Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akar Kekaguman pada 'Bule'(Mungkin) Inferioritas

19 Januari 2021   12:56 Diperbarui: 19 Januari 2021   13:57 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:www.everydayhealth.com

"Hubungan antar manusia itu adalah hubungan yang dinamis. Dia bergerak mengikuti subjek-subjek yang saling berhubungan. Maka sejak dari awal telah banyak faktor yang mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap orang lain. Sebut saja dia terbiasa melihat 'melihat' orang yang menjadi "role modelnya" dengan mode berpakaian , makanan  dan musik tertentu. Atau kenyataan lain yang membuatnya merasa kagum setelah mendiami tempat tertentu yang orang-orang di sana memberikannya kenyaman dibanding tempat terdahulu atau sebaliknya membuatnya merasa terancam."

Mari kita telisik dari awal, warga kerajaan Majapahit mungkin pernah merasa lebih superior dari warga mana pun di belahan nusantara. Buktinya, mereka (kerajaan) melakukan ekspansi penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain. Lantas, mereka yang tunduk akan memberikan upeti rutin kepada sang penakluk. Upeti itu adalah bukti imperioritas!

Warisan Inferior Usang!

Hal yang paling ekstrem tentu saja paska penjelajahan samudera. Negara-negara eropa berlomba-lomba melakukan penaklukan. Selanjutnya melakukan penjajahan. Adalah fakta bahwa mereka adalah orang-orang yang badannya tinggi, tulangnya besar, hidungnya mancung dan kulitnya putih. Fakta lainnya, saat itu mereka memiliki senapan, meriam dan kapal-kapal besar. Tambahannya, mereka mengusai ilmu pengetahuan modern seperti kedokteran, arsitektur dan lain-lain. Bahkan sampai sekarang peninggalan mereka masih kita nikmati. Sebut saja Gedung-gedung megah seperti stasiun kereta, jembatan dan benteng.

Kompeni Belanda sendiri lewat Undang-Undang Kolonial tahun 1854 membagi 3 kelas masyarakat nusantara (Hindia-Belanda). Warga kelas satu adalah mereka yang berasal dari kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga kelas dua adalah mereka dari kalangan Vreemde Oosterlingen --Timur Asing---yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Dan warga kelas tiga, yakni inlander atau pribumi, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal.

"Glorifikasi terhadap orang asing itu lahir dari sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri. Meskipun awalnya dilakukan dengan cara paksa. Namun, orang-orang pribumi (inlander) mencoba mensejajarkan diri dengan hidup "ala" Eropa. Lalu, muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri dan kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa."

Pengalaman terdahulu menjadi cermin yang baik bagi kita. Dalam hal tertentu ada mentalitas inferior yang kita warisi dan nikmati. Ada sesuatu yang "nilainya" tidak lebih baik dari yang kita miliki lalu kita bangga jika kita memilikinya. Contohnya saja, apakah stelan jas "lebih baik dari" pakaian dari hasil tenun? Ada keinginan menjadi orang eropa. Apakah kita melalakukan? iya, misalnya sudah semacam ketetapan bahwa dalam acara-acara formal dan terhormat lebih baik memakai jas.

Soal melawan inferioritas itu, nenek moyang kita sudah melakukan pula. Kita patut berterima kasih pada mereka yang menolak menjadi "orang eropa" namun bagi dia penting untuk menuntut ilmu-ilmu modern yang saat itu didominasi orang asing (eropa). Ada banyak tokoh yang melakukannya. Sebut saja Soekarno, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim dan lain-lain. Itu pula yang mendorong pergerakan nasional sampai Indonesia merdeka.

Melawan Rasa Inferior

Saya sepakat bahwa harkat dan martabat manusia sama tanpa memandang darimana pun dia berasal. Tapi, cara pandang kita terhadap orang lain (asing) sangat tergantung pada cara pandang kita mengapresiasi diri kita sendiri (termasuk sebagai bangsa). Oleh karena itu, jangan heran apabila muncul sikap inferior atau superior atas orang lain.

Kalau zaman dulu sebagai bangsa terjajah ada rasa inferior karena terpaksa sebab dihadapkan pada persenjataan yang lengkap, penguasaan sumber daya alam, monopoli dagang dan penguasaan pemerintahan oleh penjajah. Untuk saat ini, rasa itu cenderung dilakukan (diterima) dengan suka rela. Betapa bodohnya yang suka rela menjadi inferior!

Dalam banyak hal, kita memang tertinggal salah satunya Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2019 berada di peringkat 107 dari 189 negara. Di Asia tenggara sendiri Indonesia kalah dari Singapura, Brunei, Thailand dan Malasya. Kita sejajar dengan Filipina dan sedikit lebih tinggi dari Vietnam.

Fakta HDI itu setidaknya menggambarkan bahwa kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak kita masih tertinggal jauh. Jika diilustrasikan secara kasar soal pendapatan misalnya, pada tahun 2019 pendapatan rata-rata warga warga negara Amerika Serikat sebesar $65.760/tahun jika (1$=14000 rupiah) atau sekitar Rp.920.640.000/tahun. Sementara Indonesia sebesar $4.050/tahun atau Rp. 56.700.000/tahun. Artinya pendapatan rata-rata warga negara Amerika Serikat 16,2 kali lebih besar dari warga negara Indonesia.

"Soal kebutuhan hidup yang paling dasar seperti kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak bukan merupakan hal yang permanen. Kita punya kesempatan untuk mengejar ketertinggalan lewat memperbaiki kualitas layanan kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi."

Menariknya inferioritas itu tidak melulu soal ketertinggalan pembangunan. Ini yang paling parah yakni inferioritas terhadap hal-hal yang sebenarnya sudah given dari Tuhan. Ada saja orang yang suka mengkaitkan antara kemajuan suatu negara dengan SARA. Mayoritas negara eropa sudah maju oleh sebagian orang dijadikan sebagai bahan justifikasi superioritas ras kaukasoid (berkulit putih dan berambut pirang. Padahal kemajuan suatu bangsa tidak ada sangku pautnya dengan satu ras tertentu.

Soal anggapan superioritas orang-orang asing, khususnya orang eropa tidak bisa dilepas dari proses pembaratan (westernisasi) dimana transfer budaya barat ke Indonesia begitu massif. Hal ini berkelidan dengan sejumlah motif ekonomi. Sebut saja makanan, mode, gaya berpakaian, musik dan lain sebagainya. Mungkin karena berasal dari negara maju, semua yang berasal dari sana dianggap sebagai suatu keunggulan yang bernas. Tiap hari kita dijejali hal-hal demikian! Bagi kita yang tingkat diskursus rendah dan tidak kritis terhadap hal-hal yang demikian akan menerimanya dengan terbuka.

Tentu gaya kita yang permisif adalah peluang ekonomi bagi negara lain lalu peluang itu ditangkap dan dipromosikan pula dengan anggaran yang luar biasa besar pula. Itu pulalah yang membuat mereka menjadi dominan dalam budaya populer (pop) baik dalam industri kuliner, musik, perfiliman dan lainnya. Kita secara tidak sadar (ingin) menjadi "orang asing" di negeri sendiri.

Jika sudah demikian bagaimana nasib "kepunyaan kita"? Mungkin hanya akan menjadi segmented dan terbatas pada orang-orang (minoritas) tertentu saja karena sudah tidak populer lagi. Bisa pula tinggal menunggu kepunahan.

Perhatikan gerai makan bergambar orang tua yang datang dari negeri Paman Sam begitu menggurita. Saya yakin tidak satu pun merk makanan dari Indonesia yang bisa menyamai omzetnya.

Kembali ke pokok persoalan bagaimana cara kamu memandang orang asing? Kalau saya pribadi biasa aja. Tapi, dalam konteks yang lain karena mereka berasal dari negara maju dan "bergaya hidup" seperti yang kebanyakan idam-idamakan maka dia memang sepertinya istimewa. Oleh karena itu, tanpa diskursus yang kritis kita akan terjebak ke dalam pemikiran keistimewaan semu orang-orang asing. Belum lagi misalkan ada manfaat ekonomi yang ditawarkan kepada kita.

Sebagai titik balik dari rasa inferioritas, kita perlu ke hal paling mendasar yakni mengapresiasi apa yang kita miliki. Terutama hal-hal yang sebenarnya sudah given dari Tuhan. Selain itu, ada juga budaya-budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa nenek moyang kita untuk menjawab kebutuhan hidupnya. Kita mungkin penting memodifikasi (menambah nilai) sebagai bentuk adaptasi. Soal budaya asing mungkin penting kita tiru untuk kepentingan hidup (bisa jadi ekonomi) tapi harus selektif. Kita harus yakin bahwa pembangunan untuk menaikkan taraf hidup menjadi sejahtera bisa kita lakukan tanpa menjadi orang asing di negeri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun