Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru sebagai Puisi bagi Murid-murid di Masa Pandemi Covid-19

25 November 2020   20:55 Diperbarui: 29 April 2021   16:18 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pembelajaran melalui webinar guru. (Dok. EDUVERSAL via Kompas.com)

Guru memiliki tugas baru dalam proses pengajaran di masa pandemi. Ada perubahan besar dari kebiasaan lama seperti pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung pembelajaran jarak jauh.

Dalam periode yang penuh keseskan ini, guru setidaknya menghadapi dua isu penting, menurut hemat saya, yang diemban secara beriringan. Pertama, bagaimana guru harus menyesuaikan diri terhadap penggunaan teknologi informasi. Kedua, bagaimana ia harus menjadi puisi kepada anak didiknya dalam masa pandemi.

Belajar dari Rumah

Sejak kasus pertama virus corona diketahui pada Maret 2020, perubahan mulai terjadi di segala sektor: industri, kesehatan, keuangan dan tidak ketinggalan pendidikan. Sekolah diliburkan dengan kata lain, murid dan guru melaksanakan pola Belajar dari Rumah (BdR).

Berjalannya waktu, murid mengalami kejenuhan. Survei UNICEF pada 18-29 Mei 2020 dan 5-8 Juni 2020 sebagaimana dikutip dari buku panduan BdR Kemendikbud menyebutkan bahwa 66 persen dari 60 juta peserta didi di Indonesia mengaku tidak nyaman belajar dari rumah selama pandemi Covid-19.

Disebutkan pula bahwa peserta didik merasa kurang memperoleh bimbingan oleh guru selama pandemi. Dan pada bersamaan, orangtua merasa ketidaknyamanan ketika anaknya melakukan pembelajaran dari rumah. Orangtua belum siap mendidik anaknya di rumah

Guru pada akhirnya memikul beban baru dalam masa pandemi, sebagai guru juga sebagai orangtua yang akan menentukan masa depan generasi Indonesia.

Guru sebagai puisi

Muncul pertanyaan, dengan semua persoalan pendidikan selama masa pandemi, muncul pertanyaan, adilkah ini kepada guru?

Orangtua dan murid barangkali akan menyederhanakan keadilan itu berdasarkan prinsip transaksi: saya membayar Anda, dan Anda harus memberikan imbal balik. Tujuan pendidikan pada akhirnya yang sejauh ini kita dapati berangkat dari motif ekonomi semata.

Andai kata orangtua memberikan 'uang saku' kepada sekolah agar memberikan perlakuan ekstra untuk mendidik anaknya, tentu persoalan ini mengakibatkan dilema bagi anak didik itu sendiri. Muncul kekhawatiran diskriminasi antarmurid yang membayar lebih dengan yang tidak. Jelas bahwa uang atau motif ekonomi bukanlah solusi.

Saya tertarik untuk memberikan pandangan alternatif, mengajak semua pihak untuk memikirkan kembali paradigma berpikir tentang pendidikan dalam suasana pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 menjadi pelajaran bagi semua orang, dari kanak-kanak hingga orang dewasa sekalipun. Serangan virus corona yang menjangkit hampir ke semua lini utama kehidupan manusia. Ada masalah keuangan yang merosot terdampak PHK, ada isu soal kesehatan.

Tetapi, di atas itu semua, makna bahasa menjadi tidak tetap. Pandemi Covid-19 memiliki dua makna yang ditangkap secara ganda bagi manusia. 

Ia di satu sisi menjadi bahasa yang memberi nuansa menakutkan, di sisi lain ia menjadi pendorong untuk mengantarkan manusia masuk ke dalam relung refleksi bahwa ada hikmah dan semangat untuk menemukan jalan keluar.

Guru pun demikian. Ketika kita mendengar kata guru, pikiran kita terarah secara institusional, mengandaikan bahwa guru menjadi ada bila ia hadir bersama murid, buku, kelas dan perangkat sekolah lainnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Ia dibedakan dari dosen, guru besar, dan profesional lain yang berkutat dalam bidang pengajaran yang fungsinya telah diatur dalam UU Perguruan Tinggi dan UU Pesantren.

Tetapi guru dalam arti sesungguhnya sebagai pendidik merupakan sebuah puisi. Dia telah menerima semua beban dan membiarkan murid-muridnya memberontak melalui ketidaknyamanan yang mereka ungkapkan selama masa pandemi.

Pendidikan selama pandemi

Pendidikan bagaimanapun terus berdiri sebagai jembatan bagi pengetahuan untuk memasuki cakrawal di dunia lain. Seperti yang diungkapkan Tariq Ramadan, filsuf asal Swiss, yang berujar bahwa kekuatan guru yang baik adalah ia mampu membangkitkan rasa ingin tahu dan minat siswa pada apa yang tidak menarik minat mereka sejak awal dalam semua mata pelajaran.

Ketika saya, misalnya, mendaftar sebagai mahasiswa bahasa Prancis yang tidak pernah saya dapatkan sewaktu SMA, kemudian saya jatuh cinta pada bahasa dan sastranya. Sesuatu yang baru, tentu bukan karena saya terperangkap semata-mata dari ilusi bahwa Prancis itu terdengar seksi. Di sanalah, saya mencari dan menemukan kekayaan intelektual Prancis berkat pengajaran dari dosen yang merupakan guru dalam arti kebaikannya.  

Ia memperkenalkan sudut kesuraman sejarah Prancis yang memperlihatkan penderitaan, pemberontakan, idealisme hingga semua menjadi puisi yang membuat orang terdorong untuk membaca ulang dan memberikan tafsir. Sejarah dan sastra tidak pernah menuliskan dirinya sebagai pemenang tunggal, ceritanya menyimpan narasi untuk mengajak orang membangun rasa saling memiliki bersama.

Guru menjadi puisi karena secara bersamaan membentuk murid-muridnya kelak sebagai pendidik bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

Bangkitkan rasa keingintahuan dan minat mereka. Murid mungkin bertanya tentang segala hal yang mungkin absurd untuk dijawab oleh guru. Kesalahan dan ilusi, kata filsuf Prancis Edgar Morin, merupakan ciri-ciri kemajemukan manusia. 

Barangkali ketidaknyamanan mereka selama ini merupakan ilusi karena memang kehidupan semasa pandemi penuh ketidakpastian.

Apa yang bisa diselami dalam ketidakpastian adalah membiarkan tragedi itu berjalan sehingga guru mudah untuk mendekatkan murid pada realita manusia dewasa, menyadarkan kemampuan dirinya dan mendorong dia untuk memilki rasa bersama. Inilah yang akan mereka kenangkan kelak, hidup dalam masa pandemi. Selamat hari guru untuk guru-guru Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun