Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Rindu dari Surabaya

13 November 2016   21:08 Diperbarui: 13 November 2016   22:21 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melirik ke kiri dan ke kanan.Rumah-rumah mewah saling menghimpit. Pagarnya besi yang panjangnya rata-rata lima meter.Motor asyik saja menjelajah di atas jalan paving. Oh, kami berada di dalam perumahan.

Deretan reklame toko-toko menerangkan bahwa kami masih berada di Waru. Seiring angin berlalu,lima kilometer terlampaui, akhirnya kami memasuki jalan utama. Aku mulai ragu. Udin sudah tidak tampak lagi di depan, atau di belakang. Lewat mana dia, tanyaku. Lalu, petunjuk jalan tidak ada menyebut nama Wonorejo. Kami berjalan hanya mengikuti arahan orang terakhir yang kami tanyai.

Kami pun meninggalkan Waru, mengucapkan selamat datang ke Surabaya. Dan pada akhirnya, kuburlahdalam-dalam ingatan bahwa Wonorejo berada di Waru. Tidak benar itu.

***

Setangah jam menghirup udara di Waru, sekarang kami berada di Rungkut, wilayah utara kota Surabaya. Nasib beruntung. Papan petunjuk berlatar hijau itu menyimbolkan bahwa kami harus berbelok ke kanan.Tiba di pertigaan. Ke kiri, kita akan berjalan menuju Wonokromo. Anda mungkin bertanya, mengapa tidak melewati Wonokromo? Tentu perjalanan dapat berlangsung singkat. Tapi, apalah daya, tiada guna menyesal dalam hati. Dalam perjalanan, baiklah kita mencatat satu hal bahwa segala jalan yang telah dilewati adalah sejarah. Kita sedang melakukan petualangan. Yang berlalu biarlah berlalu. Asal tiba sampai tujuan dengan selamat.

Lampu ketiga berwarna hijau menyala. Lajur dua arah dibatasi oleh taman.  Lalu beberapa meter, tower listrik raksasa berdiri. Dan jalan dua arahitu kini menyatu. Marka pembatasnya garis putih-putih. Jalan pu mengecil. Di atas motor yang berjalan, aku dapat menggedur pinturumah warga-warga. Tapi tidak kulakukan. Laju kendaraan maksimal 40 km/jam, berbeda saat menempuh aspal kota yang dapat mencapai 80 km/jam.

Tapi manusia pun kadang lengah. Manakala keadaan sepi, seenaknya dia menarik gas. Maka, rambu-rambu peringatan perlu ditancapkan. Ada satu rambu yang aneh. Aku membaca diksi lain yang ditulis.

“Anda menumpang jalan perkamupungan. Kurangi Kecepatan.”

 Kata “menumpang” adalah berbeda denganjenis huruf lainnya. Ditulis terpisah. Kata tersebut menindih kata “melewati”. Cukup mencolok. Memang beginilah cara-cara unik dalam mengingatkan orang. Berbeda asalkan sama esensi.

Tiga kilometer sudah dijalani. Karcis diberikan. Harganya sesuai dengan angka yang tertera. Motor langsung menuju lapangan parkir. Suara mesin perahu terdengar, seakan-akan di sana terbentang lautan. Tiada ombak-ombak yang beriak. Memang, perahu itu melintas di sungai yang bermuara ke laut Jawa. Di sebelah adalah pantai Kenjeran. Entah berapa jauh jaraknya, tapi yakinlah Ekowisata Mangrove bertetangga dengan pantai yang sangat familiar di kalangan warga Surabaya.

Aku meneguk isi botol terakhir. Kira-kira sudah dua liter air, sejak dari Malang, melewati kerongkongan. Akhtur meminta botol itu.Diteguknya sampai air tersisa setengah botol. Udin tiadaterlihat di sekitar sini. Kami menyisir area parkir. Motornya tiada juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun