Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Overthinking, Dari All England sampai Pelajaran Sejarah SD

22 Maret 2021   00:02 Diperbarui: 22 Maret 2021   00:50 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi overthinking. (Foto: Andrea Piacquadio/Pexels)

Karena perlakuan "tak adil" BWF terhadap timnas Indonesia di All England, nama Inggris akhir-akhir ini sering dikomentari warganet.

Ada yang menanggapi masalah dengan pendapat serius, ada pula yang sekadar melucu dengan mengunggah meme-meme. All England diplesetkan menjadi All Japan lantaran partai final didominasi banyak pemain Jepang.

Entah kilat apa yang menyambar, pikiran soal Inggris melebar ke mana-mana.

Saya tiba-tiba memikirkan pelajaran sejarah sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Materi pelajaran mengenai kedatangan pasukan Belanda (NICA) kembali ke Indonesia pasca-kemerdekaan.

Dalam buku sejarah, disebutkan bahwa kedatangan Belanda tak sendirian karena membonceng Inggris. 

Dahulu, dengan kepolosan berpikir, saya membayangkan bahwa pasukan Belanda masuk ke Indonesia benar-benar mengendarai motor, lalu jok belakang ditumpangi pasukan Inggris duduk manis menenteng senjata.

Tentunya, kata kerja "membonceng" dalam kalimat tersebut jangan dimaknai secara denotatif. Mana mungkin Belanda kembali ke Indonesia hanya bermodal sepeda motor.

Tetapi, kalimat Belanda membonceng Inggris atau pasukan sekutu sudah umum dimasukan dalam buku sejarah. Kata "membonceng" tetap dipertahankan.

Dari All England menyambung ke sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia. Overthinking yang mendera hampir banyak orang.

Mungkin seluruh buku sejarah harus direvisi karena memuat diksi "bonceng" sebab sejarah mesti ditulis dengan kaidah bahasa Indonesia dan penulisan sejarah secara tepat. 

Namun, mempertimbangkan efektivitas dan biaya, tampaknya hal tersebut tak mungkin dilakukan.

Tetapi karena pikiran yang sepintas lewat iut, saya malah semakin penasaran. Overthinking lagi.

Bagaimana proses pemilihan kata "bonceng" untuk mendeskripsikan peristiwa kedatangan Belanda dan Inggris pasca-kemerdekaan? Kenapa harus menggunakan kata "bonceng" ketimbang kata lainnya? Apa ada alasan, maksud dan tujuan di balik pemilihan diksi tersebut?

Rasa penasaran akibat overthinking merupakan hal baik untuk mengantar orang mencari tahu informasi dengan luas, dalam dan komprehensif.

Ketika jawabannya terpenuhi, puaslah batin. Tetapi, jika yang terjadi adalah jawabannya malah menggantung tanpa terang-benderang, rontoklah satu per satu rambut di kulit kepala.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan di atas? Tentu masih dicari. Pertanyaannya mudah dipahami, tetapi sulit menemukan jawabannya.

Kadang, pertanyaan sulit menjadi faktor penyebab overthinking. Jika sudah demikian, maka hampir dipastikan jawabannya sulit ditemukan.

Apa yang bisa dilakukan? Dari pengalaman saya, yang bisa dilakukan untuk menghalau overthinking:

1. Membuat pertanyaan alternatif dengan sudut pandang lain. Tak ada kebenaran tunggal untuk manusia

2. Fokus pada peristiwa, bukan kepada aktor-aktor yang terlibat. Menelisik peristiwa, berarti memperhatikan latar sebagai konteks sehingga memberikan alternatif atas upaya mencari jawaban.

3. Perbanyak membaca buku dan kumpulan artikel

Garis besarnya, overthinking dapat diatasi lewat pengalihan fokus. Tujuannya satu, jalannya yang berbeda.

Pada akhirnya, overthinking bisa diredam dengan semangat untuk mencari tahu. Seperti halnya tadi, makna memboncengi lebih didekatkan pada persoalan bahasa daripada mencari asal usul makna penggunaan kata memboncengi. 

Walaupun jawaban alternatif tak memuaskan, setidaknya lebih baik daripada menuruti pikiran yang akan membuka lebih banyak pertanyaan luas yang semakin mustahil untuk ditemukan sehingga berlipat-gandalah overthinking tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun