Mohon tunggu...
Egia Astuti Mardani
Egia Astuti Mardani Mohon Tunggu... Guru - Pejalan

Pendidik yang Tertarik pada Problematika Ummat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Belajar dari Krisis Tunisia: Antara Otokrasi dan Demokrasi

6 Agustus 2021   17:30 Diperbarui: 7 Agustus 2021   14:03 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi besar-besaran tersebut mendorong Saied memecat sejumlah pejabat dan membekukan parlemen. Walhasil, demokrasi lagi-lagi tidak secara otomatis melahirkan keadilan sosial. Kais Saied yang digadang-gadang menjadi simbol harapan juga tidak kunjung memenuhi harapan publik. Hingga warga turun ke jalan dalam beberapa hari terakhir meminta pergantian rezim.

Selama ini, ekonomi hanya dinikmati para elite politik. Ongkos demokrasi terlalu mahal, sementara rakyat terus menjerit dan meringis miris. Bahkan, situasinya lebih buruk dari era Ben Ali yang menjadi keprihatinan dan musuh bersama. Ghannouchi berdalih, bahwa untuk memulihkan ekonomi di Tunisia membutuhkan waktu yang lama. 10 tahun tidak cukup untuk melakukan perubahan pada sektor ekonomi yang berkeadilan.

Peristiwa politik di Tunisia menunjukkan sebuah negara yang telah berganti sistem politik, tetapi tidak kunjung mampu keluar dari krisis berkepanjangan. Demokratisasi yang diharapkan mampu mengentaskan Tunisia dari krisis pun tidak semulus yang dibayangkan. 

Menariknya, krisis dalam negeri yang dialami Tunisia tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lain yang menganut demokrasi, termasuk Indonesia. Korupsi, ketidakadilan hukum, ketimpangan ekonomi, represifitas rezim merupakan problem yang juga masih menjadi PR negeri ini. Hal ini tentu menjadi satu bahan renungan yang layak kita pertimbangkan.

Baik otokrasi maupun demokrasi sejatinya memiliki kesamaan, yakni merupakan sistem politik yang berpusat kepada manusia. Dua sistem ini sama-sama memberikan hak kepada manusia untuk menentukan sendiri peraturan hidupnya. Hanya saja, demokrasi dinilai lebih mengakomodasi suara rakyat banyak,bukan seorang ataupun segelintir elit. Sekalipun demikian, sistem ini tetap saja berpusat pada manusia. 

Menurut Siti Muslihati, seorang akademisi dan pengamat politik, kesalahan awal sistem semacam ini terletak pada bagaimana sistem ini menempatkan dan memandang manusia. Manusia memang makhluk yang dianugerahi kemampuan berpikir, tetapi kemampuan ini tidak serta merta membuat manusia mampu menemukan sistem hidup terbaik untuk mengaturnya. 

Maka dari itu, tidak heran bila sistem politik otokrasi maupun demokrasi tidak kunjung mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di tengah manusia.

Masih menurut Siti Muslihati, dalam perjalanan peradaban manusia, sebenarnya terdapat peradaban yang sukses mewujudkan keadilan, kesejahteraan serta keberkahan di muka bumi, ialah peradaban yang berlandaskan syariat Islam. Peradaban inilah yang pernah menghantarkan negeri-negeri di timur tengah serta negeri-negeri muslim lainnya pada kesuksesan dan kemuliaan sepanjang sejarah manusia. 

Keterpurukan dan keterbelakangan yang terjadi di bekas wilayah peradaban Islam terjadi pasca runtuhnya kekhilafahan Islam serta berlangsungnya pemerintahan rezim-rezim otoriter. Dengan demikian, cita-cita kebangkitan negeri-negeri ini hanya akan tercapai jika mengembalikan khithah politiknya sesuai syariat Islam, serta bersatu dalam suatu kepemimpinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun