Pendeman, 24/04/2025 --- Masyarakat Desa Pendeman, sebuah desa kecil yang masih kental memegang tradisi Jawa, punya cara sendiri untuk merayakan rasa syukur sekaligus melepas lelah usai menggelar acara besar seperti pernikahan. Tradisi ini dikenal dengan sebutan jenangan --- sebuah kegiatan sederhana, tapi sarat makna kebersamaan.
Sebagai warga Desa Pendeman, saya merasa beruntung masih bisa melihat, merasakan, bahkan ikut terlibat dalam tradisi jenangan ini. Di era sekarang, di mana banyak orang lebih suka merayakan pesta dengan cara praktis dan modern, jenangan tetap hidup, membuktikan bahwa gotong royong dan kebersamaan masih menjadi ruh desa kami.
Asal-usul dan Makna Jenangan
Orang tua di sini bercerita, jenangan sudah ada sejak zaman kakek buyut mereka. Kata jenangan sendiri berasal dari kata dasar jenang --- sejenis bubur manis khas Jawa yang dibuat dari tepung beras, gula merah, santan, dan kadang diberi pewarna alami seperti daun pandan atau suji. Jenangan berarti 'acara membuat jenang bersama-sama'.
Tapi lebih dari sekadar membuat jenang, jenangan punya filosofi yang dalam. Di desa kami, setiap kali ada pesta besar seperti mantenan, sunatan, atau selamatan besar lainnya, pasti banyak orang yang terlibat: mulai dari tetangga dekat, sanak saudara, hingga teman sejawat. Mereka rela membantu memasak, menyiapkan kursi, membersihkan halaman, bahkan begadang semalam suntuk demi lancarnya acara.
Setelah acara selesai, tentu badan pegal, mata kantuk, dan tenaga terkuras. Nah, jenangan diadakan sebagai cara 'balas budi' sekaligus wujud syukur dari tuan rumah kepada para tetangga dan kerabat yang sudah membantu tanpa pamrih. Dengan makan jenang bersama, lelah pun seolah terbayar lunas dengan canda tawa.
Proses Jenangan: Dari Dapur Hingga Tumpah Ruah di Lesehan
Biasanya, jenangan diadakan satu atau dua hari setelah pesta selesai, tepatnya ketika perlengkapan sudah dibereskan. Saya masih ingat, beberapa bulan lalu saat membantu hajatan mantenan adik saya, jenangan diadakan dua malam setelah acara usai.
Pagi harinya, ibu-ibu sudah berkumpul di dapur belakang. Ada yang menyiapkan kelapa untuk diparut, ada yang mengulek bumbu kecil-kecilan, dan tentu saja ada yang sibuk mengaduk adonan jenang di kuali besar di atas tungku kayu bakar. Suara sendok kayu mengaduk perlahan bercampur dengan tawa ringan para ibu-ibu yang sambil bergosip tipis-tipis.
Aroma harum santan bercampur gula merah yang meleleh membuat siapa pun yang lewat pasti menelan ludah. Jenang yang dimasak pun bukan hanya satu jenis. Di Pendeman, umumnya ada jenang abang (jenang merah), jenang putih (terbuat dari tepung ketan dan santan), serta kadang ada jenang sumsum yang lembut dan gurih.
Sore menjelang maghrib, jenangan siap disajikan. Biasanya tuan rumah menggelar tikar panjang di teras rumah atau di pendapa. Semua orang yang merasa ikut berkontribusi dalam hajatan datang berkumpul: bapak-bapak yang kemarin memasang tenda, ibu-ibu yang masak di dapur, remaja yang cuci piring, sampai anak-anak yang sekadar membantu mengantar air minum.