Zaman modern lahir dari semangat manusia untuk membongkar misteri. Kalau dulu hidup penuh mitos dan cerita ajaib, kini segalanya ditimbang dengan logika dan data. Itu sebabnya sejak abad ke-17, dunia tak lagi dipahami lewat simbol dan makna suci, tapi berdasarkan hukum alam yang pasti, angka, dan bukti nyata. Â Inilah proses yang disebut dengan "demitodologisasi", Â proses menyingkirkan mitos sebagai cara utama untuk memahami dunia.
Di masyarakat tradisional, mitos punya peran vital. Mitos bukan sekadar dongeng kosong, melainkan bahasa simbolik yang membantu manusia menafsirkan kenyataan. Seperti dalam budaya Bali, gunung bukan hanya batu besar, tapi dipercaya sebagai pusat energi dan kesadaran kosmis. Sungai bukan cuma aliran air, tapi nadi kehidupan. Semua ritual adalah upaya menjaga keseimbangan antara aspek fisik (sekala) dan spiritual (niskala). Di Yunani kuno, mitos berfungsi serupa. Dewa dan dewi adalah simbol kekuatan alam dan dorongan hati manusia. Dengan mitos, manusia mendapat arah dan makna hidup.
Tapi sejak filsuf seperti Ren Descartes memandang manusia sebagai "res cogitans", makhluk berpikir yang terpisah dari dunia materi, muncullah cara pandang baru. Alam bukan lagi dianggap hidup ataupun sakral, tapi objek penelitian dan penguasaan. Francis Bacon menambah: pengetahuan berarti kekuatan. sejak itu, cara berpikir mitologis dicap kuno, tidak ilmiah, bahkan dianggap perlu disingkirkan.
Puncak perubahan ini terjadi pada masa Pencerahan (Enlightenment). Dunia harus dijelaskan dengan sebab-akibat yang masuk akal, bukan cerita kosmis. Dunia yang dulu terasa penuh makna, kini jadi netral dan mekanis: semuanya bisa diukur, dinilai, dan dijelaskan, tapi makna mendalamnya justru menghilang.
Dampak demitodologisasi terasa hingga ranah agama dan pendidikan. Rudolf Bultmann, seorang teolog Jerman, berpendapat bahwa manusia modern perlu menafsir ulang kisah-kisah suci dan mukjizat jadi simbol makna hidup, bukan fakta literal.
Namun, kemajuan ini juga bikin manusia kehilangan akar makna dan rasa kagum pada dunia. Nietzsche menyebutnya "kematian Tuhan", bukan lenyapnya agama formal, tapi hilangnya pusat makna hidup. Heidegger bilang, manusia jadi terasing dari "Ada" (Being); hidup dikelilingi benda-benda, tapi hampa makna dan arah.
Menariknya, di tengah rasa kosong itu, muncul arus balik yang dikenal sebagai re-mitologisasi. Carl Gustav Jung melihat mitos sebagai cermin jiwa manusia, tempat arketipe dan potensi diri bersemayam. Joseph Campbell pun mengenalkan "hero's journey", perjalanan batin yang muncul di setiap kebudayaan dan cerita, seperti proses anak menemukan keberanian dalam menghadapi ketakutan.
15 tahun lalu, saya sudah memahami ini. Walau saat itu saya belum kenal dengan Rene Descartes, Francis Bacon, Kant, Socrates, dan pendahulunya. Kalau direnungkan, buku saya "Jana Tak Mau Tidur" juga bicara soal perjalanan simbolik dan pemaknaan lewat cerita. Jana, tokoh utama, menolak tidur, seolah melawan rutinitas sehari-hari. Lalu masuk ke dunia penuh suara misterius dan bertemu tokoh-tokoh tak biasa. Di sana, mitos lokal muncul kembali: ada suara, tarian, dan bahkan tokoh Rangda yang biasanya ditakuti, kali ini menjadi sahabat yang membawanya ke alam 'tidur'. Adegan Jana memotong kuku Rangda dan mendengarkan cerita adalah contoh simbol keintiman antara anak dan dunia mitos, bukan sekadar cerita horor, tapi ruang tumbuhnya rasa ingin tahu, keberanian, dan imajinasi.
Di era digital, banyak anak dan orang tua yang rasanya jauh dari dunia simbol. Segalanya serba praktis dan efisien, soal tidur pun penuh aturan dan rutinitas tanpa makna. Padahal, lewat cerita simbolik dan mitos kecil seperti di buku "Jana Tak Mau Tidur", anak-anak bisa belajar bahwa tidur bukan sekadar rutinitas, tapi peluang  dekat dengan Ayah Ibu, berpetualang dalam dunia mimpi dan imajinasi, menemukan makna terdalam yang tak bisa dijelaskan oleh logika semata. Menemukan 'Dewa' dalam hidupnya.Â
Kamu tau, meski dewa-dewi berusaha disingkirkan dengan data dan logika di era cepat-cepat menuju Indonesia cemas, sebenarnya masyarakat digital menciptakan dewa-dewa baru: algoritma, data, selebritas, dan ideologi. Semua itu bekerja seperti mitos lama, Â memberi struktur, arah, dan makna pada dunia yang kompleks.
Jadi, walau zaman modern menuntut sains, rasio, dan data, manusia tetap butuh mitos untuk menceritakan dan memaknai hidup. Demitodologisasi memang membuat kita 'cerdas' secara rasional, tapi tetap ada kerinduan untuk kembali ke cerita, simbol, dan makna batin. Mungkin tugas kita sekarang bukan sekadar menolak logika, melainkan mengembalikan mitos sebagai bahasa jiwa. Supaya anak dan kita semua tetap punya ruang untuk bermimpi, bertanya, dan menemukan keberanian menghadapi dunia, dalam tidur maupun terjaga.
[1](https://id.scribd.com/document/431330716/Makalah-Rasionalisme-Dan-Empirisme)
[2](https://ppl-ai-file-upload.s3.amazonaws.com/web/direct-files/attachments/70670991/c04f94e9-7522-4c6a-a6d5-61a0b7b7d382/Jana-Tak-Mau-Tidur-POP-1.pdf)
ayasan Literasi Anak Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI