Mohon tunggu...
eka betharia suarang
eka betharia suarang Mohon Tunggu... mahasiswa

!!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Akuntansi Dengan Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

11 Oktober 2025   23:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   23:01 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus lain yang relevan untuk dianalisis melalui lensa hermeneutik adalah skandal keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang mencuat sejak 2019. Jiwasraya gagal membayar polis nasabah senilai lebih dari Rp16 triliun akibat praktik investasi berisiko tinggi dan dugaan manipulasi laporan keuangan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kasus ini bukan hanya mengguncang dunia keuangan Indonesia, tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara.

Jika dianalisis secara hermeneutik, kasus Jiwasraya menggambarkan krisis aksiologis — krisis nilai dan makna moral dalam praktik akuntansi. Dalam pandangan Dilthey, ilmu manusia harus berakar pada Lebenswert (nilai kehidupan) dan Einfühlung (empati), yaitu kemampuan untuk memahami kehidupan batin orang lain secara mendalam. Namun dalam kasus Jiwasraya, dimensi empatik ini nyaris hilang. Akuntansi dijalankan bukan sebagai sarana pertanggungjawaban moral, tetapi sebagai instrumen kekuasaan dan manipulasi citra.

Angka-angka yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan berubah menjadi topeng yang menutupi kenyataan. Akuntansi kehilangan fungsinya sebagai bahasa moral (Sittlicher Sinn) dan berubah menjadi alat legitimasi untuk menutupi krisis. Dalam kerangka Dilthey, tindakan tersebut menunjukkan pemisahan antara “pengetahuan” dan “nilai”, di mana akuntansi hanya dipahami sebagai sistem teknis tanpa kesadaran eksistensial.

Jika ditafsir melalui konsep Verstehen, peneliti atau auditor hermeneutik akan berusaha memahami konteks batin di balik tindakan para pengambil keputusan. Misalnya, tekanan dari pemegang saham, budaya organisasi yang menekankan pencapaian jangka pendek, hingga ketakutan kehilangan reputasi institusional. Semua itu adalah bagian dari dunia hidup (Lebenswelt) yang membentuk tindakan ekonomi. Oleh karena itu, penyimpangan dalam akuntansi bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi gejala dari disorientasi nilai dalam kehidupan ekonomi modern.

Kasus Jiwasraya menunjukkan bahwa krisis ekonomi sesungguhnya berawal dari krisis makna dan empati. Dalam perspektif hermeneutik, pemulihan kepercayaan publik tidak cukup dilakukan melalui perbaikan regulasi atau teknologi akuntansi, tetapi harus dimulai dari rekonstruksi moral dan kesadaran kemanusiaan dalam diri pelaku ekonomi. Akuntansi harus dikembalikan pada fungsinya sebagai praktik tanggung jawab etis, bukan sekadar mekanisme kontrol finansial.

3. Refleksi Hermeneutik atas Dua Kasus

Dari dua kasus di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa praktik akuntansi tidak pernah bebas dari nilai. Setiap angka, laporan, dan keputusan mencerminkan pengalaman batin (Erlebnis) para pelaku ekonomi. Dalam konteks Garuda Indonesia, angka laba yang dipoles merepresentasikan pergulatan eksistensial organisasi dalam mempertahankan legitimasi publik. Sedangkan dalam kasus Jiwasraya, laporan keuangan yang dimanipulasi menunjukkan hilangnya empati dan kesadaran moral terhadap nasabah.

Pendekatan hermeneutik mengajak kita untuk tidak berhenti pada kritik prosedural, tetapi melangkah lebih dalam: memahami makna manusiawi di balik angka. Ketika angka kehilangan makna moralnya, maka akuntansi berubah menjadi praktik yang dehumanisasi — menjauh dari tujuan sejatinya sebagai sarana komunikasi nilai, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Dengan membaca akuntansi sebagai teks kehidupan (Lebenswelt), kita diingatkan bahwa setiap pencatatan adalah tindakan moral, setiap laporan adalah ekspresi batin, dan setiap angka membawa tanggung jawab eksistensial. Sebagaimana dikatakan Dilthey, pemahaman sejati terhadap manusia hanya dapat diperoleh bila kita “menghidupkan kembali kehidupan yang dihayati” — termasuk kehidupan ekonomi yang terwujud dalam angka-angka akuntansi (Dilthey, 1911).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun