Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akar Kekaguman pada 'Bule'(Mungkin) Inferioritas

19 Januari 2021   12:56 Diperbarui: 19 Januari 2021   13:57 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:www.everydayhealth.com

Dalam banyak hal, kita memang tertinggal salah satunya Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2019 berada di peringkat 107 dari 189 negara. Di Asia tenggara sendiri Indonesia kalah dari Singapura, Brunei, Thailand dan Malasya. Kita sejajar dengan Filipina dan sedikit lebih tinggi dari Vietnam.

Fakta HDI itu setidaknya menggambarkan bahwa kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak kita masih tertinggal jauh. Jika diilustrasikan secara kasar soal pendapatan misalnya, pada tahun 2019 pendapatan rata-rata warga warga negara Amerika Serikat sebesar $65.760/tahun jika (1$=14000 rupiah) atau sekitar Rp.920.640.000/tahun. Sementara Indonesia sebesar $4.050/tahun atau Rp. 56.700.000/tahun. Artinya pendapatan rata-rata warga negara Amerika Serikat 16,2 kali lebih besar dari warga negara Indonesia.

"Soal kebutuhan hidup yang paling dasar seperti kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak bukan merupakan hal yang permanen. Kita punya kesempatan untuk mengejar ketertinggalan lewat memperbaiki kualitas layanan kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi."

Menariknya inferioritas itu tidak melulu soal ketertinggalan pembangunan. Ini yang paling parah yakni inferioritas terhadap hal-hal yang sebenarnya sudah given dari Tuhan. Ada saja orang yang suka mengkaitkan antara kemajuan suatu negara dengan SARA. Mayoritas negara eropa sudah maju oleh sebagian orang dijadikan sebagai bahan justifikasi superioritas ras kaukasoid (berkulit putih dan berambut pirang. Padahal kemajuan suatu bangsa tidak ada sangku pautnya dengan satu ras tertentu.

Soal anggapan superioritas orang-orang asing, khususnya orang eropa tidak bisa dilepas dari proses pembaratan (westernisasi) dimana transfer budaya barat ke Indonesia begitu massif. Hal ini berkelidan dengan sejumlah motif ekonomi. Sebut saja makanan, mode, gaya berpakaian, musik dan lain sebagainya. Mungkin karena berasal dari negara maju, semua yang berasal dari sana dianggap sebagai suatu keunggulan yang bernas. Tiap hari kita dijejali hal-hal demikian! Bagi kita yang tingkat diskursus rendah dan tidak kritis terhadap hal-hal yang demikian akan menerimanya dengan terbuka.

Tentu gaya kita yang permisif adalah peluang ekonomi bagi negara lain lalu peluang itu ditangkap dan dipromosikan pula dengan anggaran yang luar biasa besar pula. Itu pulalah yang membuat mereka menjadi dominan dalam budaya populer (pop) baik dalam industri kuliner, musik, perfiliman dan lainnya. Kita secara tidak sadar (ingin) menjadi "orang asing" di negeri sendiri.

Jika sudah demikian bagaimana nasib "kepunyaan kita"? Mungkin hanya akan menjadi segmented dan terbatas pada orang-orang (minoritas) tertentu saja karena sudah tidak populer lagi. Bisa pula tinggal menunggu kepunahan.

Perhatikan gerai makan bergambar orang tua yang datang dari negeri Paman Sam begitu menggurita. Saya yakin tidak satu pun merk makanan dari Indonesia yang bisa menyamai omzetnya.

Kembali ke pokok persoalan bagaimana cara kamu memandang orang asing? Kalau saya pribadi biasa aja. Tapi, dalam konteks yang lain karena mereka berasal dari negara maju dan "bergaya hidup" seperti yang kebanyakan idam-idamakan maka dia memang sepertinya istimewa. Oleh karena itu, tanpa diskursus yang kritis kita akan terjebak ke dalam pemikiran keistimewaan semu orang-orang asing. Belum lagi misalkan ada manfaat ekonomi yang ditawarkan kepada kita.

Sebagai titik balik dari rasa inferioritas, kita perlu ke hal paling mendasar yakni mengapresiasi apa yang kita miliki. Terutama hal-hal yang sebenarnya sudah given dari Tuhan. Selain itu, ada juga budaya-budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa nenek moyang kita untuk menjawab kebutuhan hidupnya. Kita mungkin penting memodifikasi (menambah nilai) sebagai bentuk adaptasi. Soal budaya asing mungkin penting kita tiru untuk kepentingan hidup (bisa jadi ekonomi) tapi harus selektif. Kita harus yakin bahwa pembangunan untuk menaikkan taraf hidup menjadi sejahtera bisa kita lakukan tanpa menjadi orang asing di negeri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun