Mohon tunggu...
ega nur fadillah
ega nur fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswi -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Muhkan dan Mutasyabbih

22 November 2018   08:30 Diperbarui: 22 November 2018   08:44 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ilmu Muhkam dan Mutasyabih

A.PENGERTIAN MUHKAN DAN MUTASYABIHAT

Kata muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun, semua pengertian ini pada dasarnya kembali kepada makna pencegahan. 

Ahkam al-amr berarti 'ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan'; Abkam al-faras berarti 'ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan'. 

Kata mutasyabib berasal dari kata tasyabub yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyababa dan  isytababa berarti 'dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya'.

Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata ini atau kata jadiannya.

Pertama, firman Allah:

"sebuah Kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya" QS.Hud (11)

Kedua, firman Allah:

"Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang mubkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam batinnya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. 

Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal". (QS.Ali-imran (3):7)

Secara sepintas, ketiga ayat ini bisa menimbulkan pemahaman yang bertentangan. Karena itu, Ibn Habib al-Naisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang masalah ini. Pertama berpendapat bahwa al-qur'an seluruhnya mihkam berdasarkan ayat pertama. Kedua berpendapat bahwa al-qur'an seluruhnya mutasyabib berdasarkan ayat kedua. 

Ketiga berpendapat bahwa sebagian ayat al-qur'an mihkam dan lainnya mutasyabib berdasarkan ayat ketiga dan inilah pendapat yang lebih sahih. Sedangkan ayat pertama, dimaksudkan dengan muhkamnya al-qur'an adalah kesempurnaannya dan tidak adanya tentang antar ayat-ayatnya. 

Maksud mutasyabib dalam ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat al-qur'an dalam kebenaran, kebaikan, dan kemu'jizatannya.sehubungan dengan ini pula, para penulis Ulumul Qur'an belakangan ini, seperti al-Zarqani, Subhi al-Salih, dan Abd al-Mun'im al-Namir memandang tidak ada pertentangan antar ketiga ayat tersebut diatas. Lebih dari itu, mereka mengaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah ayat yang ketiga,dan bukan ayat pertama dan kedua.

Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam merumuskan definisi muhkam dan mutasyabihat. Al-Suyuthi misalnya telah mengemukakan 18 definisi atau makna muhkam dan mutasyabib yang diberikan para ulama. 

Al-Zarqani mengemukakan 11 definisi pula yang sebagiannya dikutip dari Al-Suyuthi. Diantara definisi yang dikemukakan al-Zarqani adalah sebagai berikut.

 Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabib ialah ayat yang tersembunyi (maknanya),tidak diketahui maknanya  baik secara akli maupun nakli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini dibangsakan oleh al-Alusi pada pemimpin-pemimpim mazhab Hanafi.

Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabib ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kimst, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awak surat. Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka.

Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu krmungkinan makna takwil. Mutasyabib ialah ayat yang mengandung bsnyk kemungkinan makna Tkwil. Pendaopat ini dibangsakan kepada Ibn Abas dan kebanyakan ahli Ushul Fiqh mengikutinya.

Muhkam  ialah ayat yang berdiri sediri yang tidak memerlukan keterangan. Mutasyabib ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang diterangkan dengan ayat atau keterangan tertentu dan kali yang lin diteangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini dicertakan dari Imam Ahmad RA.

Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabib ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahaa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak  masuk ke dalam mutasyabib menurut pengertian ini.pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Haramain.

Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabib ialah lawannya. muhkam terdiri atas lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabib terdiri atas-atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafal mubbamab (samar-samar). Ini adalah pendapat At-Thibi.

Muhkam ialah ayat yang tunjukkan maknanya kuat,yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabib ialah ayat yang tunjukkan maknanyatidak kuat, yaitu lafal mujmal,muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.

Sesudah mengemukakan berbagai definisi ini, Al-Zarqani berkomentar bahwa definisi-definisi ini tidak bertentangan. Bahkan diantaranya terdapat persamaan dandan kedekatan makna.namun, menurut dia pendapat Imam al-Razi lebih jelas karena masalah ihkam dan tasyabub sebenarnya kembali kepada persoalan jelas atau tidaknya makna yang di maksud Allah dari kalam yang diturunkan-Nya. 

