Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Rindu dari Surabaya

13 November 2016   21:08 Diperbarui: 13 November 2016   22:21 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mesin perahu semakin berderu kuat. Dalam bayanganku, perahu itu melintas,tepat, di sebelahku. Benar pula bayanganku. Perahu berlayar sepuluh meter di kiri meski samar tertutup oleh rimbunan bakau.Kubayangkan akan birunya lautan,biar dingin batok kepala. Aku butuh benar-benar piknik ke pantai. Lautan dan langit berwarna biru. Akhtur juga ingin melihat matahari terbenam setelah ditontonya iklanGoogledi layar televisi. Tapi sesuatu yang lebih besar terlihat konyol apabila dikhayalkan sekarang. Senja akan datang beberapa jam lagi. Tulang-tulang badansudah rapuh. Apalagi perjalanan pulang akan terurai panjang.

“Jembatan Merah lewat dari mana, mas?” tanyaku kepada petugas parkir.

“Sampeyan lurus saja mas dari jalan ini. Lurus aja pokoknya, tidak usah berbelok,” jawabnya semangat.

Rindu segera terbalas. Kami akan kembali ke Malang. Maghrib tiba. Bagaikan ungkapan pujangga tentang Paris, Surabaya indah pula oleh cahaya lampu malamnya. Malam yang indah. Taman Bungkul ramai bukan main.

Kami pulang melalui jalan Wonokromo setelah mengunjungi Jembatan Merah yang menjadi saksi bisu perjuangan Arek-Arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan. Setali tiga uang, manakala ke Jembatan Merah, terlewati pula Kota Tua Surabaya. Lalu, Wisata Religi Sunan Ampel. Kunjungan ke Jembatan Merah adalah pengecualian ketika tulang-tulang memang rapuh.

“Ngopinya di Sidoarjo aja,” kata Akhtur.


“Oke,” jawabku.

Nyatanya kami menyeruput kopi di Purwosari, satu jam lamanya dari Sidoarjo.

“Kalian jalan duluan. Aku mau cari Koyo Cabe di warung. Punggungku pegal,” pesanku kepada Akhtur dan Udin ketika motor berhenti menunggu lampu hijau.

Arjuna menyambut. Titik terang-terang di lembahnya menatap kami. Wujudnya menyatu dengan gulita malam. Dingin yang lebih menyambut di Lawang. Kami bertiga sepakat, lekas beristirahat di atas kasur sesampainya di rumah masing-masing. Sebelum jatuh ke dalam mimpi, terbayang dengan kota Surabaya tadi. Ia tidak sama persis seperti iklan Google itu. Lihatlah dan rasakanlah. Sambil tersenyum mengenangnya, kulepas Koyo Cabe dari kulitku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun