Pengelolaan tambang emas di lingkar Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, menghadirkan ragam problematika yang mencuat di ruang publik.
Adapun problematika tersebut meliputi aspek pelaksanaan regulasi, desakan kebutuhan ekonomi, terhentinya penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR), hingga dampak degradasi lingkungan yang ditimbulkan.
Problematika tersebut tertuju kepada PT Citra Palu Minerals(CPM), selaku pemegang kontrak karya (KK) sekaligus pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) di lingkar Poboya.
Perusahaan tersebut menjadi sasaran, dari adanya tuntutan dari aksi damai elemen masyarakat di Kota Palu beberapa hari lalu. Baik menyangkut aspek regulasi, kepentingan ekonomi maupun degradasi lingkungan.
Keharusan Pelaksanaan Regulasi
Sebagai pemegang IUP, PT CPM diharuskan melakukan pelaksanaan regulasi dalam pengelolaan tambang emas di lingkar Poboya. Jika perusahaan ingin tetap eksis, melakukan eksploitasi pertambangan.
Pelaksanaan regulasi yang harus dilakukan adalah menghindari pengelolaan emas dengan metode perendaman yang sebelumnya dikelola oleh PT Adijaya Karya Makmur (AKM), selaku kontraktor jasa tambang dari PT CPM.
Pelaksanaan regulasi oleh pihak PT CPM merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Sebagai pedoman yang wajib dipatuhi selaku pemegang IUP.
Seperti dalam pasal 96 yang menyebutkan, dalam kaidah teknik pertambangan yang baik pemegang IUP atau IUPK wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan. Termasuk upaya konservasi minerba.
Kemudian dalam pasal 125 menyebutkan dalam hal pemegang IUP atau IUPK yang menggunakan jasa pertambangan, maka tanggungjawab usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP dan IUPK.
Maka penyesuaian terhadap kontrak PT AKM oleh PT CPM, merupakan bentuk pelaksanaan regulasi UU, dalam pengelolaan tambang emas di lingkar Poboya.
Mengingat selaku pemegang IUP, PT CPM harus taat pada regulasi. Konsekuensi dari adanya pelanggaran, maka pemilik IUP lah yang harus bertanggungjawab sebagaimana dalam pasal 125 UU Minerba.
Desakan Kebutuhan Ekonomi
Saat dikelola oleh PT AKM, Â perusahaan melibatkan banyak tenaga kerja, dari sekitar lingkar tambang Poboya. Geliat ekonomi lingkar tambang berupa pendapatan financial pun terjadi.
Geliat ekonomi bukan hanya dirasakan oleh tenaga kerja, lewat peningkatan kesejahteraan. Namun juga oleh masyarakat sekitar, lewat penyaluran dana CSR.
Kini pengelolaan berhenti, sehingga banyak tenaga kerja dirumahkan. Â Tidak ada lagi pemasukan financial, karena aktivitas penambangan (perendaman) terhenti. Begitupun penyaluran dana CSR ikut terhenti.
Walau dituding aktivitasnya bertentangan dengan regulasi, namun di sisi lain PT AKM dinilai telah melaksanakan amanat UU Minerba. Terkait pertambangan minerba yang memiliki peran penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak.
Serta mengalokasikan dana untuk pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam pasal 108 UU Minerba. Kewajiban atas program tersebut, harusnya menjadi tanggungjawab PT CPM selaku pemegang IUP.
Soal adanya kontribusi PT AKM, diakui oleh pengurus Forum LPM Mantikulore Ikhlas SH. Dmana perusahaan tersebut menurutnya, tidak hanya membuka lapangan pekerjaan bagi warga lokal. Tetapi juga berkontribusi terhadap masyarakat sekitar, lewat penyaluran dana CSR.
Adanya tuntutan agar PT CPM mengembalikan format awal kerjasama dengan PT AKM, merupakan klimaks dari desakan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat lingkar tambang. Dimana selama ini menggantungkan ekonomi dari aktivitas tersebut.
Adanya tuntunan mengelola perendaman emas, menjadi dilematis bagi PT CPM dalam memenuhi tuntutan tersebut. Bahkan kemungkinan besar sulit untuk dipenuhi. Mengingat regulasi yang harus ditaati.
Kini solusi mengatasi desakan ekonomi, diharapkan lewat political will PT CPM. Yakni dapat melepas sebagian konsesi (lahan) nya bagi masyarakat lingkar tambang. Guna mengelola tambang dengan skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Skema IPR ini menjadi alternatif jika desakan pengembalian kontrak awal  PT AKM kepada PT CPM mengalami jalan buntu. Mengingat banyak pekerja yang harus bekerja kembali, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Terkait skema IPR tersebut, diakui oleh pengurus Forum LPM Mantikulore Ikhlas SH. Dimana menurutnya, sudah ada ancang-ancang untuk membicarakan solusi tersebut dengan pihak PT CPM.
"Dari puluhan ribu hektar konsesi kontrak karya PT CPM di lingkar Poboya, kami tidak minta banyak lahan yang dilepas. Cukup luasan WPR yang disyaratkan dalam UU Minerba untuk kepentingan IPR," ujarnya.
Dalam UU tentang Minerba menyebutkan IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Sementara wilayah pertambangan rakyat (WPR) adalah bagian dari wilayah pertambangan (WP), tempat dilakukan usaha kegiatan pertambangan rakyat. Dimana dalam pasal 22 UU tentang minerba menyebutkan, luas maksimal WPR adalah 100 hektar.
Adapun dalam pasal 67 menyebutkan, IPR diberikan oleh Menteri kepada: orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat;. Serta koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat.
Karena itu untuk memperoleh IPR, pemohon baik perorangan atau koperasi harus menyampaikan permohonan kepada Menteri. Kembali ke warga lingkar Poboya, ingin bermohon secara perseorangan atau koperasi.
Pada pasal 68 ayat 1 menyebutkan, luas wilayah untuk 1 IPR yang dapat diberikan kepada: orang perseorangan paling luas 5 Â hektar. Serta untuk koperasi paling luas 1O hektar.
Sementara untuk ayat 2 menyebutkan, IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.
Adapun dalam Peraturan Pemerintah (Permen) no 25 tahun 2024 menyebutkan, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perseorangan atau koperasi.
Salah satunya surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan perundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan, serta keselamatan pertambangan.
Peluang untuk mendapat kemudahan IPR semakin terbuka dengan keberadaan regulasi Peraturan Presiden (Perpres) No 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Minerba.
Pendelegasian dimaksud adalah penyerahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, kepada pemerintah daerah (provinsi). Dalam rangka pemberian perizinan berusaha di bidang pertambangan minerba.
Dalam pasal 2 ayat 1 Perpres menyebutkan, Â pendelegasian dimaksud meliputi: pemberian: sertifikat standar dan izin. Terkait pemberian izin sebagaimana dimaksud salah satunya adalah IPR.
Adapun pada pasal 4 menyebutkan, Pemda dalam pemberian perizinan berusaha yang didelegasikan secara efektif dan efisien sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dengan adanya pendelegasian tersebut, maka jalan untuk mendapatkan IPR tergantung pada proses yang dilakukan. Selain itu adanya political will dari PT CPM selaku pemilik lahan, serta Pemda selaku yang mendapat mandat pendelegasian.
Pengawasan Degradasi Lingkungan
Adanya tuntutan pemberhentian aktivitas pertambangan emas di lingkar Poboya, yang berdampak pada degradasi lingkungan, merupakan salah satu problematika yang harus diakomodir.
Seperti diketahui lokasi eksploitasi tambang emas PT CPM berada di pegunungan Poboya. Harus melalui jalan menanjak, jika hendak menuju ke lokasi tambang.
Dampak degradasi lingkungan ditenggarai berupa pencemaran sumber mata air di sekitar tambang. Kerusakan ekosistem sungai Pondo Poboya, serta resiko terjadinya tanah longsor akibat aktivitas penambangan.
Ada baiknya untuk merespon isu degradasi lingkungan tersebut, perlu keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki tanggungjawab dalam melakukan pengawasan.
Tanggungjawab tersebut Sebagaimana amanat Peraturan Presiden (Perpres) no 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Minerba.
Dimana menyebutkan, pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh pemerintah daerah atas kaidah teknik pertambangan yang baik dan tata kelola pengusahaan pertambangan.
Tentu yang perlu diawasi selain kondisi di lapangan, juga terhadap kewajiban memenuhi persyaratan lingkungan bagi badan usaha (perusahaan). Dalam hal ini PT CPM yang melakukan usaha pertambangan, sebagaimana pada. pasal 66 UU Minerba.
Serta pengawasan terhadap Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan perusahaan pemegang IUP. Terkait laporan terhadap jaminan kelestarian alam dan lingkungan.
Kewajiban memiliki RKAB diatur dalam Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2020 pasal 62. Dimana menyebutkan, pemegang IUP atau IUPK wajib menyusun dan menyampaikan RKAB tahunan, kepada Menteri atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Lewat pengawasan tersebut, maka bukan hanya soal kepentingan ekonomi yang hendak dikedepankan. Namun apakah kaidah dan persyaratan lingkungan dalam regulasi, sudah terpenuhi dan dijalankan oleh pihak perusahaan.
PT CPM selaku pemegang IUP harus bisa terbuka dalam pengawasan tersebut. Demikian pula dengan PT AKM, selaku kontraktor jasa tambang yang telah turut melakukan eksploitasi tambang emas di lingkar Poboya.
Yang perlu dihindari jangan demi mengutamakan kepentingan ekonomi, ternyata ada tanggungjawab pemenuhan persyaratan yang terabaikan. Salah satunya aspek jaminan kelestarian alam dan lingkungan.
Perlu diingat Pemerintah lewat Menteri ESDM berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang izin, atas pelanggaran terhadap ketentuan aturan yang berlaku.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 151 UU Minerba. Dimana sanksi administratif tersebut salah satunya berupa pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.
Mengingat Menteri bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP. Â Sebagaimana pasal 139 dan 140 UU Minerba.
Pada akhirnya dalam pengelolaan tambang emas, pemenuhan kepentingan ekonomi penting. Namun lebih penting lagi penegakan regulasi, sebagai pedoman menjaga keberlangsungan peradaban hidup manusia.
Jangan sampai aspek ekonomi mendegradasi kelestarian lingkungan. Karena bagaimanapun  juga masalah lingkungan bersentuhan dengan kemaslahatan orang banyak.
Itulah sebabnya dalam regulasi pertambangan, aspek kelestarian lingkungan harus dipenuhi oleh pemegang IUP. Karena salah satu kaidah yang masuk dalam pengawasan Pemerintah.
Keterlibatan Pemerintah Daerah
Keterlibatan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengurai problematika pengelolaan tambang emas di lingkar Poboya Kecamatan Mantikulore Kota Palu, adalah sebuah keniscayaan.
Baik dalam aspek penegakan regulasi, kepentingan ekonomi hingga degradasi lingkungan. Dukungan regulasi yang ada, member kewenangan bagi Pemda untuk bertindak dan terlibat dalam mengatasi problematika tersebut.
Dalam UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah misalnya, menyebutkan Kepala daerah mempunyai tugas: memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, sebagaimana pasal 65 ayat 1.
Seperti diketahui, problematika pertambangan yang tidak tertangani baik, berpotensi menimbulkan konflik kamtibmas. Terutama adanya perbedaaan kepentingan. Baik antara sesama elemen masyarakat, maupun antara masyarakat dan perusahaan (pemilik IUP).
Kemudian dalam pasal 71 UU Â no 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, memberi kewenangan kepada Gubernur, atau Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan kegiatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Juga dalam Peraturan Presiden (Perpres) no 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Minerba. Dimana mengamanatkan, pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Pemda.
Adapun pengawasan dimaksud meliputi kaidah teknik pertambangan yang baik dan tata kelola pengusahaan pertambangan. Sebagaimana disebutkan dalam Perpres.
Dengan berbagai regulasi yang memberi kewenangan kepada Pemda (kepala daerah), maka tugas mengurai problematika menjadi keharusan. Terlebih adanya tuntutan yang disampaikan langsung ke Pemprov Sulteng.
Salah satu peran yang bisa dilakukan olehPemda lewat OPD terkait adalah, melaksanakan manajemen pelayanan publik. Meliputi pengelolaan pengaduan masyarakat, sebagaimana dalam pasal 345 UU Pemerintahan Daerah.
Dalam melaksanakan manajemen pelayanan publik sebagaimana dimaksud. Pemda dapat membentuk forum komunikasi antara Pemda dengan masyarakat, serta pemangku kepentingan terkait.
Tentu forum komunikasi tersebut bertujuan untuk menginventarisasi masalah, sekaligus mencari solusi atas problematika yang mencuat. Selanjutnya ditracking oleh Pemda dan dikoordinasikan ke Pemerintah Pusat.
 Beberapa aspek yang  bisa diinventarisir diantaranya, kewajiban pemegang IUP (PT CPM) dalam menyediakan dan menempatkan dana jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 100 UU tentang Minerba.
Selanjutnya soal pemanfaatan tenaga kerja lokal yang harus dipenuhi oleh pemegang IUP (pasal 106). Adanya penyusunan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (pasal 108). Serta kewajiban membayar pendapatan negara dan daerah (pasal 128).
Inventarisasi materi ini penting, agar Pemda memiliki solusi terhadap urgensi problematika yang harus diatasi. Serta memiliki kevalidan data dan informasi, dalam mengimbangi adanya informasi yang bersifat resisten di ruang publik.
Selain itu inventarisasi materi yang sudah ditracking dapat dipilah, mana menjadi kewenangan Pemda untuk ditangani. Serta mana menjadi kewenangan Pemerintah Pusat untuk diputuskan.
Dengan demikian Pemda turut serta menjadi garda terdepan dalam berperan mewujudkan keseimbangan aspek ekonomi dan lingkungan. Dalam pengelolaan pertambangan emas di lingkar Poboya, sesuai aturan perundang-undangan.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI