Mohon tunggu...
Eko Wahyudi Antoro
Eko Wahyudi Antoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan statistik dan pendidikan

Konsultan, penulis dan pegiat lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Moksanya "Arjava" dan "Adambha" Bangsa

28 Januari 2024   20:07 Diperbarui: 29 Januari 2024   07:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Moksanya "Arjava" dan "Adambha" Bangsa

14 Februari yang identik dengan hari "Valentine" atau "Hari Kasih sayang" bagi keyakinan beberapa orang, di tahun 2024 ini akan dibarengi dengan peristiwa besar dan tentunya akan menorehkan tinta sejarah baru dalam pemerintahan Indonesia. Kenapa demikian, karena pada tanggal tersebut akan diselenggarakan pesta demokrasi besar, yakni berupa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, beserta Anggota Dewan dari tingkat Pusat, Provinsi hingga Kabupaten. Sejak beberapa bulan yang lalu, sudah mulai nampak, hiruk-pikuk aktivitas politik dari para aktor yang memiliki keinginan untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dan tes-tes pergantian pejabat. Seharusnya, pejabat dan wakil rakyat yang benar-benar wakilnya rakyat memiliki jiwa "Arjava", yakni jiwa yang lurus, tulus, selaras antara pikiran, perkataan, dan perbuatan terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.  Selain itu, mereka juga seharusnya memiliki jiwa "Adambha", yakni jiwa yang tidak menipu, terus terang dan tulus. Saya akan coba urai satu per satu, berdasarkan analisis dan subjektif saya atas fenomena dan faktual yang saya temui di kehidupan sehari-hari di sekitar lingkungan. 

Mari kita mulai dari "Jiwa Arjava". 

(1) Pejabat dan Wakil rakyat harus memiliki jiwa yang "lurus"

Lurus disini adalah tegak dan tidak berbelok, melengkung ataupun bengkok. Tapi apakah ada yang demikian, hanya tuhan yang tahu. Namun, berdasarkan pengalaman, mohon maaf saya cukup menyangsikan akan hal ini. Karena, dalam dunia politik manapun selalu penuh drama, intrik, siasat, bahkan bila perlu menggunakan prinsip kalau tidak memungkinkan kondisi "nol" korban, dan bilamana harus mengorbankan, lakukan, asal tidak banyak-banyak korbannya. Bungkam mulut mereka yang tau skenario ini dengan bagian "kue", atau sajian "Nikmat" lainnya. Ketika kekuasaan sudah ditangan, maka apapun yang mereka katakan, seakan menjadi fatwa yang harus dilakukan. Ada sebuah contoh: tadinya, saat si pejabat atau wakil rakyat ini hendak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, seakan-akan melebihi pejuang jihad fisabillillah. Berteriak dengan lantanganya, akan memperjuangkan kepentingan rakyat dari pihak-pihak yang curang, dari pejabat-pejabat korup yang memakan jatah kesejahteraan rakyat. Namun faktanya..."APAKAH ADA WAKIL RAKYAT YANG NILAI KEKAYAANNYA MENURUN MENJADI SETARA RAKYATNYA YANG KESUSAHAN SETIAP HARI, ADAKAH WAKIL RAKYAT YANG MENOLAK FASILITAS DEMI TURUT MERASAKAN PEDIHNYA KEHIDUPAN ORANG PINGGIRAN, ADAKAH WAKIL RAKYAT YANG RAPATNYA TIDAK MENGGUNAKAN FASILITAS MEWAH" dan sebagainya. Jangan alasan karena anda memikirkan negara kemudian anda merasa layak mendapatkan semua itu. Rakyat yang memilih dan menempatkan anda di kedudukan anda sekarang, hingga saat ini masih dengan kehidupan yang sama. Mana kelurusan niat anda, mana bukti dari implementasi visi, misi dan program yang anda gembar gemborkan.

Ada wakil rakyat yang menjawab begini dengan bahasa jawa "cangkemu ojo sukur angger muni nek ga eruh sorone dadi wakil rakyat. Apik elek panggah di paido, panggah penak sing maido, sak iki delok en, jalan desa, jalan kabupaten wis apik, aspalan. Sekolah-sekolah bangunane tambah apik, musholla, masjid yo oleh bantuan pembangunan fasilitas umum ya meningkat, sik mbok kiro aku ngeleg duit e negoro tah....asu tenan koen iku, picek tah mata mu he.....koen dewe paling yo tau ngrasak ne bantuan, nek koen loro opo gak gae BPJS, JKN-KIS, iku sopo sing ngusahak no he"

ya saya jawab sederhana saja dengan bahasa jawa juga...."ooooh....ngunu....oke pak, sepurane dan matur suwun...tapi aku arep takok...tapi sedurunge njawab, sumpah o demi wong tuo mu, demi tuhan mu dan agamamu....nek sampean muni pembangunan mau...aku mung takok, soko pagu sing di ketok palu nek duwur, terus mudune nek pelaksana lapangan, karo SPJ ne kui bener bener 100% real cocok opo nggak....sampean enek sing malsu stempel karo nota pembelian barang dan jasa opo ora, wis kui ae pertanyaan ku, jawaben sak temen e"....."Koen ojo fitnah, aku gak tau ngunu kui, wong dudu aku sing garap, kabeh yo tak instruksi jujur, transparan dan opo ono ne, nek ancen awak tau ngerti, lha lapo gak mbok laporne...kok malah nuduh aku".

"Oke pak, timbang debat kusir, wis tak prunggel ae ngene, penak e ngomong, mau lurus, melengkung, atau bengkong sekalipun iku awak-awak mu dewe, tapi negoro iki ibarat nongko, iku wis akeh "SET e" angel di delok teko njobo, tapi arep di bedel yo tiwas gupak pulut, tapi ra iso mbadog, tiwas rugi waktu rugi energi, salah salah, karena dijebak nongko ne uwong, kadung di bedel gae mbuktik no, kene malah di tuduh maling"....Eeeh...si pak dewan pergi begitu saja, sambil menggerutu...

Intinya, menurut saya, mulai dari pusat hingga ke elemen pemerintahan terkecil di Indonesia ini sudah tercipta budaya yang sangat kuat perihal skema cantik dalam pengaturan anggaran. Bagaimana cara mereka menyusun Rencana Anggaran Biaya, Bagaimana cara mereka berbagi kue, bagaimana cara mereka membuat pelaporan yang cantik dan tidak terdeteksi permainan / "Fraud"....benar-benar cantik dan sulit di deteksi. Begitu ada yang mengendus, langsung di tutup mulut. Praktik-praktik semacam ini sudah dianggap biasa, bahkan dari atas juga ada oknum yang mendampingi, mengawal hingga laporan yang dibuat dinyatakan lulus dan aman. Inilah yang menjadi bukti hilangnya kelurusan.

Andai negara kita memiliki regulasi atau sistem yang bisa mengecek keaslian stempel, nota dan dokumen pendukung lainnya, andai para pengusaha toko bangunan, ATK dan lain sebagainya tidak hanya gelap mata karena hanya memikirkan barang dagangannya laku dan bersedia untuk memberika nota kosong atau bahkan mengizinkan nota dan stempelnya di tembak atau dipalsukan serta disalah gunakan, dan seterusnya dan seterusnya...tentu mungkin saja hal hal semacam ini bisa di reduksi.... 

Namun, yang lebih tidak mengenakkan lagi, keberadaan mereka ini yang mengenakan seragam, memiliki kekuasaan, memiliki jabatan, tentunya juga kaya, memegang fasilitas negara, mereka jauh lebih dihormati dari pada rakyat kecil yang benar-benar menjadi pejuang rupiah untuk menghidupi keluarga. Berjuang mengumpulkan rejeki dari limaratus hingga seribu perak, namun dengan penuh kejujuran. Banyolan kehidupan apa lagi seperti ini. Karenanya, memang kita tidak bisa lepas dari peran para pengawak pemerintahan, para wakil rakyat, namun dekat dengan mereka bisa jadi berkat, bisa juga menjadi sebuah hal yang membuat kita khianat. Intinya, kita kembalikan kepada kekuasaan tuhan, terserah mau dibawa kemana arah bangsa ini, selama doa kita terhadap para pahlawan, pejuang tetap mengalir dan memohon agar negara ini selalu dilindungi dan untuk kita secara pribadi, tetap berjuang sendiri tanpa berganrung pada bantuan dan belas kasihan bersyarat dari para wakil rakyat dan pejabat negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun