Dalam praktik perbankan dan pembiayaan di Indonesia, hak tanggungan menjadi jaminan utama untuk pinjaman dengan agunan berupa tanah dan bangunan. Hak tanggungan memberikan kekuatan hukum kepada kreditur untuk mengeksekusi agunan jika debitur gagal memenuhi kewajiban pembayaran. Eksekusi ini umumnya dilakukan melalui proses lelang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Namun, dalam realitasnya, pelaksanaan lelang tidak selalu berjalan mulus. Banyak kasus di mana debitur menggugat pelaksanaan lelang, menyebabkan eksekusi terhambat bahkan tertunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Gugatan-gugatan yang diajukan debitur seringkali membawa dampak besar, bukan hanya terhadap jalannya proses eksekusi, tetapi juga terhadap kepastian hukum dan iklim investasi. Banyak kreditur akhirnya harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan haknya kembali, sementara debitur menggunakan berbagai celah hukum untuk mempertahankan objek jaminan. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas sistem hukum dalam menegakkan hak-hak kreditur serta sejauh mana debitur dapat memanfaatkan sistem peradilan untuk menunda atau bahkan menggagalkan eksekusi.
Tujuan utama dari artikel ini adalah memberikan analisis mendalam mengenai strategi yang digunakan debitur dalam menggugat pelaksanaan lelang, serta dampaknya terhadap proses eksekusi hak tanggungan. Artikel ini juga bertujuan untuk memberikan panduan bagi para praktisi hukum, kreditur, dan pihak-pihak terkait agar dapat lebih memahami dinamika hukum yang terjadi dan merumuskan langkah strategis dalam menghadapi gugatan debitur. Dengan menggali lebih dalam tentang prosedur hukum, dalil yang sering digunakan debitur, hingga putusan-putusan pengadilan, diharapkan pembaca bisa melihat peta permasalahan secara menyeluruh.
A. Pengertian Eksekusi Hak Tanggungan
Hak tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya. Dasar hukum dari hak tanggungan adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam konteks ini, hak tanggungan menempatkan kreditur sebagai pihak yang memiliki hak eksekutorial apabila debitur wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Sifat hak tanggungan adalah "droit de suite" dan "droit de preference" -- artinya, hak ini mengikuti objeknya ke tangan siapapun objek itu berpindah, dan memberikan kedudukan yang diutamakan dibanding kreditur lainnya. Dengan sertifikat hak tanggungan (SHT) yang telah didaftarkan, kreditur memiliki hak langsung untuk melakukan eksekusi atas jaminan tanpa perlu melalui proses peradilan biasa. Namun demikian, dalam praktiknya, proses eksekusi seringkali menghadapi kendala hukum dan tak jarang harus melibatkan pengadilan.
B. Proses Eksekusi Berdasarkan UU HT No. 4 Tahun 1996
Menurut UU Hak Tanggungan, proses eksekusi dapat dilakukan melalui dua jalur:
Eksekusi Parate (Pasal 6 UU HT)
Jika debitur wanprestasi, kreditur berhak menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa perlu putusan pengadilan. Ini disebut sebagai parate eksekusi.Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial (Pasal 14 ayat 2 UU HT)
SHT yang memuat irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" memiliki kekuatan seperti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kreditur dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri.
Namun dalam praktiknya, debitur dapat mengajukan gugatan untuk menghambat pelaksanaan eksekusi dengan berbagai dasar hukum. Gugatan ini menjadi batu sandungan serius terhadap kreditor, terutama bila putusan pengadilan menyatakan status quo atau menunda pelaksanaan lelang sampai gugatan tuntas.