Mohon tunggu...
EIWJournal
EIWJournal Mohon Tunggu... Writer

Lewat EIW.journal, Enigmaticinnerworld menulis jejak sunyi: cerita random, ringan dibaca, perlahan meninggalkan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kenapa Banyak Orang Ngerasa Sepi Di Era Serba Terkoneksi ?

22 Agustus 2025   08:59 Diperbarui: 21 Agustus 2025   22:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hidup kita hari ini dipenuhi dengan koneksi yang tak terbatas. WhatsApp grup bertebaran, Instagram stories berganti setiap detik, Twitter timeline tak pernah sepi, dan LinkedIn penuh dengan update teman-teman kerja. Kita bisa ngobrol dengan siapa saja, kapan saja, dari mana saja. Followers ribuan, friend list ratusan, contact phone yang sudah tidak muat lagi.

Tapi kenapa justru di tengah koneksi tanpa batas ini, rasa sepi makin sering menghantui? Kenapa malam-malam kita bisa merasa sendiri meski notifikasi terus berbunyi? Paradoks ini mungkin dialami oleh jutaan orang, tapi jarang yang berani bicara terang-terangan soal kesepian di era yang katanya paling terhubung dalam sejarah manusia.

Koneksi Virtual yang Dangkal

Mari jujur, berapa banyak dari ratusan teman di media sosial yang benar-benar kita kenal? Berapa banyak yang pernah kita ajak ngobrol serius di luar urusan kerja atau sekolah? Kebanyakan hubungan kita di dunia digital berhenti di level "like" dan "comment" singkat. "Keren nih!", "Congrats ya!", "Semangat!", dan sejenisnya.

Interaksi semacam ini memberikan ilusi kedekatan, tapi sebenarnya dangkal. Kita tahu siapa yang baru liburan ke Bali dari Instagram story, tapi tidak tahu dia sedang struggle dengan masalah keluarga. Kita lihat teman posting pencapaian terbaru di LinkedIn, tapi tidak tahu dia sebenarnya burnout dan butuh seseorang untuk diajak curhat.

Akibatnya, meski dikelilingi ratusan "teman" online, kita tetap merasa hampa. Ada perasaan aneh ketika scroll feed—seolah melihat kehidupan orang lain dari balik kaca, bisa lihat tapi tidak bisa menyentuh atau benar-benar terlibat. Kita jadi penonton dalam teater kehidupan orang lain, sementara panggung kita sendiri terasa kosong.

Budaya Pamer dan Perbandingan yang Tak Berujung

Media sosial telah menciptakan budaya di mana semua orang berlomba-lomba menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Timeline kita dipenuhi foto liburan yang instagramable, pencapaian karir yang gemilang, relationship goals yang bikin iri, dan momen-momen bahagia yang perfectly curated.

Masalahnya, kita mulai membandingkan behind-the-scenes kehidupan kita dengan highlight reel orang lain. Ketika kita sedang struggle dengan tugas kuliah, timeline menunjukkan teman yang baru dapat beasiswa. Ketika kita sedang galau soal jomblo, feed dipenuhi foto couple goals. Ketika kita sedang susah cari kerja, LinkedIn menampilkan teman yang baru promosi.

Perbandingan yang tidak sehat ini membuat kita merasa tertinggal, tidak cukup baik, atau bahkan gagal. Alih-alih menggunakan media sosial untuk terhubung dengan orang lain, kita malah semakin menjauh—sibuk membangun citra online yang sempurna ketimbang menjalin hubungan yang tulus. Kita jadi lebih fokus pada jumlah likes daripada kualitas percakapan.

Hilangnya Ruang untuk Obrolan Jujur

Kapan terakhir kali kamu punya obrolan mendalam dengan seseorang? Bukan small talk soal cuaca atau gosip artis, tapi percakapan jujur tentang perasaan, kekhawatiran, impian, atau bahkan ketakutan. Percakapan di mana kamu bisa vulnerable tanpa takut dijudge atau dinasehati dengan klise.

Di era yang serba cepat ini, kita jarang punya waktu—atau bahkan keberanian—untuk berbagi cerita yang sesungguhnya. Kita lebih nyaman berperan sebagai pendengar yang baik daripada pembicara yang jujur. Akibatnya, banyak yang merasa tidak dipahami meski dikelilingi orang-orang.

Ironisnya, semakin banyak platform komunikasi yang tersedia, semakin sedikit komunikasi yang bermakna. Kita bisa chat 24/7, tapi jarang ada yang benar-benar mendengarkan tanpa sambil scroll media sosial atau mikirin hal lain. Kita punya akses ke jutaan orang, tapi sulit menemukan satu orang yang mau duduk sejenak dan benar-benar hadir dalam percakapan.

Individualisme dan Kehidupan yang Serba Terburu-buru

Kehidupan modern menuntut kita untuk selalu bergerak cepat. Deadline yang mengejar, target yang harus dicapai, skills yang harus terus di-upgrade, dan tren yang harus diikuti. Dalam kesibukan ini, kita sering lupa bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang butuh koneksi autentik.

Budaya individualisme juga makin menguat. "Focus on yourself", "self-love first", "jangan bergantung pada orang lain"—nasihat-nasihat ini memang ada benarnya, tapi kalau berlebihan bisa membuat kita terisolasi. Kita jadi takut terlihat butuh bantuan, takut dianggap lemah kalau mengakui kesepian, atau malah bangga dengan label "introvert" yang sebenarnya mungkin hanya topeng untuk menutupi ketidakmampuan bersosialisasi.

Akhirnya, meski fisik kita berada di tengah keramaian—di kantor, kampus, atau acara sosial—perasaan terasing tetap menghantui. Kita bisa duduk satu meja dengan teman-teman, tapi masing-masing sibuk dengan handphone. Kita bisa berada dalam satu ruangan dengan puluhan orang, tapi tetap merasa sendirian.

Menemukan Koneksi Autentik di Tengah Hiruk Pikuk Digital

Tapi kabar baiknya, kesepian ini bisa diatasi tanpa harus menjauhi teknologi sepenuhnya. Yang dibutuhkan adalah perubahan mindset dan cara kita menggunakan teknologi tersebut.

Mulailah dengan digital detox sesekali. Bukan berarti harus hidup tanpa handphone selamanya, tapi coba luangkan waktu di mana kamu benar-benar hadir dalam momen—tanpa gangguan notifikasi atau keinginan untuk mendokumentasikan segala sesuatu.

Bangun percakapan yang lebih dalam dengan orang-orang terdekat. Alih-alih bertanya "Gimana kabarnya?", coba tanya "Apa yang lagi bikin kamu excited belakangan ini?" atau "Ada yang lagi bikin kamu khawatir nggak?" Beri ruang untuk orang lain bercerita jujur, dan beranikan diri untuk vulnerable juga.

Ikut komunitas nyata yang sesuai dengan minat kamu. Entah itu book club, komunitas lari, volunteering, atau kelas cooking. Di sana, kamu bisa bertemu orang-orang dengan passion yang sama dan membangun hubungan berdasarkan kesamaan yang genuine, bukan sekadar algoritma media sosial.

Yang terpenting, ingat bahwa kualitas hubungan jauh lebih berharga daripada kuantitas. Lebih baik punya 3-5 teman yang benar-benar mengerti kamu daripada 500 followers yang bahkan tidak ingat nama lengkap kamu.

Kembali ke Esensi Hubungan Manusia

Rasa sepi di era digital bukanlah tanda bahwa ada yang salah dengan kita. Ini adalah refleksi alami dari dunia yang berubah terlalu cepat, di mana teknologi berkembang lebih pesat daripada kemampuan kita untuk beradaptasi secara emosional.

Mungkin sudah saatnya kita melambat sedikit, mengurangi scroll time dan menambah face time. Mengurangi virtual hug dan menambah real hug. Mengurangi emoji dan menambah ekspresi wajah sungguhan.

Di balik layar yang berkedip-kedip itu, kita semua pada dasarnya sama—butuh dipahami, dihargai, dan dicintai apa adanya. Kita semua butuh pelukan, bukan sekadar like. Kita butuh teman yang mau duduk diam bersamaku ketika kata-kata tidak lagi cukup, bukan hanya yang pandai memberikan motivasi di kolom komentar.

Jadi, mari mulai dari hal kecil: matikan notifikasi sesekali, tatap mata lawan bicara ketika ngobrol, dan beranikan diri untuk bertanya, "Eh, kamu baik-baik aja nggak sih?" dengan niat yang tulus untuk mendengarkan jawabannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun