Desa Yang Tenteram Mulai Terguncang Oleh Konflik Atau Ketidakadilan
Desa tempat Sawunggaling dibesarkan dulunya merupakan kawasan yang subur dan makmur. Terletak di wilayah dataran rendah delta Sungai Brantas, desa itu dikelilingi oleh sawah hijau yang membentang, kebun kelapa, pohon pisang, serta aliran sungai kecil yang jernih. Warga desa hidup dalam harmoni dengan alam, menggantungkan hidup dari pertanian, perikanan air tawar, serta hasil hutan seperti rotan dan kayu. Desa-desa di wilayah Jenggala kala itu dikenal produktif, bahkan menjadi lumbung pangan penting bagi kerajaan.
Kehidupan sosial masyarakat berlangsung dalam semangat gotong royong. Lumbung desa selalu terisi, anak-anak belajar sopan santun dan kearifan dari para sesepuh, serta adanya sistem kepercayaan lokal yang menjaga hubungan antara manusia dan alam. Tradisi dan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kerja keras, dan penghormatan terhadap leluhur dijunjung tinggi.
Namun, ketenteraman itu lambat laun mulai terancam. Munculnya kekuatan-kekuatan politik baru di luar wilayah Jenggala baik dari kerajaan tetangga maupun para pemimpin lokal yang haus kuasa---menyebabkan ketegangan. Tanah pertanian mulai dikuasai oleh pejabat-pejabat baru yang haus pajak dan memperlakukan rakyat sebagai sumber pendapatan semata. Petani yang dulu bebas mengelola sawahnya kini harus menyetorkan hasil panen dengan sistem pungutan yang mencekik.
Di sisi lain, mulai masuknya pengaruh asing, baik dalam bentuk pedagang dari luar pulau maupun pendatang yang membawa ide-ide baru, juga mengubah tatanan desa. Hutan mulai ditebangi tanpa kontrol, aliran sungai mulai keruh oleh limbah, dan kekuatan ekonomi desa perlahan tergeser. Kehidupan rakyat kecil yang dahulu sejahtera, kini mulai dicekam keresahan.
Sawunggaling yang tumbuh di tengah kondisi ini, merasakan perubahan tersebut secara langsung. Ia menyaksikan bagaimana ketidakadilan menggerogoti harmoni desa. Ia melihat wajah ibunya yang mulai resah, mendengar keluhan petani tentang hasil panen yang disita, dan merasakan sendiri perubahan sikap para pejabat desa yang dahulu bersahabat, kini mulai angkuh karena kuasa.
Semua ini membentuk kesadaran kritis dalam diri Sawunggaling. Desa yang dahulu makmur, kini ibarat kapal yang tenang namun perlahan bocor. Dari sinilah muncul tekad dalam dirinya untuk menjaga keseimbangan antara rakyat, alam, dan keadilan.
Tanda-tanda Istimewa Sejak Kecil: Keberanian, Kepekaan, Kecerdasan Sosial
Sejak masa kanak-kanaknya, Sawunggaling telah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan yang membuatnya berbeda dari anak-anak lain di desanya. Meski ia tumbuh di lingkungan yang sederhana dikelilingi alam, sawah, dan sungai jiwanya memancarkan kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan sosial dan nilai-nilai moral. Ia bukan anak yang biasa-biasa saja. Ia anak yang Istimewa memiliki pribadi luhur/mulia, empati/tenggang rasa, kesederhanaan/tidak sombong, suka menolong, jiwa kepemimpinan/ keberanian yang melekat pada dirinya sejak kecil.
Keberanian adalah sifat pertama yang paling menonjol. Dalam usia yang masih belia, ia tidak gentar menghadapi ancaman binatang liar yang kadang masuk ke ladang atau desa. Pernah suatu ketika, seekor ular besar masuk ke lumbung desa. Sementara anak-anak lain berlarian, dan orang dewasa ragu-ragu, Sawunggaling maju dengan sebatang bambu panjang, menghalau ular itu hingga menjauh ke hutan. Keberaniannya bukan semata nekat, tapi muncul dari naluri melindungi dan tanggung jawab. Karakter keberanian telah terbentuk di usia muda pertanda bahwa ia seorang pemimpin (tokoh) rakyat yang mengayomi dan menumpas ketidak-adilan. Ia sosok tokoh yang sempurna di jamannya, waktu itu penindasan terhadap rakyat kecil merajalela oleh kekuasaan asing (penjajah Belanda) maupun bangsawan yang zalim.