Dari sudut ini,definisi yang dikemukakan Imam Al-Razi merupakan definisi yang jami'(mencakup person-personnya) dan mani'(menolak segala yang diluar person-personnya). 

Dengan definsi ini,tidak akan masuk kepada muhkam ayat atau lafadz yang makna nya tersmbunyi dan tidak masuk kepada mutasyabib ayat atau lafadz yang maknanya jelas.

Memang definisi yang dipilih Al-zarqani ini tampak lebih jelas dan lengkap dari definisi-definisi lainya. Disamping alasan yang dikemukakan Al-zarqani tadi, dapat ditambahkan bahwa kata "kuat" yang diterjemahkan dari kata rajibah dalam definisi muhkam, dan kata "tidak kuat" yang diterjemahkan dari kata "gbair rajibab" dalam definisi mutasyabib sangat tepat penggunaanya dalam definisi yang dikemukakan Al-razi. Sebab, asal arti lajib sendiri 'berat'. 

Sesuatu yang dipandang berat dari timbangan berarti lebh berat dari lainya sekalipun yang lain itu jelas mempunyai berat. Dengan demikian pengguanaan kata "rajibab" dalam definisi AL-razi lebih akurat dari kata "wadbib" dalam definisi Al-thibi. Suatu ayat atau lafadz dapat mempunyai beberapa makna yang wadbib (jelas), tetapi maknanya yang rajib dalam konteks tertentu hanya satu.

Dari uraian-uraian diatas, dapat diketahui dua hal penting. Pertama, dalam membicarakan muhkam tidak ada kesulitan. Muhkam adalah ayat yang jela atau rjib maknanya. 

Kedua, pembicaraan tentang mutasyabib menimbulkan masalah yang perlu dibahas lebih lanjut. Apa sumber yang melahirkan mutasyabib, berapa macam mutasyabib dan bagaimana sikap ulama' dalam menghadapinya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sumber tasyabub atau mutasyabib adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalam-Nya. Secara rinci, dapat dikatakan bahwa ketersembunyianya itu bisa kembali kepada lafadz atau kepada makna atau kepada lafal dan makna sekaligus.

Kemudian,menurut Al-zarqani ayat-ayat Mutasyabib dapat dibagi menjadai tiga macam:

  • Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal ghoib lainya. Allah berfirman:

"dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghoib kat ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri...." (Qs. Al-an'am (6):59)

"sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. 

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakanya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal". (Qs. Luqman(31):34).

Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian,seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamaranya timbul akibat ringkas,panjang,urutan,dan seumpamanya. Allah berfirman:

"jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (baik-baik) perempuan yang yatim, maka kawinlah wanita-wanita" (QS.An-nisa (4):3).

 Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidakjelasannya timbul karena lafal yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:

"dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.

Ayat-ayat mutasyabihat yang maksydnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu bukan semua ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.

Dalam pengertian yang sama, al-Raghib al-Ashfahani memberika penjelasan yang mirip. Menurut dia, mutasyabihat terbagi kepada tiga jenis, yaitu jenis yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah (binatang), dan sebagainya; jenis yang dapat diketahui oleh manusia, seperti lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum yang tertutup; dan jenis yang hanya diketahui oleh ulama tertentuyang sudah mendalam ilmunya. Jenis yang terakhir inilah yang diisyaratkan Nabi dengan do'anya bagi Ibn Abbas:

"Ya Tuhanku, jadikanlah dia orang yang faham dalam agama dan ajarkanlah kepadanya takwil"

B.PENDAPAT UALAM SALAF DAN KHALAF TENTANG PENAFSIRAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT

Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai macam sebab dan bentuk. Dan bagian ini pembahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah Imam al-Suyuthi "ayat al-shifat", dan dalam istilah subih al-soleh "mutasyabih al-shifat". Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini banyak. Diantaranya adalah:

1."yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas Arsy" (QS.Toha(20):5)
2."dan datanglah Tuhanmu;sedang malaikat berbaris-baris" (QS.al-Fajr(89):22)
3."dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas semua hambanya" (QS.al-An'am(6):61)

Dalam ayat-ayat ini terdapat kata-kata "bersemanyam","datang","sisi',"diatas",diri" yang di bangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata kuat ini menunjukkan keadaan tempat, dan anggota yang layak bagi makhluk yang baharu. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qadim (absolut) maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula, ayat-ayat tersebut dinamakan "mutasyabih Al-shifat". Selanjutnya, dipertanyakan: apakah maksud aya-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak?

Shubhi Al-shalih membedakan pendapat ulama kedalam dua madzhab.

 Madzab salaf yaitu orag-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-siafat mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya bagaimana yang ditersngkan Al-Qur'an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah,mereka disebut pula madzhab Mufawwidhah atau Tafwidh. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwah,dia berkata:

"istiwah itu maklum, caranya tidak diketahui,mempertanyakanya bid'ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan kamulah orang ini dari majlis saya"

Maksudnya, makna lahir dari kata "istiwah" jelas diketahui oleh setiap orang. Akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksud oleh ayat. Sebab, pengertian yang demikian membawa kepada tasybih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. Karena itu, bagaimana cara istiwa' disisi Allah tidak diketahui. Selanjutnya, mempertanyakanya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari'at dipandang bid'ah (mengada-ada)

Inilah sistem penafsiran yang di terapkan oleh madzab salaf pada umumnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Dalam menerapkan sistem ini,mereka mempunyai dua argumen,yaitu, argumen aqli dan naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah berkebahasaan dan penggunakanya dikalangan bangsa arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasailkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah akidah yang dasarnya tidak cukup dengan argumenya zanni. Lantaran dasar yang qath'i (pasti) tidak diperoleh,maka kita tawaqquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.

Adapun argumen naqli mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar sahabat. Diantaranya,

"Dari Aisyah, ia berkata: "Rasul SAW membaca ayat :"Ialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepadamu" --sampai kepada- "orang-orang yang berakal"; berkata ia: "Rasul SAW berkata: "jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah, maka hati-hatilah terhadap merka". (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan lain keduanya).

"Dari Amer Ibn Syu'aih dari ayahnya dari kakeknya dari Rasul SAW, ia bersabda "sesungguhnya al-Qur'an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian lainnya; apa yang kamu ketahui kepadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabib maka hendaklah kamu meyakininya (Dkeluarkan oleh Mirdawaih).

"Dari Sulaiman Ibn Yasar bahwa seorang laki-laki bernama Ibn  Shubaigh datang ke Madinah kemudian bertaya tentang mutasyabib dalam al-Qur'an.maka Umar datang seraya menyediakan sebatang pelepah kormauntuk (memukul) orang tersebut, Umar bertanya : "siapakah engkau?" Ia menjawab : "saya adalah abdullah Ibn  Shubaigh. Kemudian, Umar mengambil pelepah korma dan memukulkannya hingga kepalanya berdarah. Dalam riwayat lain dikatakan /: Kemudia Umar memukulnya dengan pelepar korma hingga membiarkan belakangnya terluka; kemudian ia meninggalkannya hingga sembuh; kemudian kembali; kemudian ditinggalkannya hingga sembuh; kemudian ia (Umar) memanggilnya kembali; maka orang itu berkata : "jika engkau hendak membunuhku maka bunuhlah aku dengan cara yang baik". Maka ia membolehkannya untuk pulang ke negerinya. Kemudian, Umar menulis kepada Abu Musa Al-Asy'ari agar tak seorangpun dari kaum Muslimin yang bergaul dengannya". (Dikeluarkan oleh Al-Darimi).

Menurut Al-Suyuthi, inilah yang menjadu pendapat kebanyakan sahabat, tabi'in, tabi'i al-tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka, khususnya Ahlus Sunnah. Pandangan ini adalah riwayat yang paling sahih dari Ibn Abbas. Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira'at Ibn Abbas:

"Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orag-orang yang mendalam ilmunya: "Kami mempercayainya". (Dikeluarkan oleh Abd Ar-Razaq dalam tafsirnya  dan al-Hakim dalam mustadraknya)

Ini menunjukkan bahwa waw untuk isti'naf (permulaan). Disamping itu ayat tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan memerika mereka itu sebagai yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah.sebaliknya ayat yang sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah. Dari Muhammad Ibn al-Hasan, ia berkata:"seluruh ahli fiqh dari Timur sampai Barat sepakat meyakini sifat-sifat Allah tanpa penafsiran (penakwilnya) dan tasybih (penyerupaan)". Ibn al-Shalah berkata: "Cara inilah yang ditempuh oleh para pendahulu dan pemuka-pemuka umat, didpilih oleh para iamam fiqih dan pemimpin-pemimpin umat, dan para imam hadist juga menganjurkan pendapat ini. Dan tidak seorang pun dari ulama kalam dari sahabt kita yang mengelak dan keberatan dengan pendapat ini".

Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang baik dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknakan isiwa' dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendaian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, buakn berada di suatu tempat, "sis' Allah dengan hak Allah, "wajah" dengan zat,"mata" dengan pengawasan ,"tangan" dengan kekuasaan, dan "diri" dengan siksa. Demikian siste penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh para ulama Khalaf. Semua lafal yang mengandung makna "cinta" "murka", dan "malu" bagi Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:

"semua sifat-sifat kejiwaan, yaitu kasih sayang,gembira,suka,murka,malu,tipu,daya, dan ejekan mempunyai makna permulaan dan makna akhir. Misalnya murka awalnya merupakan gejolak darah hati dan akhirnya keinginan membuat mudrat terhadap orang yang dimurkai. Maka lafal marah atau murka pada hak Allah tidak diartikan dengan makna awalnya berupa gejolak hati, tetapi dengan tujuannya yang berupa kehendak membuat mudrat".

Mazhab ini juga mempunyai argumen aqli dan naqli berupa atsar sahabat. Menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal  dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin menakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.

Menurut al-Suyuthi pembukaan-pembukaan surat (awail al-suwar) atau huruf-huruf potongan (al-huruf al-muqatbtba) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya.dalam hal ini para ulamayang memahaminya sebagai rahasia yang hanyadiketahui oleh Allah.al-suyuthi memandang pendapatini sebagai pendapat yang mukhtar (terpilih). Ibn al-Munzir meriwayatkan bahwa ketika al-Sya'bi ditanya tentang pembukaan-pembukaan surat ini berkata:

"Sesungguhnya bagi setiap kitab ada rahasia dan sesungguhnya rahasia al-Qur'an ini adalh pembukaan-pembukaan suratnya."

Ali bin abi Thalib diriwayatkan pernah berkata:

"sesungguhnya bagi setiap kitab ada sari patinya, dan sari pati kitab (al-Qur'an) ini adalah huruf-huruf ejaannya".

Abu Bakar juga diriwayatkan pernah berkata:

"Pada setiap kitab ada rahasia, dan rahasianya dalam al-Qur'an adalah permulaan-permulaan suratmya".

Kedua, pendapat yang memandang huruf-huruf di awal surat-surat ini sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian yang dapat dipahami oleh manusia. Karena itu, penganut pendapat ini memberikan pengertian dan penafsiran kepada huruf-huruf tersebut.

Dengan keterangan di atas, jelas bahwapembukaan-pembukaan surat ada 29 macam yang terdiri dari 3 bentuk. Seluruh huruf yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surat ini dengan tanpa berulang berjumlah 14 huruf ejaan.

Sedangkan orientalis Jerman, Noldeke adalahorang pertama mengemkakan dugaan bahwa huruf-huruf muqathba'ah itu merupakan penujukkan nama-nama para pengumpulnya. Kemudian, ia sendiri meninggalkan pandangan ini dsn dalam artikel-artikelnya yang belakangan mengemukakan pandamgan huruf-huruf itu merupakan simbol-simbol yang tidak bermakna, mungkin sebagai tanda-tanda magis atau tiruan-tiruan dari tulisan kitab samawi yang disampaikan kepada Muhammad.pandangan yang senada dengan pendapat Noldeke pertama juga dianut oleh Hirshfeld. Akan tetapi, dalam memberikan kepanjangan dalam huruf-huruf tertentu ia berbeda dengan  Nolkede. Misalnya untuk nama Utsman, Hirschfeld mengenakan huruf mim dan untuk nama al-Mughirah gabungan huruf alif lam mim.

C.HIMAH KEBERADAAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DALAM AL-QUR'AN

Ayat-ayat al-Qur'an yang muhkam maupun yang mutasyabihat semuanya datang dari Allah.jika yang muhkam  maknanya jelas dan mudah dipahami sementara yang mutasyabihat maknanya samar dan tidak semua orang dapat menangkapnya, mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam sehingga semua orang dengan mudah memahaminya? 

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui apa hikmahdan rahasia keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an. 

Para ulama telah banyak mengkaji hikmah ini yang empat diantaranya disebutkan oleh al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan.

Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.

Sekiranya al-Qur'an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab. Sebab, kejelasannya akan membatalkan semua mazhab diluarnya. Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya. 

Akan tetapi, jika al-Qur'an mengandumg muhkam dan mutasyabuhat maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. 

Selanjutnya, semua penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamat menjadi penafsirnya.

Jika al-Qur'an mengandung ayat ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjib antara satu dengan lainnya. Hal ini memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma'ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu-ilmu tersebut tidak muncul.

Al-Qur'an berisi da'wah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menykai hal-hal yang bersifat abstrak. Jika mereka mendengar pertama kalinya tentang sesuatu wujud tapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, mereka menyangka hal itu  tidak benar adan dan akhirmya mereka terjerumus ke dalam ta'tbil (peniadaan sifat-sifat Allah). 

Karena itu,sebaiknyalah kepada mereka disampaikan lafal-lafal yang yang menunjukkan pngertian-pngertian yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka. 

Ketika itu bercampur antara kebenaran empirik dan hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat mutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan. Pada akhirnya, bagian kedua bagian ayat-ayat muhkamat menyingkapkan hakikat sebenarnya.

Al-Zarqani menyebutkan sepulh hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an. Empat diantaranya hikmah yang dsebutkan oleh Al-Fakhr Al-Razi. Enam himah lainnya berikut ini disebutkan secara ringkas.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak mampu mengetahui segala sesuatu. Ketika Tuhan menampakkan diri bagi bukit itu, bukit itu hancur hancur dan Musa jatuh pingsan.

Bagaimana pula sekiranya Tuhan menampakkan zatdan hakikat sifat-sifat-Nya kepada manusia? Karena itu, Tuhan menyembunyikan pengetahuan tentang Haru Kiamat bagi manusia sebagai rahmat agar mereka tidak bermalas-malas membuat persiapan menghadapinya.

Keberadaan ayat-ayat ini juga merupakan ujian bagi manusia, apakah mereka percaya atau tidak tentang hal ghaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayah ini akan meyakininya sekalipun mereka tidak mngetahui perinciannya. Sedangkan orang-orang yang sesat akan mengingkarinya.

Ayat-ayat ini menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia. Nagaimanapun besar kesiapan da banyaknya ilmunya , namun Tuhan sendirilah yang mengetahui segala-galanya.

Ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an menguatkan kemu'jizatannya. Sebab, setap yang didalamnya terkandung pengertian yang tersembunyi yang membawa kepada tasyabuh (kesamaran) memiliki andil yang besar dalam kebalaghannya dan sampainya ke tingkat yang paling tinggi dalam bayan.

Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang menghafal dan memelihara al-Qur'an. Sebab, setiap kalimat yang mengandung banyak penafsiranyang berakibat kepada ketidakjelasan akan menunjuk bnayak makna yang lebih dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal.

 Sekiranya mkan-makna sekunder yang banyak ini diungkapkan dengan lafal-lafal secara langsung niscaya al-Qur'an menjadi berjilid-jilid yang besar. Hal ini tentunya  menyulitkan untuk menghafal dan memeliharanya.

Terkandungnya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam al-Qur'an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan argumen-argumen akal. Dengan demikian ia bebas dari kegelapan taqlid. Hal ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan memperpeganginya. Sekiranya al-Qur'an seluruhnya muhkam niscaya tidak memerlukan argumen-argumenakal dan tetaplah akal terabaikan.

Sebenarnya keterangan al-Zarqani di atas dapat diterapkan dalam konteks pendapatnya yang mengelpmpokkan ayat-ayat mutasyabihat kepada tiga kategori,yaitu ayat-ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah, ayat-ayat yang dapat dipahami oleh semua orang, dan ayat-ayat yang hanya dapat dipahami oleh ulama tertentu. 

Sebab, sebagian hikmah yang disebutkan al-Zarqani menunjukkan bahwa ayat-ayat mutasyabihat sebagiannya memang tidak mungkin dipahami oleh manusia, yaitu pada butir 1, 2, 3, dan 4. Adapun penerapannya dalam konteks pendapat Rasyid Ridha, Subhi Shalih  dan beberapa ulama lainnya yang memandang ayat-ayat mutasyabihat dapat dipahami oleh manusia tanpa pengcualian, maka hanya butir 5dan 6 yang dapat digabungkan kepada empat hikmah yang dikemukakan al-Suyuthi sebelumnya. Inilah sebagian hikmah yang dikemukakan para ulama sehubungan dengan dengan keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Al-Qur'an, kalam Tuhan yang dijadikan sbeagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Qur'an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam Ulumul Qur'an. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul qur'an adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam Mutasyabih ayat.

Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur'an terhadap muhkam-mutasyabih.

Pertama, seluruh ayat al-Qur'an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS.Hud : 1

Kedua, seluruh ayat al-Qur'an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS.Az-Zumar : 39

Ketiga, pendapat yang paling tepat ayat-ayat al-Qur'an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkan dan  mjutasyabih berdasarkan firman Allah QS.Ali Imran : 7

            Muhkam mutasyabih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman al-Qur'an. Jika kita tengok dalam ilmu Kalam, hal yang mempengumusan Masalaharuhi adanya perbedaan pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah sayunya adalh pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabih. Bahasa al-Qur'an ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih), hingga dalam penafsiran al-Qur'an (tentang ayat muhkam mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.

            Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam ranah muhkam mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul "Al-muhkam Al-mutasyabih". Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal uang berhubungan dengan muhkam dan mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya.

  • Rumusan Masalah

Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan ru ntut sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:

  • Apa pengertian dari Al-Muhkadan Al-Mutasyabih?
  • Bagaimana sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan AL-Mutasyabih?
  • Apa macam-macam dari al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
  • Bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
  • Apa faedah dari adanya Al-Mutasyabih?
  • Tujuan Pembelajaran

Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tertentu semuanya mempunyai masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbeda ataupun sama. Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan judul "Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih" mempunyai beberapa tujuan diantaranya :

  • Dapat mengetahui pengertian muhkam dan mutastabih.
  • Dapat memahami sebabsebab adanya muhkam dan mutasyabih.
  • Dapat mengerti macam-macam muhkam dan mutasyabih.
  • Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat mutasyabih.
  • Dapat memahami faedah dari adanya muhkam dan mutasyabih.

PENUTUP

SIMPULAN

            Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagidan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Ulama berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabhat. Sebab muculnya ayat muhkam mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu, kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat. Terdapat tiga macam ayat mutasyabih yaitu ayat yang tidak bisa difahami oleh pakarnya saja. Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika akal.

SARAN

            Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyanihat tentunya akan menemui perbedaan antara ulama satu dengan ulama lainnya. Maka dari itu, kita sebagai mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena setiap pendapat yang dikeluarkan leh ulama tentu semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ulumul Qur'an (Drs.H.Ramli Abdul Wahid,MA.)

Ilyas, Yunahar, fenimisme dalam kajian tafsir Al-Qur'an klasik dan kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997.

Al-Bukhari, Al-Imam Abu 'Abdillah Muhammad Ibn Ismail, Shahih Bukhari, Maktaba Syamilah.

Usman, Ulumul Qur'an, Yogyakarta : Teras, 2009.

As-shouwy, Ahmad dkk, Mu'jizat Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang IPTEK, Bandung: Gema Insani Pers, 1995.

Djalal, Abdul,Ulumul Qur'an,Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.

Anwar, Rosihon, Ulum al-qur'an , Bandung : Pustaka Setia, 2008.

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, dasar-dasar penafsiran al-qur'an, Semarang : Dina utama, 1989.

Mansyur, Kahar, H.Drr, pokok-pokok ulumul qur'an, Jakarta : Renika Cipta 1992.

Ulumul qur'an dan pengenalan metodologi tafsir, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.

Abdul Jalal, ulumul qur'an, dunia ilmu, Surabaya, 1998.

Al-Qattan, Mana' Khalil. 2009, studi ilmu-ilmu qur'an, Bogor : Lintera Antar Nusa.

Https://ebdaaprilia.wordpress.com

https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com

https://newblog-berbagi-pengetahuan.blogspot.com

https://mahadulilmi.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun