Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kontribusi Investasi dan Problematika Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

2 Agustus 2025   15:13 Diperbarui: 5 Agustus 2025   08:19 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret perkebunan kelapa sawit di wilayah Sulawesi Tengah. (Dokumentasi Pribadi) 

Komoditi kelapa sawit memberikan kontribusi tertinggi terhadap realisasi investasi bidang hilirisasi sektor perkebunan dan kehutanan pada triwulan II tahun 2025 yakni sebesar Rp 16,4 triliun.

Realisasi tersebut lebih tinggi dari komoditi kayu log Rp 13,1 triliun, karet Rp 5 triliun serta komoditi lainnya (pala, kelapa dan kakao) sebesar Rp sebesar Rp 1,7 triliun. Adapun total realisasi investasi pada sektor perkebunan dan kehutanan sebesar Rp 36,3 triliun.

Data realisasi yang dirilis oleh Kementerian investasi dan hilirisasi/BKPM pada triwulan II tersebut, membuktikan bahwa kontribusi komoditi kelapa sawit di sektor perkebunan masih dominan, terhadap realisasi investasi hilirisasi di Indonesia.

Kontribusi investasi tersebut salah satunya berasal dari Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang membuka pintu bagi masuknya investor kelapa sawit. Baik berupa penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Mengingat Provinsi Sulteng menjadi peringkat teratas dari 5 besar lokasi investasi sektor hilirisasi (PMA dan PMDN). Yakni dengan capaian realisasi sebesar Rp 25,7 triliun atau 17,8 persen.

Tingginya capaian realisasi Sulteng selain disumbang oleh hilirisasi komoditi kelapa sawit, juga oleh hilirisasi nikel di sektor mineral. Termasuk sektor minyak dan gas bumi serta perikanan dan kelautan.

Data realisasi hilirisasi kelapa sawit. (Dokumentasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi) 
Data realisasi hilirisasi kelapa sawit. (Dokumentasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi) 

Capaian Sulteng lebih tinggi dari Jawa Barat Rp 15,2 triliun (10,5 persen), Maluku Utara Rp 15,0 triliun (10, 4 persen), Nusa Tenggara Barat Rp 10,7 triliun (7,4 persen) dan Jawa Timur Rp 8,5 triliun (5,9 persen).

Capaian investasi hilirisasi tidak lepas dari keberadaan luas lahan kebun sawit yang cukup signifikan di wilayah Sulteng. Meliputi Kabupaten Buol, Tolitoli, Donggala, Poso, Morowali, Morowali Utara, dan Banggai.

Keharusan Memiliki HGU

Namun adanya realisasi investasi hilirisasi kelapa sawit yang tinggi, menjadi dilema dengan adanya kompleksitas problematika usaha perkebunan kelapa sawit di daerah. Termasuk di wilayah Provinsi Sulteng.

Baik berupa belum clean and clear lahan usaha, adanya konflik agraria, abainya komitmen pemberdayaan masyarakat petani lewat skema inti-plasma, hingga kerusakan lingkungan dari usaha komoditi tersebut.

Problematika ini mencuat dengan adanya aksi unjuk di Kantor DPRD dan Gubernur Sulteng oleh masyarakat Kabupaten Tolitoli, belum lama ini. Terkait keberadaan perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). 

Meskipun perusahaan kelapa sawit dimaksud telah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP), sebagaimana diatur dalam pasal 42 Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Dimana menyebutkan, kegiatan usaha budi daya perkebunan atau usaha pengolahan hasil perkebunan, hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila mendapatkan hak atas tanah dan atau izin usaha perkebunan.

Data Provinsi Sulteng tertinggi realisasi investasi hilirisasi. (Dokumentasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi) 
Data Provinsi Sulteng tertinggi realisasi investasi hilirisasi. (Dokumentasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi) 

Seperti diketahui sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 138/PUU-XIII/2015 yang menguji pasal-pasal dalam UU nomor 39 tahun 2014. Dimana putusannya mengharuskan perusahaan perkebunan (kelapa sawit) memiliki IUP dan juga HGU.

Hal tersebut dipertegas oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, pada Forum Koordinasi Pembangunan Wilayah Berbasis Tata Ruang Pulau Sulawesi Tahun 2025 yang digelar di Kota Palu, pada bulan Juli kemarin.

Menurut Nusron, jika sebelumnya yang boleh menanam kelapa sawit itu harus punya IUP atau punya HGU, sekarang dengan adanya keputusan (regulasi) MK, maka perusahaan selain punya IUP dan juga punya HGU. 

Berdasarkan data Kementerian ATR, dari tahun 2016 hingga Oktober 2024, tercatat ada 537 perusahaan kelapa sawit yang memiliki IUP tapi tidak memiliki HGU. Ini yang hendak ditertibkan, jumlahnya seluas 2,5 juta hektar.

Penegasan Menteri ATR terhadap perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki HGU, relevan dengan yang dituntut oleh masyarakat (Tolitoli). Yakni terhadap perusahaan yang hanya bermodalkan IUP dan izin lokasi yang diberikan pemerintah.

HGU sendiri dalam pasal 28 UU no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah, hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

Sedangkan dalam pasal 29.menyebutkan, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Adapun untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama, dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun.

Mengawasi Tata Kelola Kelapa Sawit

Soal keberadaan perusahaan kelapa sawit di wilayah Sulteng yang tidak memiliki HGU, sudah disampaikan oleh Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (KPA) Sulteng, lewat akun media sosialnya. Yakni dua perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Tolitoli. 

Selain itu ada juga perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki hak atas tanah berupa HGU. Namun hanya mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) sebagai pengganti izin lokasi. 

Yakni satu perusahaan yang berlokasi di Kabupaten Morowali Utara. Terhadap hal itu, Gubernur Sulteng sudah mengeluarkan surat rekomendasi nomor 500.17.4/305/Ro.Hukum tanggal 14 Juli 2025 kepada Bupati Morowali Utara. Perihal penghentian sementara operasional perusahaan.

Surat rekomendasi dibuat mengingat pemberian izin usaha perkebunan (IUP) untuk wilayah dalam satu Kabupaten, dilakukan oleh Bupati sebagaimana pasal 48 UU tentang Perkebunan. Adapun untuk wilayah lintas Kabupaten/Kota, IUP diberikan oleh Gubernur.

Langkah Pemprov Sulteng lewat Satgas KPA dalam menangani kepastian lahan sawit tersebut, sejalan dengan kebijakan Kementerian ATR untuk menertibkan keberadaan perusahan kelapa sawit yang beroperasi tanpa kepemilikan HGU.

Mengingat operasional perusahaan yang tidak memiliki HGU rentan terjadi konflik agraria dengan masyarakat (petani) setempat yang berlarut-larut. Seperti kasus lima desa di Tolitoli yang akhirnya dilakukan langkah mediasi oleh Satgas KPA Sulteng..

Konflik agraria ini hampir terjadi di Kabupaten di Sulteng yang memiliki perusahaan kelapa sawit. Hal tersebut seiring dampak kerusakan lingkungan seperti deforestasi dan pencemaran akibat limbah pabrik. Termasuk kerusakan sarana jalan yang dilalui kendaraan perusahaan.

Padahal dalam UU Perkebunan pasal 67 telah mengamanatkan pada perusahaan perkebunan wajib memelihara kelestarian lingkungan. Serta membuat analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Selain itu dalam pasal 45 menyebutkan, perusahaan perkebunan (kelapa sawit) untuk bisa mendapatkan IUP, harus memenuhi persyaratan izin lingkungan, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah serta kesesuaian dengan rencana perkebunan..

Bukan itu saja, perusahaan perkebunan diharuskan melakukan kemitraan usaha perkebunan yang saling menguntungkan serta saling memperkuat dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. guna pemberdayaan usaha perkebunan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 57 UU perkebunan.

Selanjutnya dalam pasal 58 menyebutkan, perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan untuk budidaya wajib memfasilitasi kebun masyarakat sekitar, paling rendah seluas 20 perser dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

  • Intinya UU Perkebunan sejatinya sudah mengamanatkan agar tata kelola perkebunan oleh perusahaan pemegang IUP, untuk turut memberdayakan masyarakat sekitar. meminimalisir potensi kerusakan lingkungan serta potensi konflik agraria.

Namun jika dalam realitasnya perusahaan kelapa sawit justru menghadirkan problematika di daerah, termasuk tidak memiliki HGU, maka langkah penertiban oleh Kepala Daerah hingga Kementerian terkait, merupakan keniscayaan.

Karena apa gunanya capaian investasi hilirisasi kelapa sawit yang tinggi, namun tidak dibarengi dengan upaya mengatasi kompleksitas problematika yang ada di daerah.

Ini menjadi tantangan bersama lintas pemerintahan, untuk mengawasi tata kelola perkebunan kelapa sawit dilaksanakan sesuai dengan regulasi. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun