Lima tahun berlaku, Undang-Undang (UU) nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), kembali direvisi dan telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 18 Februari 2025, menjadi UU Minerba yang baru.
Setelah tahapan pengesahan oleh DPR RI, UU Minerba baru kini berada di ranah Kementerian Hukum (Kemenhum) RI, untuk tahapan pengundangan. Guna penempatan UU dalam Lembaran Negara RI atau media publikasi lainnya.
Tahapan pengundangan bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas, bahwa UU Minerba yang baru tersebut, telah ditetapkan dan berlaku.
Saat tahapan pembahasan di Parlemen, DPR lewat Komisi VII mengusulkan perubahan sebanyak 14 pasal. Adapun Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM, membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) sebanyak 256 DIM.
Dalam pembahasan yang lebih terperinci, terdapat kesepakatan menyempurnakan UU Minerba dengan hasil mengubah 20 pasal dan penambahan 8 pasal baru.
Dengan keberadaan UU Minerba yang sudah disahkan, maka tata kelola minerba di tanah air oleh stakeholder terkait, menggunakan UU tersebut sejak tanggal diundangkan.Â
Seperti biasa pro kontra mencuat di ruang publik pasca adanya pengesahan UU Minerba baru. Namun patut untuk menakar, apakah aspek keseimbangan ekonomi dan lingkungan, sudah menjadi esensi dalam revisi UU Minerba?
Mengingat Kementerian ESDM usai pengesahan di DPR mengklaim bahwa, keberadaan UU Minerba yang baru dilandaskan pada amanat pasal 33 UUD 1945.
Bahwa seluruh kekayaan negara, baik di darat, laut, maupun udara, harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Indikatornya berupa revisi pasal-pasal yang berorientasi pada keadilan ekonomi, memperbaiki regulasi sektor pertambangan, dan meningkatkan kepastian hukum. Serta mendorong pengelolaan sumber daya minerba yang berkelanjutan.