atas (teknik kilas balik dan kilas depan). Sampai musim ke-3, penonton sudah terbiasa dengan penyajian kilas balik dari para karakter utamanya. Namun, pada episode terkahir musim ke-3 itu, ada beberapa adegan yang "mengecoh" penonton karena mengira adegan tersebut adalah adegan kilas balik. Namun, pada musim ke-4, penonton baru tahu bahwa adegan tersebut sebenarnya adalah kejadian/peristiwa di masa depan. Tentu saja, dengan cara ini, penonton diharapkan untuk "terpancing": mereka dipancing untuk semakin ingin tahu apa sebenarnya yang akan terjadi dengan adanya fakta-fakta tertentu di masa depan-apakah yang akan terjadi pada karakter A karena dalam adegan kilas depan A digambarkan dengan cara yang sangat berbeda dalam adegan masa kini. Carlton Cuse dan Damon Lindeloff sebagai kreator "Lost" memang piawai dalam mengemas cerita. Ketika teknik kilas depan mulai digunakan, seluruh sudut pandang penonton menjadi berubah. Rasa ingin tahu penonton yang awalnya diarahkan pada masa lalu karakter utama (mengapa si A atau si B akhirnya menjadi seperti sekarang ini), kini berubah fokus menjadi terarah pada bagaimana akhirnya si A atau si B sehingga mereka menjadi seperti di masa depan. Kebutuhan akan teknik bercerita semacam itu adalah hal yang lumrah dalam karya yang bersifat misteri. "Lost" tidak terkecuali. Ketika rasa ingin tahu penonton akan masa lalu karakter utama sudah cukup terpuaskan, tidak bisa tidak, para kreator film ini perlu mencari teknik lain dalam menjaga agar api "rasa ingin tahu" penonton tidak padam. Salah satu plot atau misteri utama dari film seri ini adalah: bagaimana akhirnya nasib sekelompok orang korban pesawat yang jatuh di suatu pulau misterius? Jelaslah, peristiwa/kejadian di masa depan justru memancing rasa ingin tahu penonton: ternyata, mereka-atau beberapa orang di antara mereka-dapat menyelamatkan diri dari pulau itu. Tentu saja, ada missing link-adegan yang belum diceritakan/dipertunjukkan-yang mengaitkan antara peristiwa/kejadian masa depan itu dengan peristiwa/kejadian masa kini. Intinya, penonton semakin penasaran dan bertanya-tanya: apa yang akan terjadi selanjutnya, suatu kejadian yang mengubah kenyataan saat ini menjadi kenyataan di masa depan tersebut? Benar-benar piawai. Teknik kilas depan digunakan secara kuat dalam musim ke-4 dan juga ke-5 (tentu saja, kilas balik tetap muncul di sini). Namun, jika Anda mengira bahwa kelebihan seri ini hanya dalam 2 teknik itu (dan teknik lain), Anda keliru. Dalam musim ke-6 (yang belum beredar di Indonesia-karena ketika saya menulis ini musim itu masih ditayangkan di Amerika), "Lost" memperkenalkan teknik lain lagi: teknik kilas samping (flashside). Apa itu? Walaupun mungkin agak asing dalam karya sastra, namun teknik ini cukup sering digunakan dalam karya-karya populer (novel ataupun film), terutama yang bergenre "science fiction". Salah satu film-baik layar lebar maupun layar kaca-favorit saya adalah: Star Trek. Dalam fiksi ilmiah seperti Star Trek, dunia kilas samping adalah semacam dunia alternatif, suatu realitas alternatif. Dunia atau realitas itu benar-benar terjadi-kerap terlepas dari dunia atau realitas "biasa". Dunia atau realitas ini terjadi di samping dunia atau realitas yang kita kenal sekarang. Dunia/realitas kilas samping terjadi sebelah-menyebelah dengan dunia/realitas yang sudah dikenal. Itu bukan dunia/realitas fiktif, bukan dunia/realitas yang terjadi dulu atau sekarang. Itu hanyalah dunia atau realitas yang berbeda, suatu alternatif dari yang sudah ada/dikenal. Saya tidak akan bercerita mengenai teknik ini lebih jauh dalam film seri "Lost". Bukan saja saya belum