Mungkin seluruh buku sejarah harus direvisi karena memuat diksi "bonceng" sebab sejarah mesti ditulis dengan kaidah bahasa Indonesia dan penulisan sejarah secara tepat.Â
Namun, mempertimbangkan efektivitas dan biaya, tampaknya hal tersebut tak mungkin dilakukan.
Tetapi karena pikiran yang sepintas lewat iut, saya malah semakin penasaran. Overthinking lagi.
Bagaimana proses pemilihan kata "bonceng" untuk mendeskripsikan peristiwa kedatangan Belanda dan Inggris pasca-kemerdekaan? Kenapa harus menggunakan kata "bonceng" ketimbang kata lainnya? Apa ada alasan, maksud dan tujuan di balik pemilihan diksi tersebut?
Rasa penasaran akibat overthinking merupakan hal baik untuk mengantar orang mencari tahu informasi dengan luas, dalam dan komprehensif.
Ketika jawabannya terpenuhi, puaslah batin. Tetapi, jika yang terjadi adalah jawabannya malah menggantung tanpa terang-benderang, rontoklah satu per satu rambut di kulit kepala.
Lalu apa jawaban dari pertanyaan di atas? Tentu masih dicari. Pertanyaannya mudah dipahami, tetapi sulit menemukan jawabannya.
Kadang, pertanyaan sulit menjadi faktor penyebab overthinking. Jika sudah demikian, maka hampir dipastikan jawabannya sulit ditemukan.
Apa yang bisa dilakukan? Dari pengalaman saya, yang bisa dilakukan untuk menghalau overthinking:
1. Membuat pertanyaan alternatif dengan sudut pandang lain. Tak ada kebenaran tunggal untuk manusia
2. Fokus pada peristiwa, bukan kepada aktor-aktor yang terlibat. Menelisik peristiwa, berarti memperhatikan latar sebagai konteks sehingga memberikan alternatif atas upaya mencari jawaban.