Menjuntai harapan ingin kusentuh. Â Namun kubiarkan saja teronggok disana. Â Bersama tumpukan kenangan yang selalu membuatku luka. Â Aku tak berani lagi mengambilnya, bahkan menolehpun rasanya enggan.Â
Sedihku dan bahagiaku seakan berebut mencari perhatian. Â Kenangan lama yang dulu kusimpan, ingin sekali kubuang. Â Waktu demi waktu tlah terlewati. Â Aku hanya tercengang dengan keputusanku sendiri. Â Bukankah mengakhiri semuanya sama saja dengan menghilangkan identitas diri.Â
Lalu dirimu datang. Entah diriku harus bahagia atau malah lebih terluka.  Lagi-lagi percikan itu menyala,  percikan rasa terlarang.  Aku yang mudah goyah ataukah dirimu yang begitu mempesona.  Kau tawarkan pengandaian.  Andai dirimu hadir bertahun-tahun yang lalu,  dirimu takkan pernah membiarkanku bersedih meneteskan  airmata. Ah,  dirimu selalu begitu.Â
Kau tawarkan satu ramuan kopi bahagia. Katamu itu adalah ramuan paling istimewa. Â Aku sama sekali tak percaya, Â tapi aku ingin mencoba.Â
"Ceritakanlah kenangan yang ingin kau hapus" katamu.  Aku pun bagai terhipnotis menceritakan semua  rahasiaku padamu.  Aku tak takut jika nantinya kau mencintaiku.  Malah aku berharap rasa terlarangku pun bersambut manis. Â
Akhirnya detik itu tiba, detik  dimana semua cerita kututup dengan meminum kopi bahagia darimu.Â
"Aku menyukaimu" dirimu mengaku juga.Â
Aku hanya tertawa. Kopi bahagia ini benar-benar membuatku bahagia. Ataukah bahagia ini nantinya menjadi awal bencana, entahlah.Â