menontonnya, tetapi terutama karena saya seperti memberikan terlalu banyak "spoiler" di sini. Saya lebih tertarik pada kepiawaian kreator film seri ini menggunakan semua-sekali lagi semua-jenis kilas (flash) di atas. Saya bertanya-tanya apakah ada film seri atau suatu film tunggal yang menggunakan ketiga teknik ini di dalamnya-barangkali ada (saya mengundang Anda untuk mendiskusikannya di sini). Imajinasi dan fokus perhatian penonton dibuat liar semenjak musim awal: masa lalu, masa depan, dan "masa alternatif" dari para karakter utamanya. Tampaknya, para kreator film seri ini tahu persis dimensi psikologis apa yang terbangun dalam diri penonton suatu film serial. Dengan tingkat kedekatan atau keakraban yang mendalam, penonton yang cerdas dan berimajinasi tinggi pun memiliki harapan yang tinggi dan liar atas apa yang ditontonnya. Penyingkapan masa lalu karakter utama memuaskan sedikit dahaga mereka atas pertunjukkan yang mereka tonton. Mereka puas karena mereka dapat mengetahui masa lalu karakter utama dan alasan-alasan yang membuat para karakter utama itu menjadi seperti sekarang ini. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, penonton menuntut suatu tantangan baru: bagaimana nasib para karakter utama. Teknik kilas depan memenuhi dahaga ini. Penonton diberikan kesempatan untuk mencicipi bagaimana akhirnya nasib karakter utama di masa depan, tentu saja dengan diberi "rasa dahaga" yang semakin banyak: bagaimana karakter utama dapat mendapai keadaan/peristiwa di masa depan itu. Ketika masa depan tidak lagi menjadi misteri, penonton yang cerdas dan berimajinasi tinggi dapat menuntut hal yang lebih. Mengapa tidak memasukkan suatu dunia/realitas alternatif? Ajak penonton berimajinasi secara liar untuk menggumuli dunia/realitas tersebut. Dengan plot misterius utama yang belum terjawab, penonton benar-benar disuguhi suatu petualangan yang benar-benar baru. Barangkali saya melebih-lebihkan segi "keberlimpahan" teknik bercerita "Lost". Namun, saya terkesan dengan penggunaan teknik bercerita yang piawai dan "tepat waktu". Jadi, bukan hanya faktor "hampir semua teknik bercerita digunakan", tetapi juga faktor "ketepatan waktu kapan teknik itu digunakan" menjadi daya tarik film ini. [caption id="" align="alignleft" width="291" caption="Fiksi Indonesia? "][/caption] Mengapa Tidak Di Sini? Menonton "Lost" atau membaca novel yang semacam itu membuat kita bertanya-tanya: mengapa tidak ada film atau novel Indonesia yang menggunakan plot semacam itu? Mengapa pembuat sinetron-sinetron di Indonesia tidak sekreatif rekan mereka di Amerika. Hal yang lebih parah adalah bahwa saya sering memproyeksikan imajinasi liar saya setelah menonton film-film seri Hollywood-terutama "Lost" yang baru-baru ini saya tonton-ke dunia nyata. Membaca berita di Koran/majalah atau menonton berita di televisi adalah salah satu alternatif favorit saya ketimbang harus menonton sinetron lokal. Setidaknya, saya menemukan realitas dalam berita-berita tersebut. Namun, ketika teknik bercerita yang bermutu absen dari sinetron-sinetron lokal, saya seperti menjadi gila ketika memproyeksikan teknik bercerita saya sendiri-sehabis menonton "Lost"-ke dalam berita-berita lokal. Coba bayangkan, setelah disodori fakta-fakta saat ini (Gayus dan korupsinya, dan semua kasus lain yang sering muncul di televisi), saya berimajinasi tentang masa lalu: apakah para koruptor itu adalah orang yang tidak bahagia? Apakah mereka berasal dari keluarga miskin? Apakah mereka dulu sering punya kebiasaan mengutil di supermarket? Atau yang lebih mengejutkan: Apakah mereka lahir dari keluarga yang harmonis, religius?Apakah mereka dulunya adalah orang baik-baik, sopan, yang tidak bersedia mengambil sepeser pun uang yang bukan miliknya? Saya pun berimajinasi tentang masa depan mereka: Apakah mereka akan dipenjara? Apakah mereka akan dipenjara seumur hidup, sebulan, atau malah dihukum mati? Apakah mereka akan lolos dari jerat hukuman? Apakah salah satu di antara mereka akan menjadi petinggi partai? Apakah di antara mereka ada yang akan menjadi presiden? Apakah ada di antara mereka yang akan bertobat dan menjadi seorang tokoh suci di masa depan? Pertanyaan utamanya: bagaimana prosesnya mereka sampai ke sana? Apakah prosesnya wajar, penuh rekayasa, atau ada intervensi ilahi? Siapa yang berperan dalam prose situ? Lebih gila lagi, saya juga bertanya-tanya-karena menonton "Lost": Apakah ada dunia/realitas alternatif di mana ternyata semua ini berbeda dengan apa yang ada sekarang? Suatu dunia atau realitas yang berjalan paralel yang di dalamnya ada orang-orang dengan nama dan peran yang kurang lebih sama tetapi dengan hasil akhir yang sangat berbeda? Katakanlah, suatu dunia/realitas yang di dalamnya para koruptor Indonesia tidak terlalu sibuk menyangkal bukti-bukti yang kasat mata tetapi dengan patuh menjalani proses pengadilan serta menjalani keputusan pengadilan dengan tenang? Atau malah: dunia atau realitas yang di dalamnya ada suatu negara bernama Indonesia dengan berbagai kelebihannya tetapi minus koruptor? Siapa tahu: Gayus di dunia/realitas tersebut adalah seorang mubaligh atau pendeta yang saleh, seorang Gayus yang berbeda 180 derajat dengan Gayus yang ada di dunia/realitas yang kita kenal sekarang? Boleh jadi, mereka yang terbiasa membaca karya Agatha Christie berharap ada tokoh detektif seperti Hercule Poirot yang mengucapkan satu kalimat pewahyuan yang menyingkapkan semua kedok yang selama ini menutupi kebenaran. Suatu kalimat yang membuat kita terkejut, kaget, tetapi juga menarik napas lega dan berkata dalam hati: "Ah, ternyata saya selama ini cuma disajikan fakta palsu oleh seorang unreliable narrator..." Begitulah, atas semua kasus korupsi selama ini, kita seperti disuguhi suatu drama dengan twisted plot yang rumit. Masalahnya, sampai kapan kita akan tahu bahwa dunia/realitas/fakta yang kita kenal sekarang ini sebenarnya adalah sesuatu yang palsu? Kapan kebenaran tersingkap? Imajinasi liar kita terus mengembara. Memang, menonton film semacam "Lost" (atau membaca novel Agatha Christie) membuat orang seperti saya mengalami kegalauan. Di satu sisi, saya-dan mungkin juga Anda-merindukan suatu tontotan lokal yang bermutu, dengan teknik bercerita yang piawai dan memikat, memberi kepuasan atas imajinasi yang muncul ketika menonton (bahkan memancing imajinasi tersebut muncul jika memang belum muncul). Di sisi lain, ketika tontonan hiburan fiksi dari televisi lokal sama sekali tidak memberi sesuatu yang menantang atau imajinatif, saya sering tidak memiliki alternatif yang memadai ketika duduk di depan pesawat televisi. Di samping acara olahraga internasional-sepakbola dan sebagainya-yang sering diputar malam hari, praktis saya cuma punya alternatif: berita. Sayang, imajinasi saya sering tidak dapat eksploratif ketika menonton berita lokal. Bukankah sama sekali tidak lucu jika kita membayangkan suatu kilas balik, kilas depan, atau bahkan kilas samping dari suatu berita? Apakah kita tidak terlalu gila berharap bahwa semua ini hanyalah hasil rekayasa unreliable narrator yang menyisakan suatu twisted ending pada akhir cerita? Lalu, yang mana yang fiksi dan yang mana yang berita? Mungkin saya harus berhenti menonton televisi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun