Mohon tunggu...
Ekki Khaerunia
Ekki Khaerunia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang

communication

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Objektifikasi Perempuan

10 April 2021   21:41 Diperbarui: 10 April 2021   21:45 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Media sosial, yang saat ini merupakan sebuah bentuk representasi dari teknologi digital, yang memiliki fungsi sebagai sumber informasi dan sarana hiburan, telah menjadi bagian penting dalam kehidupan di era teknologi atau dapat kita sebut sebagai era new media. Di era new media seperti saat ini, kebutuhan hasrat seksual seseorang dapat dengan mudah terpenuhi salah satunya melalui penggunaan media sosial.

Objektifikasi perempuan merupakan suatu kondisi dimana bagian tubuh perempuan dijadikan sebuah 'objek' yang dapat dinikmati melalui pandangan maupun sentuhan. Dalam hal lain, objektifikasi ini muncul sebagai sebuah hal yang lazim terjadi di dalam kehidupan masyarakat digital yang memposisikan tubuh perempuan sebagai objek yang dapat dieksploitasi kapanpun. Eksploitasi tubuh perempuan yang divisualisasikan dlam berbagai bentuk konten media seolah menjadikan tubuh perempuan sebagai alat pemuas kebutuhan seksual laki-laki. Objektifikasi perempuan tidak hanya menyebabkan perempuan merasa malu dan takut, tetapi juga mempromosikan perlakuan terhadap mereka sebagai sebuah mainan yang tidak manusiawi.

Belakangan ini media sosial seringkali dijadikan sebuah sarana objektifikasi perempuan. Sebagai ruang publik yang memfasilitasi terjadinya komunikasi antar berbagai pihak, media sosial banyak digunakan untuk kegiatan sosial. Akan tetapi, di sisi lainnya ketika media sosial membuka ruang untuk publik melakukan berbagai kegiatan sosial, ruang digital tersebut dapat menjadi media objektifikasi perempuan.

Identitas perempuan dan laki-laki seringkali ditampilkan berbeda di media sosial. Terlihat perbedaan dalam menampilkan citra antara laki-laki dan perempuan oleh media sosial. Laki-laki biasanya menjadi subjek yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan. Sedangkan perempuan cenderung sebagai objek, terlebih sebagai objek fantasi para kaum laki-laki.
Objek tersebut akan memamerkan bagian tubuhnya, sehingga laki-laki dapat merasakan kepuasan tersendiri dari objek tersebut.

     Baru-baru ini, kejadian objektifikasi perempuan di media sosial dialami salah seorang mantan anggota JKT48, Hasyakyla Utami Kusumawardhani, yang juga merupakan kakak Adhisty Zara. Hasyakyla mengalami pelecehan seksual di media sosial oleh seorang pria tak dikenal. Saat sedang melakukan siaran langsung di Instagram miliknya, ada seseorang yang mengajak siaran langsung bersama dengannya. Hasyakila tak menaruh sedikitpun rasa curiga, pasalnya yang mengajaknya siaran langsung bersama adalah akun Instagram Iin Waode yang merupakan koreografer JKT48. 

Setelah menerima permintaan bergabung tersebut, tidak nampak wajah seseorang disana, justru yang nampak adalah alat kelamin laki-laki. Beberapa saat kemudian, Hasyakila menyudahi siaran langsung-nya dan ia mengaku trauma atas kejadian yang menimpanya di media sosial tersebut. Dalam contoh kasus tersebut, jelas sekali Hasyakyla sebagai perempuan mengalami perlakuan bias gender, dimana tubuhnya dieksploitasi dan dijadikan sebagai sebuah objek oleh seorang ekshibisionis.

Dalam hubungannya dengan media dan visualisasinya terhadap perempuan, filsafat identitas mencoba menggali situasi di balik penggambaran dan penampilan media tentang identitas perempuan. Filsafat identitas mempertanyakan perbedaan identitas apa antara perempuan dan laki-laki yang coba ditampilkan oleh media kepada masyarakat digital.

Adanya perbedaan identitas yang ditampilkan media ini dapat memicu terjadinya kekerasan gender berbasis online, terlebih terhadap perempuan. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tercatat ada 940 kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Adanya perbedaan identitas dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di media sosial dapat melahirkan konsensus di mata masyarakat digital, dan menjadi seakan benar karena mendapatkan pembenaran oleh media. Kapasitas media sosial yang begitu besar haruslah dipahami dengan baik dan digunakannya secara hati-hati. Salah satu kunci untuk memerangi keadaan saat ini, dimana perempuan dijadikan sebuah objek secara seksual dan dianggap dapat memenuhi kebutuhan seksual laki-laki, adalah dengan mengambil sebuah tindakan untuk menuju standar yang lebih setara.

DAFTAR PUSTAKA

  • Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial : Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
  • Dobson, A. S. (2016). Postfeminist digital cultures: Femininity, social media, and selfrepresentation. New York: Palgrave Macmillan.
  • Deana A, Rohingler. (2019). New Media and Society. New York : New York University Press.
  • Berberick, S. N. (2010). The objectification of women in mass media: Female self-image in misogynist culture. The New York Sociologist, Vol.5.
  • Nayahi, Manggala. (2015). Pencitraan Perempuan oleh Media: Eksploitasi Tubuh Perempuan sebagai Objek Kepuasan Lelaki. Jurnal Perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun