Selain nilai, Dilthey juga menekankan pentingnya empati sebagai prinsip etika dalam memahami manusia. Dalam penelitian akuntansi hermeneutik, empati berarti kemampuan peneliti untuk menghidupkan kembali pengalaman batin pelaku ekonomi — memahami tekanan, rasa bersalah, tanggung jawab, atau kebanggaan yang menyertai tindakan mereka. Dengan empati, akuntansi menjadi praktik yang manusiawi dan bermoral, bukan sekadar prosedur teknis.
Aspek terakhir dari aksiologi hermeneutik adalah makna moral yang terkandung dalam angka-angka akuntansi. Angka bukanlah realitas mati, melainkan teks moral yang berbicara tentang kejujuran, tanggung jawab, dan niat baik. Neraca dapat dibaca sebagai “keseimbangan moral” antara hak dan kewajiban; laba sebagai hasil keadilan distributif; dan pajak sebagai ekspresi solidaritas sosial.
Transparansi dan tanggung jawab, dalam pandangan hermeneutik, bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan sikap etis untuk membiarkan makna kehidupan terlihat melalui laporan keuangan. Oleh karena itu, akuntansi hermeneutik berfungsi bukan hanya untuk mengontrol, tetapi untuk mengomunikasikan nilai-nilai moral kehidupan manusia.
Studi Kasus: Hermeneutika Akuntansi dalam Kasus Garuda Indonesia dan Jiwasraya
Untuk memahami penerapan teori akuntansi hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam konteks nyata, penting melihat bagaimana praktik akuntansi di Indonesia sering kali memperlihatkan dinamika antara angka, makna, dan moralitas. Dua kasus yang menarik untuk dianalisis melalui pendekatan hermeneutik adalah kasus laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 dan kasus gagal bayar investasi PT Asuransi Jiwasraya. Keduanya menunjukkan bahwa angka dalam akuntansi tidak pernah netral; ia adalah simbol dari keputusan moral, nilai, dan tanggung jawab sosial pelaku ekonomi.
1. Kasus Garuda Indonesia (2018): Angka sebagai Simbol Kejujuran dan Legitimasi
Pada tahun 2018, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sempat menghebohkan publik karena melaporkan laba bersih sebesar USD 809 ribu setelah dua tahun berturut-turut mencatat rugi besar. Namun, setelah diaudit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), ditemukan adanya pengakuan pendapatan yang belum layak diakui secara akuntansi, yaitu dari kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi senilai USD 239 juta. Laporan tersebut kemudian harus direvisi karena dianggap tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya.
Dalam pandangan hermeneutik Dilthey, fenomena ini dapat dipahami bukan hanya sebagai kesalahan teknis dalam penerapan PSAK, melainkan sebagai gejala moral dan simbolik dari tekanan eksistensial perusahaan. Dilthey menegaskan bahwa setiap tindakan manusia, termasuk tindakan ekonomi, adalah Ausdruck — ekspresi dari kehidupan batin dan kondisi sosial yang melingkupinya (Dilthey, 1911).
Dengan demikian, laporan keuangan Garuda Indonesia dapat dibaca sebagai teks kehidupan organisasi yang mengekspresikan keinginan untuk bertahan, diakui, dan dipercaya publik. Tindakan manajemen yang “memoles” laporan keuangan mencerminkan pergumulan antara etika dan survival, antara keinginan untuk tampil sehat di mata investor dan tanggung jawab moral untuk menyajikan kebenaran.
Pendekatan hermeneutik membantu kita memahami bahwa angka laba yang disajikan bukan sekadar data kuantitatif, melainkan simbol legitimasi sosial. Ketika angka itu dimanipulasi, makna moral yang terkandung di dalamnya ikut terguncang. Dalam konteks Dilthey, kesalahan ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga keretakan makna hidup ekonomi — di mana kejujuran, tanggung jawab, dan empati terhadap pemangku kepentingan diabaikan demi mempertahankan citra.
2. Kasus Jiwasraya: Nilai, Empati, dan Krisis Makna dalam Akuntansi