Laju keong ini jauh tidak sebanding dengan kebutuhan manusia terhadap  pemenuhan ekonomi. Hampir semua sektor usaha mengalami kesulitan.
Gaya beli masyarakat melorot tajam. Kalau waktu itu kita berani lockdown maka gelimpang orang mati tidak bisa terbayangkan bertumpuknya.
Sebagian orang mati karena serudukan si Covid, sebagian lagi mungkin menemui ajal karena kelaparan tak mendapat pasokan makan.
Dalam kondisi kebijakan PSBB dan sebangsanya, ekonomi kita telah amat parah terjerembab. Kalau langsung lockdown maka kata sejumlah ekonom, akan lebih parah dari resesi  1998 lalu. Wallahu a'lam.
Alih-alih lockdown tidak kita lakukan , ketika Gubernur Jakarta melempar wacana akan menarik rem darurat dan memberlakukan  PSBB jilid II di ibu kota,  reaksi serempak  marak di sana sini.
 Menteri Kordinator Perekonomian Erlangga Hartarto paling galak menghardik rencana Anis Baswedan itu.
 Erlangga bukan  tanpa alasan. Rasional dan argumentatif.  "Imam Besar" Golkar itu bicara  tentu saja dari sudut kepentingan ekonomi.Â
Ia memang orang yang merasa paling bertanggung jawab ketika ekonomi negeri ini lumpuh. Rencana Anies ditenggarainya sebagai mengancam kehidupan manusia.
Jika manufaktur dan pabrik  ditutup, tempat-tempat usaha tidak boleh beroperasi, lalu lintas dibatasi, bahkan rencananya  ojeg dan sebangsanya tidak boleh lagi menarik orang, jutaan manusia akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
Ujung-ujungnya mungkin Erlangga berpikir mereka akan mati juga. Jadi nanti ada dua jalan kematian. Mati karena diterjang virus, dan yang lain meninggal karena tidak bisa makan.
Pada akhirnya memang jalan kompromi yang ditempuh. Anies melemah. Ia masih membolehkan beberapa jenis usaha dan pabrik  berjalan. Ojeg dan transportasi juga masih dibolehkan menarik penumpang. Pasar dan pusat perbelanjaan masih boleh buka tapi dengan kapasitas pengunjung hanya 25 %.