Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Rindu dari Surabaya

13 November 2016   21:08 Diperbarui: 13 November 2016   22:21 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
area hutan bakau. Sumber foto: http://res.cloudinary.com/nandadc42/image/upload/v1447084185/Tempat_Wisata_Wisata_Hutan_Mangrove_Wonorejo_di_Surabaya_b5u5hh.jpg

Memang, kita harus melonggarkan syaraf-syaraf manakala angan-angan terwujudkan. Hal itu tidak mesti menyangkut perkara besar. Misalnya, sewaktu aku hendak mengunjungi suatu destinasi wisata, malahan timbangan sana-sini dapat menggugurkan niat. Dan, di lain hal, timbangan sana-sini juga dapat menggugurkan prasangka.

Aku tinggal di Malang, rumah di timur pulau Jawa. Di Malang, tempat yang mau dituju tidak akan habis. Sudah barang tentu sebuah piknik atau rekreasi menjadi hal yang dilaksanakan mudah. Apa nama Semeru terdengar kurang kesohor? Ketika Bali mulai terasa suntuk, meski orang-orang tetap merindukannya, aku dapatmemberi jaminanbahwa Dewata juga tinggal di Sendang Biru, Banyu Anjlok, Balekambang, atau Tiga Warna. Kita menyaksikan bentang samudera luas. Jarak kira-kira 80 kilometer ditempuhdari Kota Malang. Habisdua jam dengan berkendara sepeda motor. Ombak hantam tepinya.Orangberada dalam keheningan karena desirannya.

Minggu, 6 November lalu, pun tiba. Layar kaca berbicara dan surat kabar menurunkan headline, berita Aksi Damai yang berlangsung lusa di Jakarta. Setelah itu, motor bergerak menuju Surabaya. Kami bercerita banyak tentang apapun mengenai Aksi Damai tersebut. Akhtur yang mengendalikan setir, sementara aku adalahpenumpangnya. Seorang lagi turut bersama aku dan Akhtur.Tiga meter di belakang adalah Udin yang membuntuti.

Aspal gelap dan garis mark-marka putih terang. Jalan baru diperbarui. Seperti kami hendak berangkat mudik di hari raya. Di seberang, yang menuju Malang, padat-padatan. Tapi aku sebenarnya meninggalkan kampung. Perjalanan dua jam berubah nostalgia. Semeru berpindah ke tenggara. Gunung Arjuna ada di sebelah barat terbelah, ibarat gulungan kertas sedang dibuka. Gunung yang terlihat tegak raksasa pelan-pelan memanjang. Puncak Penanggungan keluar dari punggung Arjuna. Dan rasa ingin pulang itu semakin menjadi-jadi.

Surabaya tidaklah seperti Malang. Berbeda sekali. Bukan soal gagah-gagahan gedung tinggi-tinggi.Awalnya, aku menawarkan untuk pergi rekreasi di Malang. Udin juga membuat penawaran lokasi. Akhtur juga. Kami mempunyai banyak nama, tapi pilihan jatuh kepada Wonorejo yang mempunyai hutan bakau.

“Sunset di Surabaya yang di iklan Google itu, dimana?” tanya Akhtur.

“Yang mana?” balas Udin penasaran.

“Mungkin Pantai Kenjeran,” kataku.

***

Sekarang kami masuk wilayah Kabupaten Pasuruan. Tanganku berangsur-angsur lepas dari peluk badan. Panas terik sang matahari menyumsum ke badan. Satu jam berlalu sejak keberangkatan.Gunung-gunung mulai terkubur karena pekatnya kabut. Mata tidak memandang lagi barang sepangkal pun pucuknya. Yang hijau telah berlalu.

Ban karet melenturkan rongga-rongganya.Panasnya aspal jalan.Selang beberapa menit, sekitar 30 menit dari Pandaan, aku mengindu bau asing, seperti bau bahan bakar. Orang-orangdi sekitar jugasama-sama menghadapinya.Tepat di depan persimpangan jalan, tengoklah ke kanan. Kita melihat jajaran bukit setinggi rumah berlantai dua. Tanggul terurai panjang. Di sana ada genangan lumpur Lapindo. Tengoklah juga ke sekitar. Sedikit kepala bergeser, tampaklah sepetak papan tertancap di pinggir jalan, kurang lebih mengatakan: Lokasi Wisata Lumpur.

***

Surabaya akan tercapai dalam satu jam, apabila tiada kemacetan yang menjadi aral melintang. Memang hal itu tidak terjadi. Tapi, motor berjalan bagaikan orang sedang merayap. Kadang-kadang  maju lalu berhenti. Tampak oleh mata sekumpulan orangtumpah sampai badan jalan. Pedestrian sudah tidak mampumenampung mereka. Beberapa memakai seragam olahraga. Mereka tampak akrab dengan pengendara sepeda fixie. Plang besi menutup jalan.Polisi berjaga di depannya.Diayunkannya tangan kepada kami pengendara. Dilarang masuk. Kami menurut, diperintahkan berbelok ke jalan lain. Warga Sidoarjo sedangmenikmati Minggu dengan Car Free Day.

Perkiraanku, jika situasinya seperti ini, kami akan terlambat setengah jam. Udin mendahului aku dan Akhtur. Barangsiapa yang memimpin, dialah yang mengerti rute. Sebagai mahasiswa Perikanan dan Kelautan, dia telah mengunjungi banyak pesisir pantai di Malang. Teman-temannya juga memiliki pengalaman yang serupa tentang kelautan. Pengalaman berbeda di antara mahasiswa tentu menambahpembendaharaan Udin. Tapi, segalanya memang dapat berubah. Udin ternyata baru pertama kali mengunjungi Hutan Bakau di Wonorejo.Mustahil. Surabaya teramat luas untuk dijelajah dalam waktu singkat.

***

Orang-orang ramah, mau melepaskan kami dari kesesatan. memberi petunjuk jalan. Setelah bertanya kepada banyak orang, satu kata yang kami simpulkan adalah: jauh. Ada yang mengambil jeda waktu untuk mengarhkan kami. Ia menerawang jalan demi jalan, wilayah demi wilayah.Sesekali ada yang meralat arahannya. Kami mendapat jawaban berbeda-beda menurut selera masing-masing. Memang jauh benar-benar, pikirku.

“Wonorejo masuk dari Waru, mas,” kata Udin. 

“Waru atau Surabaya?” tanya batinku.

Hanya informasi itu yang disampaikannya kepada kami. Artinya, kami sudah berjarak dekat dengan tujuan. Ini badan kami sekarang berada di Waru, Sidoarjo,kota yang berbatasan langsung dengan Surabaya.

Kami bertanya lagi.

“Sekitar empat puluh lima menit lagi,” kata seorang.

Kami berputar arah, sesuai arahannya.Dan kereta api melaju kencang di sebelah kiri. Kecepatan kuda besi tidak seimbang dengan bebek kami. Kereta pun jauh meninggalkan kami. Akhtur membelokkan motor ke kiri. Dua meter terlalui, digilasnya rel besi kereta itu. Jika saja kami tidak berbelok, terus berjalan lurus, tersisa satu persimpangan. Simpang itu merupakan jalan menuju Bandara Juanda.

Aku melirik ke kiri dan ke kanan.Rumah-rumah mewah saling menghimpit. Pagarnya besi yang panjangnya rata-rata lima meter.Motor asyik saja menjelajah di atas jalan paving. Oh, kami berada di dalam perumahan.

Deretan reklame toko-toko menerangkan bahwa kami masih berada di Waru. Seiring angin berlalu,lima kilometer terlampaui, akhirnya kami memasuki jalan utama. Aku mulai ragu. Udin sudah tidak tampak lagi di depan, atau di belakang. Lewat mana dia, tanyaku. Lalu, petunjuk jalan tidak ada menyebut nama Wonorejo. Kami berjalan hanya mengikuti arahan orang terakhir yang kami tanyai.

Kami pun meninggalkan Waru, mengucapkan selamat datang ke Surabaya. Dan pada akhirnya, kuburlahdalam-dalam ingatan bahwa Wonorejo berada di Waru. Tidak benar itu.

***

Setangah jam menghirup udara di Waru, sekarang kami berada di Rungkut, wilayah utara kota Surabaya. Nasib beruntung. Papan petunjuk berlatar hijau itu menyimbolkan bahwa kami harus berbelok ke kanan.Tiba di pertigaan. Ke kiri, kita akan berjalan menuju Wonokromo. Anda mungkin bertanya, mengapa tidak melewati Wonokromo? Tentu perjalanan dapat berlangsung singkat. Tapi, apalah daya, tiada guna menyesal dalam hati. Dalam perjalanan, baiklah kita mencatat satu hal bahwa segala jalan yang telah dilewati adalah sejarah. Kita sedang melakukan petualangan. Yang berlalu biarlah berlalu. Asal tiba sampai tujuan dengan selamat.

Lampu ketiga berwarna hijau menyala. Lajur dua arah dibatasi oleh taman.  Lalu beberapa meter, tower listrik raksasa berdiri. Dan jalan dua arahitu kini menyatu. Marka pembatasnya garis putih-putih. Jalan pu mengecil. Di atas motor yang berjalan, aku dapat menggedur pinturumah warga-warga. Tapi tidak kulakukan. Laju kendaraan maksimal 40 km/jam, berbeda saat menempuh aspal kota yang dapat mencapai 80 km/jam.

Tapi manusia pun kadang lengah. Manakala keadaan sepi, seenaknya dia menarik gas. Maka, rambu-rambu peringatan perlu ditancapkan. Ada satu rambu yang aneh. Aku membaca diksi lain yang ditulis.

“Anda menumpang jalan perkamupungan. Kurangi Kecepatan.”

 Kata “menumpang” adalah berbeda denganjenis huruf lainnya. Ditulis terpisah. Kata tersebut menindih kata “melewati”. Cukup mencolok. Memang beginilah cara-cara unik dalam mengingatkan orang. Berbeda asalkan sama esensi.

Tiga kilometer sudah dijalani. Karcis diberikan. Harganya sesuai dengan angka yang tertera. Motor langsung menuju lapangan parkir. Suara mesin perahu terdengar, seakan-akan di sana terbentang lautan. Tiada ombak-ombak yang beriak. Memang, perahu itu melintas di sungai yang bermuara ke laut Jawa. Di sebelah adalah pantai Kenjeran. Entah berapa jauh jaraknya, tapi yakinlah Ekowisata Mangrove bertetangga dengan pantai yang sangat familiar di kalangan warga Surabaya.

Aku meneguk isi botol terakhir. Kira-kira sudah dua liter air, sejak dari Malang, melewati kerongkongan. Akhtur meminta botol itu.Diteguknya sampai air tersisa setengah botol. Udin tiadaterlihat di sekitar sini. Kami menyisir area parkir. Motornya tiada juga.

“Kita tunggu aja,” kata Akhtur.

Kunaikkan dahiku, pertanda setunju.

Jalan menuju Ekowisata Bakau ini tidak terhubung ke jalan lain. Kita berjalan seperti menuruti revolusi matahari, terus berputar-putar, kembali ke titik awal. Aku mengajak Akhtur untuk segera masuk.Tempat ini tutup pukul 17.00. Dua jam lagi. Sebaik-baiknya aku melakukan usaha persuasif, toh Akhtur kukuh menunggu Udin. Aku meneguk sisa air di botol. Sebelum tetes penghabisan, Akhtur merebutnya. Mahasiswa Ilmu Politik ini pun leleh dan memutuskan untuk masuk ke dalam pekarang hutan bakau.

Renggangan baut papan terhadap beton penyangga menadakan langkah-langkah orang. Lebar jalan sekitar satu setengah meter. Selang lima langkah, kami berpapasan dengan orang-orang. Di antara celah papan, air coklat pekat terlihat. Ada yang kering, ada juga yang menggemburkan tanah. Di kiri dan kanan adalah pohon bakau.

Beberapa pengunjung memunggungi hamparan bakau. Mereka tersenyum manis sambil disambar lampu kilat kamera.Abadi dalam bingkai. Deru mesin perahu terdengar lagi. Tiadaaku melihat wujud fisiknya.Sesal rasaku.

Ada pertigaan, kami berjalan lurus. Muda-mudi berlalu-lalang. Orang tua membawa serta anak-anaknya. Segala bakau ditanam. Di setiap pinggiran jalan, berdiri sebuah mimbar kayu layaknya mimbar seorang pemimpin iringan musik. Di sana terpampang informasi tentang bakau yang berada di belakangnya.

Jalannya pendek, tidak mencapai satu kilometer. Setibanya di ujung jalan,lagi-lagi, beberapa orang mengambil waktu untuk menggambar dengan tangkapan cahaya. Udin belum juga datang. Biarlah waktu yang menjawab kepastian. Ponselnya padam kehabisan daya baterai sejak berangkat.

Sudah setengah jam, aku dan Akhtur keluar dari pekarangan hutan bakau.Pucuk dicinta ulam tiba, kata pepatah Melayu. Orang yang ditunggu hadir. Senangnya dia yang sudah tiba, sementara bagiku remuk-remuk badan seakan tiada tertawar lagi.

Kami bertiga masuk bersama-sama. Sampai di pertigaan tadi, kami berbelok ke kanan,berjalan di atas jembatan. Di bawahnya sungai kecil dengan akar-akar bakau.Papanan berakhir, alas kaki menyentuh tanah. Kami melewati deretan warung makanan dan area rekreasi. Aku masih menyimpan rasa penasaran, dimanakah laut itu? Saat mataku menengadah kepada peta lokasi, aku dapat memperkirakan tepi laut yang kuincar itu berjarak kurang lebih satu kilometer. Jauh!

Masing-masing kami membayar lima ribu rupiah untuk memasuki area Jogging track. Di sini memang seperti di dalam hutan. Pohon bakau yang meninggi, daunnya membentuk kanopi. Berjalan terus, berhenti sebentar. Dahulukan orang-orang melewati kami. Setelah dirasa bagus, klik. Senyum abadi di dalam layar ponsel.

Dari jarak sepuluh meter, jalan seperti menuju gua. Bakau mulai meninggi dengan kanopi besar. Surabaya yang panas itu mendadak sejuk. Jalannya lebih panjang dari jalan awal yang kami lewati. Tiada papan informasi yang menerangkan pohon bakau. Benar-benar seperti hutan. Hanya ada plang dari lembaga, perusahaan atau instansi yang turut serta mengembangkan ekowisata. Beberapa dari Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Caranya dengan penelitian atau Kuliah Kerja Nyata. Ada  dari BUMN sebagai program tanggungjawab sosial (CSR). Dari tahun yang tertulis, aku memngira bahwa sebagai ekowisata tempat ini terbilang baru. Agustus 2013, tertulis di salah satu papan.

Mesin perahu semakin berderu kuat. Dalam bayanganku, perahu itu melintas,tepat, di sebelahku. Benar pula bayanganku. Perahu berlayar sepuluh meter di kiri meski samar tertutup oleh rimbunan bakau.Kubayangkan akan birunya lautan,biar dingin batok kepala. Aku butuh benar-benar piknik ke pantai. Lautan dan langit berwarna biru. Akhtur juga ingin melihat matahari terbenam setelah ditontonya iklanGoogledi layar televisi. Tapi sesuatu yang lebih besar terlihat konyol apabila dikhayalkan sekarang. Senja akan datang beberapa jam lagi. Tulang-tulang badansudah rapuh. Apalagi perjalanan pulang akan terurai panjang.

“Jembatan Merah lewat dari mana, mas?” tanyaku kepada petugas parkir.

“Sampeyan lurus saja mas dari jalan ini. Lurus aja pokoknya, tidak usah berbelok,” jawabnya semangat.

Rindu segera terbalas. Kami akan kembali ke Malang. Maghrib tiba. Bagaikan ungkapan pujangga tentang Paris, Surabaya indah pula oleh cahaya lampu malamnya. Malam yang indah. Taman Bungkul ramai bukan main.

Kami pulang melalui jalan Wonokromo setelah mengunjungi Jembatan Merah yang menjadi saksi bisu perjuangan Arek-Arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan. Setali tiga uang, manakala ke Jembatan Merah, terlewati pula Kota Tua Surabaya. Lalu, Wisata Religi Sunan Ampel. Kunjungan ke Jembatan Merah adalah pengecualian ketika tulang-tulang memang rapuh.

“Ngopinya di Sidoarjo aja,” kata Akhtur.

“Oke,” jawabku.

Nyatanya kami menyeruput kopi di Purwosari, satu jam lamanya dari Sidoarjo.

“Kalian jalan duluan. Aku mau cari Koyo Cabe di warung. Punggungku pegal,” pesanku kepada Akhtur dan Udin ketika motor berhenti menunggu lampu hijau.

Arjuna menyambut. Titik terang-terang di lembahnya menatap kami. Wujudnya menyatu dengan gulita malam. Dingin yang lebih menyambut di Lawang. Kami bertiga sepakat, lekas beristirahat di atas kasur sesampainya di rumah masing-masing. Sebelum jatuh ke dalam mimpi, terbayang dengan kota Surabaya tadi. Ia tidak sama persis seperti iklan Google itu. Lihatlah dan rasakanlah. Sambil tersenyum mengenangnya, kulepas Koyo Cabe dari kulitku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun