Mohon tunggu...
eka betharia suarang
eka betharia suarang Mohon Tunggu... mahasiswa

!!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Akuntansi Dengan Pendekatan Hermeneutik Wilhelm Dilthey

11 Oktober 2025   23:01 Diperbarui: 11 Oktober 2025   23:01 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perkembangan ilmu akuntansi pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari akar filsafat ilmu yang melandasinya. Selama ini, akuntansi sering dipandang sebagai ilmu eksakta sosial yang meniru metode ilmu alam dengan menekankan pada pengukuran objektif, data kuantitatif, dan hubungan sebab-akibat. Pendekatan ini dikenal sebagai paradigma positivistik, di mana kebenaran dianggap hanya dapat diperoleh melalui observasi empiris dan generalisasi. Namun, pandangan ini mendapat tantangan dari berbagai aliran filsafat, terutama hermeneutika, yang menekankan bahwa manusia dan dunia sosial tidak dapat dijelaskan dengan metode ilmu alam semata, melainkan harus dipahami melalui makna dan pengalaman hidup manusia.

Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam membangun dasar hermeneutika modern adalah Wilhelm Dilthey (1833–1911). Ia dikenal sebagai filsuf Jerman yang memperkenalkan pembedaan antara Naturwissenschaften (ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu roh atau ilmu kemanusiaan). Dilthey berupaya memberikan dasar epistemologis dan ontologis bagi ilmu-ilmu sosial agar tidak dianggap lebih rendah dari ilmu alam. Ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang manusia tidak hanya menjelaskan (erklären) tetapi memahami (verstehen) yakni, memasuki pengalaman batin manusia dan menafsirkan makna di dalamnya (Dilthey, 1911).

Dalam konteks akuntansi, pemikiran Dilthey memiliki relevansi yang sangat mendalam. Akuntansi bukan sekadar sistem teknis untuk mencatat transaksi ekonomi, tetapi juga merupakan sistem simbolik yang mengekspresikan nilai, tanggung jawab, dan pengalaman manusia dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, pendekatan hermeneutik dalam teori akuntansi berusaha memahami angka dan laporan keuangan bukan sebagai data mati, melainkan sebagai teks kehidupan yang penuh makna moral,historis,dan spiritual.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana teori akuntansi dapat ditinjau melalui tiga dimensi utama hermeneutika Wilhelm Dilthey, yaitu epistemologi (cara mengetahui), ontologi (hakikat realitas), dan aksiologi (nilai dan moralitas dalam pengetahuan). Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru terhadap akuntansi sebagai ilmu kemanusiaan yang hidup, berakar pada pengalaman, dan bermakna bagi manusia.

Tiga Dimensi utama yaitu :

1. Epistemologi Hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam Akuntansi

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, hakikat, dan batas pengetahuan manusia. Dalam pandangan Dilthey, ilmu pengetahuan tidak bersifat tunggal, melainkan terbagi menjadi dua cara mengetahui yang berbeda secara ontologis dan metodologis, yaitu ilmu alam (Naturwissenschaften) dan ilmu roh (Geisteswissenschaften).

Ilmu alam berfokus pada fenomena eksternal yang dapat diukur dan dijelaskan melalui hubungan sebab-akibat. Sebaliknya, ilmu roh berfokus pada kehidupan batin manusia, makna, dan nilai-nilai yang hidup dalam pengalaman. Dalam bahasa Dilthey, ilmu roh tidak menjelaskan, tetapi memahami (verstehen) yakni menghidupkan kembali pengalaman batin orang lain (nacherleben).

Dalam konteks akuntansi, paradigma positivistik yang mendominasi selama ini melihat perusahaan, laporan keuangan, atau perilaku ekonomi sebagai objek luar yang dapat diukur secara empiris. Peneliti berperan seperti dokter yang mengamati pasien dari luar, mencari gejala dan penyakit keuangan melalui indikator kuantitatif, seperti pengaruh leverage terhadap profitabilitas atau hubungan antara CSR dan nilai pasar perusahaan.

Namun, pendekatan hermeneutik Dilthey mengingatkan bahwa akuntansi juga merupakan ilmu tentang manusia dan pengalaman hidupnya. Angka-angka dalam laporan keuangan tidak hanya mencerminkan realitas ekonomi, tetapi juga memuat nilai moral, keputusan etis, dan tanggung jawab sosial dari pelaku ekonomi. Oleh karena itu, peneliti akuntansi hermeneutik berusaha memahami bagaimana akuntan, manajer, atau auditor menghayati proses pencatatan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan (Dilthey, 1911).

Dilthey menolak pandangan positivistik Auguste Comte yang ingin menyeragamkan semua ilmu dengan metode eksakta. Menurutnya, ilmu alam menjelaskan (erklären), sedangkan ilmu manusia memahami (verstehen). Keduanya sama-sama rasional, tetapi memiliki bentuk rasionalitas yang berbeda. Dalam ilmu manusia, rasionalitas tidak diukur dengan hukum universal, melainkan dengan koherensi makna dalam konteks kehidupan 

Dengan demikian, dalam epistemologi akuntansi hermeneutik, pengetahuan yang sahih tidak diukur dari validitas statistik, melainkan dari kedalaman interpretasi dan koherensi makna yang dihasilkan peneliti dalam memahami realitas sosial dan moral di balik angka-angka keuangan.

2. Ontologi Akuntansi Hermeneutik: Akuntansi sebagai Ekspresi Kehidupan

Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas hakikat realitas atau keberadaan sesuatu. Dalam pandangan Dilthey, realitas manusia bukanlah entitas yang berdiri di luar manusia seperti benda alam, melainkan kehidupan itu sendiri (das Leben). Oleh karena itu, ontologi hermeneutik disebut juga sebagai ontologi kehidupan — realitas yang dipahami dari dalam pengalaman manusia.

Akuntansi, dalam kerangka ini, tidak dapat dipahami sebagai sistem netral atau teknis yang berdiri di luar manusia. Ia merupakan bagian dari dunia hidup (Lebenswelt), yaitu dunia sosial-historis tempat manusia memberi arti pada segala sesuatu, termasuk angka, laba, dan tanggung jawab ekonomi.

Misalnya, di dunia pedagang tradisional, laba dipahami sebagai rezeki dan tanda keberkahan; di dunia korporasi modern, laba dimaknai sebagai indikator performa dan legitimasi publik; sedangkan dalam tradisi spiritual, laba bisa dihayati sebagai keseimbangan moral antara usaha dan doa. Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi hidup dalam struktur makna yang berbeda-beda, tergantung pada konteks sosial dan budaya yang melahirkannya .

Selain itu, realitas akuntansi bersifat historis dan intersubjektif. Artinya, makna yang melekat pada praktik akuntansi terbentuk melalui sejarah kebudayaan dan interaksi sosial manusia. Laporan keuangan, simbol mata uang, hingga praktik audit, semuanya merupakan hasil tafsir kolektif dari pengalaman manusia sepanjang waktu.

Bagi Dilthey, manusia selalu mengekspresikan kehidupan batinnya dalam bentuk Ausdruck (ekspresi). Dalam konteks akuntansi, ekspresi ini tampak dalam bentuk simbol angka, neraca, laporan tahunan, hingga tanda tangan auditor. Angka saldo kas, misalnya, bukan hanya alat pengukuran ekonomi, tetapi juga ekspresi dari rasa aman dan kontrol; laporan tahunan adalah ekspresi keinginan untuk diakui dan bertanggung jawab; sedangkan neraca sosial adalah ekspresi nilai spiritual komunitas.

Dengan demikian, ontologi akuntansi hermeneutik menempatkan akuntansi sebagai ekspresi kehidupan manusia yang bermakna, bukan sekadar sistem teknis yang netral dan bebas nilai (Dilthey, 1911).

3. Aksiologi Akuntansi Hermeneutik: Nilai, Empati, dan Moralitas dalam Angka

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas nilai dan tujuan moral dari suatu ilmu. Dalam kerangka hermeneutik Dilthey, pengetahuan tidak pernah netral terhadap nilai, karena setiap pemahaman tentang manusia selalu berakar pada nilai kehidupan (Lebenswert). Dilthey menegaskan bahwa nilai adalah dimensi batin kehidupan yang memberi arah bagi tindakan manusia.

