Aku terbangun dengan kepala berat.Pusing, berdenyut, dan tubuh terasa seperti baru selesai dari pertempuran panjang, padahal yang baru saja terjadi hanya mimpi. Tapi anehnya, mimpi itu begitu nyata. Bahkan masih membekas hingga aku menulis ini.
Dalam mimpi itu, aku marah.
Sangat marah.
Pada awalnya hanya beberapa orang, lalu entah mengapa mereka menjadi banyak. Â Terdapat beberapa wajah-wajah yang kukenal, beberapa teman saat aku masih di bersekolah di asrama. Mereka mengambil sesuatu dariku dan aku tak tahu apa, mungkin hanya hal sepele, tapimungkin juga simbol dari rasa kehilangan yang tak pernah sempat kutuntut.
Aku berteriak. Aku menyiram mereka dengan air.
Dan semua diam. Tak satu pun melawan. Bahkan ketika guruku melihat, dan saat polisi tiba yang aku tak tau darimana, aku tetap berdiri di sana, memarahi mereka yang hanya tertunduk.
Lalu aku diam.
Polisi tak berkata apa-apa dan mereka pergi.
Dan aku masih di sana, memandangi semua yang barusan kulakukan, tanpa tahu apa yang harus kurasa.
Ketika aku benar-benar bangun, yang tertinggal bukan hanya pusing di kepala, tapi perasaan sesak di dada. Lalu aku bertanya. Aku menulis. Aku mencoba memahami: kenapa aku marah? Kenapa mereka? Kenapa sekarang?
Aku mulai mengerti.
Mimpi itu bukan hanya potongan acak dari tidurku. Itu adalah cermin.
Mungkin selama ini aku menyimpan banyak rasa.
Aku bukan orang yang gampang marah di dunia nyata. Tapi justru karena itulah --- semua amarah yang tidak pernah aku keluarkan, disimpan oleh tubuhku dalam diam, lalu muncul di dalam mimpi.
Aku menyadari satu hal penting:
Aku mudah meledak bukan karena masalah hari ini, tapi karena luka yang sudah kupendam sejak dulu.
Mungkin aku terlalu lama jadi orang yang "sabar", sampai lupa kalau sabar juga butuh jalan keluar.
Dan mimpi ini adalah jalan itu.
Sebuah ventilasi dari luka yang selama ini tertahan.
Sampai tiba-tiba azan subuh berkumandang.
Aku bangkit. Aku mengambil air wudhu.
Dan di sajadah itu, aku menangis diam-diam , memohon ampunan bukan atas apa yang kulakukan, tapi atas apa yang selama ini aku pendam. Aku minta satu hal:
"Ya Allah, lapangkanlah dadaku terhadap masa lalu."
Karena mungkin bukan orang-orang itu yang harus kumarahi,
tapi bagian dari diriku yang belum bisa berdamai.
Dan aku sadar: memaafkan bukan berarti melupakan, tapi berhenti membawa luka itu ke mana-mana.
Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Tapi cermin.
Cermin yang memantulkan wajah luka yang belum aku sentuh. Yang selama ini kututup rapat, kutahan sendiri.
Dan saat aku menulis ini, aku paham:
mimpi itu adalah pesan dari Allah, bahwa saatnya aku pulang.
Pulang ke diriku yang pernah terluka. Pulang untuk menyembuhkan.
Lalu aku bertanya pada diriku sendiri...
Sudahkah aku benar-benar memaafkan?
Atau aku hanya pura-pura kuat?
Dan pertanyaan itu... membuatku diam.
Membuatku berpikir.
Membuatku, untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
benar-benar ingin pulih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI