Disaat narasi besar bangsa ini atas kesiapan tuan rumah yang sudah didepan mata, kemudian muncul kontra narasi soal penolakan Israel oleh berbagai Ormas dan kalangan lainnya, jelas menggerus kesiapan tersebut.
Jika kemudian Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jateng yang menjadi salah satu venue pertandingan, ikut serta di dalam pusaran kontra narasi, publik tentu kecewa berat. Apalagi penolakan tersebut dianggap sebagai bahan pertimbangan FIFA membatalkan tuan rumah Indonesia.
Jika ada pertanyaan mengapa harus Ganjar Pranowo dan Wayan Koster yang harus menuai bullying bukan Ormas lainnya yang getol melakukan penolakan, itu karena tidak lepas dari keberadaan mereka sebagai Kepala Daerah tempat venue pertandingan dilakukan.
Dimana seharusnya Ganjar tetap on the track bersama Presiden Jokowi dan PSSI mengawal narasi kesiapan tuan rumah, ditengah adanya pusaran kontra narasi penolakan Israel. Bukan sebaliknya turut melebur bersama Ormas lain membangun kontra narasi yang menimbulkan kegaduhan di ruang publik.
Entah apakah keterlibatan Ganjar dalam pusaran kontra narasi, karena inisiatif sendiri atau karena pembisik yang berperan sebagai konsultan politiknya? yang jelas ini adalah bentuk kekeliruan seorang Ganjar yang juga adalah seorang komunikator politik.
Karena dalam berbagai literasi terkait komunikasi politik, tugas seorang komunikator politik adalah membangun citra positif lewat dimensi pesan politik di ruang publik. Bukan sebaliknya membangun citra negatif yang bisa meresistensi dan menggerus kapasitas diri terlebih bangsa di mata dunia.
Apalagi dalam momentum Indonesia selaku tuan rumah, sebagai seorang Gubernur yang menyampaikan penolakan menjelang gawean, jelas memberi pesan negatif kepada FIFA. Juga kepada masyarakat yang berharap event Piala Dunia jadi digelar.
Sebagai seorang bakal calon Presiden dengan elektabilitas tertinggi, keikutsertaan Ganjar dalam pusaran kontra narasi adalah sebuah kesalahan fatal. Alam sadar publik tetap akan sulit menerima, bahwa apa yang dilakukan Ganjar demi mengawal konstitusi negara.
Demikian juga dengan alasan bahwa Ganjar rela merosot elektoral politiknya demi konstitusi negara, juga bukan sebuah pembenaran. Karena bagi seorang yang akan mengikuti kontestasi politik apalagi sekelas Pilpres, sudah tahu pasti manuver politik seperti apa yang bisa menjadi blunder. Â
Dengan secara sadar masuk dalam pusaran kontra narasi, Ganjar harus menerima konsekuensi dicerca oleh publik tanah air. Ganjar bukan lagi dilihat sebagai Patriot bangsa atas komitmennya mengawal konstitusi.