Dalam akuntansi, setiap praktik pencatatan, pelaporan, dan pengauditan selalu mengandung nilai  baik disadari maupun tidak. Akuntansi korporasi kapitalistik misalnya, mencerminkan nilai efisiensi dan pertumbuhan; akuntansi sosial menekankan nilai keadilan dan tanggung jawab; sedangkan akuntansi religius memuat nilai keseimbangan spiritual antara materi dan moralitas .

Selain nilai, Dilthey juga menekankan pentingnya empati sebagai prinsip etika dalam memahami manusia. Dalam penelitian akuntansi hermeneutik, empati berarti kemampuan peneliti untuk menghidupkan kembali pengalaman batin pelaku ekonomi — memahami tekanan, rasa bersalah, tanggung jawab, atau kebanggaan yang menyertai tindakan mereka. Dengan empati, akuntansi menjadi praktik yang manusiawi dan bermoral, bukan sekadar prosedur teknis.

Aspek terakhir dari aksiologi hermeneutik adalah makna moral  yang terkandung dalam angka-angka akuntansi. Angka bukanlah realitas mati, melainkan teks moral yang berbicara tentang kejujuran, tanggung jawab, dan niat baik. Neraca dapat dibaca sebagai “keseimbangan moral” antara hak dan kewajiban; laba sebagai hasil keadilan distributif; dan pajak sebagai ekspresi solidaritas sosial.

Transparansi dan tanggung jawab, dalam pandangan hermeneutik, bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan sikap etis untuk membiarkan makna kehidupan terlihat melalui laporan keuangan. Oleh karena itu, akuntansi hermeneutik berfungsi bukan hanya untuk mengontrol, tetapi untuk mengomunikasikan nilai-nilai moral kehidupan manusia.

Studi Kasus: Hermeneutika Akuntansi dalam Kasus Garuda Indonesia dan Jiwasraya

Untuk memahami penerapan teori akuntansi hermeneutik Wilhelm Dilthey dalam konteks nyata, penting melihat bagaimana praktik akuntansi di Indonesia sering kali memperlihatkan dinamika antara angka, makna, dan moralitas. Dua kasus yang menarik untuk dianalisis melalui pendekatan hermeneutik adalah kasus laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 dan kasus gagal bayar investasi PT Asuransi Jiwasraya. Keduanya menunjukkan bahwa angka dalam akuntansi tidak pernah netral; ia adalah simbol dari keputusan moral, nilai, dan tanggung jawab sosial pelaku ekonomi.

1. Kasus Garuda Indonesia (2018): Angka sebagai Simbol Kejujuran dan Legitimasi

Pada tahun 2018, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sempat menghebohkan publik karena melaporkan laba bersih sebesar USD 809 ribu setelah dua tahun berturut-turut mencatat rugi besar. Namun, setelah diaudit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI), ditemukan adanya pengakuan pendapatan yang belum layak diakui secara akuntansi, yaitu dari kerja sama dengan PT Mahata Aero Teknologi senilai USD 239 juta. Laporan tersebut kemudian harus direvisi karena dianggap tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya.

Dalam pandangan hermeneutik Dilthey, fenomena ini dapat dipahami bukan hanya sebagai kesalahan teknis dalam penerapan PSAK, melainkan sebagai gejala moral dan simbolik dari tekanan eksistensial perusahaan. Dilthey menegaskan bahwa setiap tindakan manusia, termasuk tindakan ekonomi, adalah Ausdruck — ekspresi dari kehidupan batin dan kondisi sosial yang melingkupinya (Dilthey, 1911).

Dengan demikian, laporan keuangan Garuda Indonesia dapat dibaca sebagai teks kehidupan organisasi yang mengekspresikan keinginan untuk bertahan, diakui, dan dipercaya publik. Tindakan manajemen yang “memoles” laporan keuangan mencerminkan pergumulan antara etika dan survival, antara keinginan untuk tampil sehat di mata investor dan tanggung jawab moral untuk menyajikan kebenaran.

Pendekatan hermeneutik membantu kita memahami bahwa angka laba yang disajikan bukan sekadar data kuantitatif, melainkan simbol legitimasi sosial. Ketika angka itu dimanipulasi, makna moral yang terkandung di dalamnya ikut terguncang. Dalam konteks Dilthey, kesalahan ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga keretakan makna hidup ekonomi — di mana kejujuran, tanggung jawab, dan empati terhadap pemangku kepentingan diabaikan demi mempertahankan citra.

2. Kasus Jiwasraya: Nilai, Empati, dan Krisis Makna dalam Akuntansi

Kasus lain yang relevan untuk dianalisis melalui lensa hermeneutik adalah skandal keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang mencuat sejak 2019. Jiwasraya gagal membayar polis nasabah senilai lebih dari Rp16 triliun akibat praktik investasi berisiko tinggi dan dugaan manipulasi laporan keuangan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kasus ini bukan hanya mengguncang dunia keuangan Indonesia, tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara.

Jika dianalisis secara hermeneutik, kasus Jiwasraya menggambarkan krisis aksiologis — krisis nilai dan makna moral dalam praktik akuntansi. Dalam pandangan Dilthey, ilmu manusia harus berakar pada Lebenswert (nilai kehidupan) dan Einfühlung (empati), yaitu kemampuan untuk memahami kehidupan batin orang lain secara mendalam. Namun dalam kasus Jiwasraya, dimensi empatik ini nyaris hilang. Akuntansi dijalankan bukan sebagai sarana pertanggungjawaban moral, tetapi sebagai instrumen kekuasaan dan manipulasi citra.

Angka-angka yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan berubah menjadi topeng yang menutupi kenyataan. Akuntansi kehilangan fungsinya sebagai bahasa moral (Sittlicher Sinn) dan berubah menjadi alat legitimasi untuk menutupi krisis. Dalam kerangka Dilthey, tindakan tersebut menunjukkan pemisahan antara “pengetahuan” dan “nilai”, di mana akuntansi hanya dipahami sebagai sistem teknis tanpa kesadaran eksistensial.

Jika ditafsir melalui konsep Verstehen, peneliti atau auditor hermeneutik akan berusaha memahami konteks batin di balik tindakan para pengambil keputusan. Misalnya, tekanan dari pemegang saham, budaya organisasi yang menekankan pencapaian jangka pendek, hingga ketakutan kehilangan reputasi institusional. Semua itu adalah bagian dari dunia hidup (Lebenswelt) yang membentuk tindakan ekonomi. Oleh karena itu, penyimpangan dalam akuntansi bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi gejala dari disorientasi nilai dalam kehidupan ekonomi modern.

Kasus Jiwasraya menunjukkan bahwa krisis ekonomi sesungguhnya berawal dari krisis makna dan empati. Dalam perspektif hermeneutik, pemulihan kepercayaan publik tidak cukup dilakukan melalui perbaikan regulasi atau teknologi akuntansi, tetapi harus dimulai dari rekonstruksi moral dan kesadaran kemanusiaan dalam diri pelaku ekonomi. Akuntansi harus dikembalikan pada fungsinya sebagai praktik tanggung jawab etis, bukan sekadar mekanisme kontrol finansial.

3. Refleksi Hermeneutik atas Dua Kasus

Dari dua kasus di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa praktik akuntansi tidak pernah bebas dari nilai. Setiap angka, laporan, dan keputusan mencerminkan pengalaman batin (Erlebnis) para pelaku ekonomi. Dalam konteks Garuda Indonesia, angka laba yang dipoles merepresentasikan pergulatan eksistensial organisasi dalam mempertahankan legitimasi publik. Sedangkan dalam kasus Jiwasraya, laporan keuangan yang dimanipulasi menunjukkan hilangnya empati dan kesadaran moral terhadap nasabah.

Pendekatan hermeneutik mengajak kita untuk tidak berhenti pada kritik prosedural, tetapi melangkah lebih dalam: memahami makna manusiawi di balik angka. Ketika angka kehilangan makna moralnya, maka akuntansi berubah menjadi praktik yang dehumanisasi — menjauh dari tujuan sejatinya sebagai sarana komunikasi nilai, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.

Dengan membaca akuntansi sebagai teks kehidupan (Lebenswelt), kita diingatkan bahwa setiap pencatatan adalah tindakan moral, setiap laporan adalah ekspresi batin, dan setiap angka membawa tanggung jawab eksistensial. Sebagaimana dikatakan Dilthey, pemahaman sejati terhadap manusia hanya dapat diperoleh bila kita “menghidupkan kembali kehidupan yang dihayati” — termasuk kehidupan ekonomi yang terwujud dalam angka-angka akuntansi (Dilthey, 1911).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun