Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Narasi Antagonistik dan Ketidakpantasan Berkomunikasi Elit Politik

10 Maret 2021   11:32 Diperbarui: 10 Maret 2021   13:23 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi


Pernyataan Bupati Lebak dalam kapasitas elit Parpol, Iti Octavia Jayabaya yang akan mengirim santet kepada Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, adalah bentuk narasi antagonistik di ruang publik.

Mengapa antagonistik, karena narasi yang dibangun bertujuan untuk mendegradasi dan mensegregasi keberadaan Moeldoko. Narasi santet bagi publik, adalah sesuatu yang berkaitan dengan horor. Melakukan santet adalah sebuah perbuatan yang tidak mendapat empati dan simpati di jaman modernitas sekarang ini.

Walaupun sudah melakukan klarifikasi, bahwa pernyataan akan mengirim santet hanya sebagai bentuk emosional semata, namun tetap saja tidak dapat diterima dengan nalar sehat. Dan terlanjur disesalkan publik. Apalagi dilontarkan oleh elit politik yang juga kepala daerah, dimana seharusnya membangun narasi agonistik di ruang publik.

Narasi agonistik adalah narasi yang berkaitan dengan program, gagasan dan peradaban kemasyalahatan kehidupan banyak orang. Sangat bertolak belakang alias kontradiksi dengan narasi antagonistik yang meresistensi, serta mendegradasi pihak lain di ruang publik.

Beberapa waktu yang lalu salah seorang Bupati di Provinsi saya berdomisili  juga pernah melontarkan ancaman akan melakukan doti (Santet) kepada seorang anggota DPRD. Kasus ini akhirnya berproses hukum dan menyita perhatian publik  yang menyayangkan adanya kasus santet tersebut.

Jika sadar akan kapasitasnya sebagai elit politik, Iti Octavia juga seharusnya sadar, bahwa dirinya berperan sebagai komunikator politik. Sebagai komunikator politik, maka pesan politik yang terbangun di ruang publik adalah terkait citra positif. Citra positif tersebut baik dalam kapasitas sebagai kepala daerah, maupun partai politik tempatnya bernaung.

Dalam berbagai literasi yang ada, tidak ditemukan referensi yang menyebutkan bahwa pesan dari komunikasi politik adalah membangun citra negatif. Selalu yang disebutkan yakni membangun citra positif partai.

Sebut saja dalam buku Komunikasi Politik Soekarno atau Komunikasi Politik Pada Era Multimedia, didalamnya menyebutkan pesan dari komunikasi politik adalah membangun citra positif partai. Baik dalam dimensi pesan nilai, simbolik maupun struktural.

Entahlah apakah sang Bupati yang lalai dengan literasi, atau karena belum sempat memahami peran sebagai komunikator politik yang menghadirkan dimensi pesan nilai. Namun yang jelas narasi antagonistik yang dilontarkannya terlanjur membangun citra negatif di ruang publik.

Jika saja sang Bupati memahami peran sebagai komunikator politik yang baik, maka akan menempatkan diri sebagai elit politik yang tercerahkan. Sehingga dalam merespon dinamika internal partai maupun keriuhan politik, akan tetap on the track dalam membangun narasi yang agonistik bukan antagonistik.

Narasi agonistik yang dibangun tentu saja bersifat kritis namun elegan. Bukan mendegradasi lewat narasi santet yang menimbulkan rasa tidak empati publik terhadap elit politik. Sebuah narasi yang rasanya tidak pantas dilontarkan oleh seorang Kepala Daerah yang tutur kata dan tindakannya, menjadi teladan bagi orang banyak.

Benar bahwa seorang elit politik tidak bisa terhindar dari yang namanya  trik dan intrik politik. Sehingga terkadang dalam merespon dinamika internal partai, perlu dibangun intrik politik lewat narasi yang mensegregasi rival politik.

Namun sangat disayangkan jika seorang kepala daerah harus turun langsung  melakukan intrik lewat narasi antagonistik yang tidak mendapat simpati publik. Jika tidak sependapat dengan tindakan Moeldoko yang dianggap mengkudeta kepemimpinan Partainya, harus pula direspon secara elegan serta dengan cara politik yang mumpuni.

Publik terlanjur tersentak terhadap cara sang Bupati Iti Octavia merespon keriuhan politik dengan mengesampingkan nalar sehat. Namun ini menjadi titik balik untuk mengingat bahwa elit politik apalagi sebagai seorang kepala daerah, terikat dengan yang namanya etika politik.

Dalam buku Komunikasi Politik Pada Era Multimedia menyebutkan, etika politik merupakan kristalisas dari nalar (Logika) politik warga bangsa itu sendiri. Adapun politikus adalah kumpulan negarawan yang dengan kearifan dan kebijakannya mampu melahirkan gagasan luhur yang memberi pencerahan kepada masyarakat.

Disatu sisi para elit politik yang juga sebagai komunikator politik dan juga negarawan,  harus mengedepankan etika dalam komunikasi. Ini sebuah keharusan karena ada tanggungjawab edukasi dan keteladanan didalamnya. 

Karena keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat akan terbangun jika para elit politik melakukan proses interaksi dan komunikasi secara beretika.
 
Filsuf Aristoteles dalam Nichomachean Ethics mengatakan, politik adalah sesuatu yang indah dan terhormat. Sedang Filsuf Plato dalam bukunya Republic mengatakan, politik itu agung dan mulia.

Sudah saatnya para elit politik merenungi petuah para filsuf tersebut. Karena keriuhan politik di tanah air rasanya sudah tidak indah dan terhormat. Apalagi Ini masih dalam situasi pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun