Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teka-Teki Kematian Oliver dalam Nama Cinta

26 Desember 2018   04:54 Diperbarui: 26 Desember 2018   05:36 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musim hujan tak kunjung menampakan tanda akan berakhir di pertengahan Februari. Tanpa waktu yang jelas, udara dingin begitu kencang menyusup melalui ventilasi dan celah-celah kecil dinding kayu. Awan mendung di luar sana merintangi orang-orang untuk tidak berkeliaran terlalu lama pada siang ini.

Aku menyandarkan punggung di atas kursi ketika seseorang menyelipkan sebuah amplop di bawah pintu. Jari-jarinya membentuk siluet akibat sinar matahari yang memantul. Amplop itu kemudian terdorong kencang masuk ke dalam rumah sebelum akhirnya berhenti beberapa jengkal dari celah pintu yang mulai kehilangan pantulan cahaya matahari.

Aku beranjak dari kursi setelah memastikan bayangan orang itu telah lenyap dari bawah pintu. Selembar surat terlipat dari dalam amplop dengan bahasa yang agak bertele-tele. Namun sebaris kalimat pembukaan menyadarkan aku bahwa surat ini hanya bagian permulaan agar aku selanjutnya segera menemui penyidik Kepolisian.

Polisi itu menyambut kehadiranku dengan pandangan yang curiga pada setiap gerak badanku. Aku selanjutnya menarik lepas mantel dari badan tanpa membelakanginya sehingga dia dapat leluasa melihat bentuk badan orang tua bercampur aroma tanah pemakaman.

"Anda melihat dia mati saat itu?" tanya penyidik itu dengan tatapan tajam.

"Ya."

"Dia mati tepat di depan badanmu, di atas sebuah meja dengan kepala menunuduk dan aku pikir, Anda seharusnya menyadari bahwa dia sudah mati saat itu."

"Dia masih hidup."

"Anda yakin dia masih hidup saat itu?"

"Aku percaya, dia masih hidup saat itu."

"Kedengaran sangat sederhana, namun dia sudah mati setengah jam sebelum pelayan mengangkat tubuhnya keluar dari kursi. Sementara Anda selama itu tidak berbicara kepadanya, tidak menegurnya, tidak ada apapun yang Anda lakukan saat itu. Anda diam selama setengah jam saat kematiannya. Apa saya harus memulai penyelidikan ini dengan menyimpulkan bahwa Anda adalah pembunuhnya?"

Polisi itu memberikan jeda untuk mengumpulkan bagian per bagian dari masa lalunya sebelum menyampaikan tuduhan terakhir tadi. Mukanya terlihat memerah seolah segala emosi yang terendap di dalam pikirannya meledak lewat setiap kata.

"Oliver mencintai ibunya, mencintai dirinya, mencintai Helena, mencintai kehidupan, begitu banyak yang dicintainya sampai dia merasa hancur karena tidak satu pun yang terpenuhi," kataku.

"Kau... Anda hanya seorang penjaga makam."

"Namun aku telah banyak menyaksikan orang-orang mati."

Endusan polisi itu perlahan menurun setelah dia melengketkan punggung badannya pada sandaran kursi. Ia berpikir untuk menyingkirkanku dari hadapannya.

"Anda sakit jiwa, aku pikir tidak ada gunanya saya melanjutkan pertanyaan ini."

Polisi itu jelas tidak terkontrol dan mengalihkan sikapnya untuk menyampingkan ucapan tadi. Dia membuka halaman-halaman berkas dari catatannya dalam waktu yang cukup lama dan tanpa maksud yang jelas.

"Oliver adalah sahabatku, kami sangat dekat. Ini sungguh mengganggu pikiranku," ucap Polisi itu.

"Kau tidak seharusnya terkejut mengetahui kematiannya," balasku.

"Aku tidak butuh nasihatmu."

Aku menuruti ucapannya. Namun, sepasang matanya justru membelalak tepat di depan wajahku ketika kepalanya tertunduk mencari sesuatu yang tidak pasti diketahui dalam lembaran itu.

"Sekarang, katakan suatu hal yang ingin aku ketahui," ujarnya.

"Dia sudah mati," jawabku.

"Apa hal terakhir yang diucapkannya kepadamu?"

"Dia membunuh Ibunya."

Polisi itu menyela perkataanku.

"Dia dan Helena, mereka membunuh Arsamarya. Pemakaman yang damai," katanya.

Dia menceritakan semua perkara itu dengan susunan alur yang nampak masuk akal. Oliver dan Helena hampir tidak terpisahkan dalam dunia ini karena keduanya terikat pada cinta.

Namun, genggaman Oliver terlalu kuat menahan pengikat cinta mereka, sementara Helena sesungguhnya mengerti bahwa simpul yang dirajutnya dapat lepas sewaktu-waktu sehingga ia sudah menyiapkan cara agar dapat melonggarkannya. Dia akhirnya memutuskan untuk menarik lepas simpul tersebut dan meninggalkan Oliver dengan tangan yang masih menggenggam kuat ikatan itu. Mereka berpisah, namun kembali berhubungan seolah tidak ada yang mampu menguburkan cinta masing-masing.

Setelah pertemuan dalam ziarah Ibu yang membuatku harus menerima Oliver dalam hidupku, dia beberapa kali menceritakan segala harta yang dimilikinya.

"Aku tidak mengikat diriku pada kekayaan ini, Helena juga tidak pernah berkata untuk meminta apapun dariku. Dia hanya mengakui tidak menyukai sikapku, pilihanku yang tidak menentu karena di sisi lain aku juga mencintai Ibu. Aku telah mengikatkan dunia ke semua badanku dengan sangat kencang. Aku mencintai kedamaian, namun Helena benci mendengar ini dan menjadikannya alasan berpisah dengaku. Dia juga mendapat alasan lain untuk itu setelah Ibu mengancam membunuhnya," ucap Oliver pada satu pertemuan.

Polisi itu melengkapi runtutan yang berujung pada kematian Arsamarya, Ibu Oliver, yang telah ditutupinya selama beberapa tahun.

"Sebuah pertengkaran hebat saat Oliver datang bersama Helena mengunjungi Arsamarya. Namun, kau tahu, amarahnya memuncak secara tiba-tiba saat melihat Helena yang tersenyum menyapanya. Dia melayangkan sebuah pukulan telak pada wajahnya. Arsamarya menyiapkan pukulan kedua, namun Oliver menangkap lengan tangannya. Helena yang jatuh karena pukulan itu mengangkat badan sambil mengepalkan kelima jari tangan kanannya dan mendorongnya tepat di rahang Arsamarya. Tubuh Arsamarya yang tua terjatuh tanpa kekuatan yang cukup untuk bisa membangkitkan badannya. Dia meminta Oliver membunuh dirinya, namun Oliver hanya diam. Keadaan memburuk, Arsamarya terlalu kuat melawan karena kebencian telah terlanjur merasukinya. Dia akhirnya berjalan terpincang-pincang dalam beberapa langkah dan berlari dengan mata pisau menyasar kepada Helena. Oliver mengakhirinya dengan pukulan tangan kosong tepat di belakang kepala Arsamarya. Dia terjatuh untuk kali kedua tanpa bisa sadar dari pukulan itu. Helena merebut pisau dari tangan Arsamarya dan menggoreskannya pada urat tangan Arsamarya. Oliver diam menyaksikan itu dan meminta Helena lekas membantunya menggeser jenazah Ibunya menuju ranjang tidurnya."

Setelah mengatakannya, Polisi itu meletakan catatan yang dipegangnya tadi kembali ke balik laci. Ia berkata, pembunuhan ini tidak terciul sama sekali dan benar-benar samar karena menurut pengakuan tetangga di kediamannya, Arsamarya merupakan wanita gila sejak kematian suaminya. Semua orang percaya wanita itu bunuh diri, kecuali saat Oliver mengatakan semua ini kepada Polisi itu.

Oliver semasa hidupnya telah beberapa kali mengatakan kepadaku, Helena sangat gelisah dan takut setelah kematian Arsmarya. Namun, kegelisahan itu hanya terasa dalam beberapa hari sebelum Helena akhirnya telah memperoleh kebebasan dari ancaman. Dia percaya bahwa Oliver telah membelanya saat kematian Ibu karena cinta. Atas keyakinan itu, dia memperdaya Oliver untuk menetapkan waktu pada pesta pernikahan mereka.

Pada pertemuan terakhir kami di Cafe Lesce, Oliver mengatakan, dia tidak menikahi Helena. Dia mengaku masih mencintai gadis itu, namun tidak berpikir untuk menganggapnya sebagai bagian dari kehidupannya.

"Helena menggodaku sebab dia tahu bahwa aku meyakini bahwa cinta adalah kekuatan yang mengalahkan segalanya, aku mencintai Ibu dan mencintai dia. Namun, segala yang buruk dari cinta ini adalah kehidupan. Helena adalah bagian dari kehidupan itu yang menginginkan sesuatu dariku dan tidak akan pernah aku tahu keinginan apa yang direnggutnya dari balik tubuhku," ucap Oliver.

Awan kembali mendung setelah  terik matahari selama tiga jam menghangatkan udara hari ini.

“Helena akan membunuhku karena rasa sakit hatinya.”

“Aku mengingat diriku yang ternyata salah satu dari pembunuh Ibu. Aku membunuhnya.”

Oliver meneguk kopi dari cangkir kecil yang belum disentuhnya sama sekali. Dia menarik napas lebih dalam melawan kekalutan yang menggentayangi pikirannya. Setengah jam kemudian pelayan memindahkan dirinya dari kedudukannya. Kopi hitam tadi berubah kecoklatan akibat reaksi racun sianida yang larut di dalamnya.

Helena datang menemuiku setelah kematian Oliver saat aku baru selesai menyuguhkan segelas kopi yang akan kunikmati di bawah pohon kantor pemakaman.

Makam Oliver yang dipenuhi bunga duka terlihat di ujung batas pandanganku yang kabur digerogoti usia. Helena menyapaku dengan hangat, sembari memberikan senyuman. Aku mengira Helena saat itu akan memintaku untuk mengantarkannya menuju makam Oliver.

"Apa Oliver memberitahumu mengenai bagian warisan yang aku terima?" ujar Helena.

"Tidak."

"Mengapa?"

"Kau telah membunuh dia dan Ibunya."

"Kau salah, dia menginginkan kematiannya atas semua kekacauan yang ada dalam pikirannya," kata Helena.

"Namun, kau tidak berhak memutuskan pilihannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun