Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemindahan Ibu Kota bagi Sulteng, Ancaman atau Peluang

2 September 2019   12:09 Diperbarui: 2 September 2019   15:51 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Daerah penyangga untuk ibu kota baru dengan Selat Makasar ditengahnya, akan menjadi pusatnya Indonesia. Baik perkonomian, pembangunan kota dan kebudayaan."

Pernyataan diatas disampaikan Jehansyah Siregar, selaku pakar arsitektur perkotaan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam dialog di sebuah TV swasta beberapa waktu lalu  Menarik mencermati pernyataan sang pakar, tentang daerah penyangga dengan selat Makassar ditengahnya.

 Sudah tentu yang dimaksud adalah, daerah daerah yang berhadapan langsung dengan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang dipisahkan dengan Selat Makassar. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang memang berbatasan langsung dengan Kaltim.

Pemindahan ibukota sendiri sebagaimana yang disampaikan Presiden akan dimulai tahun 2020, dimana membutuhkan anggaran sebesar Rp 466 triliun. Dengan skema pembiayaan yakni dari APBN sebesar 19 persen, dan sisanya akan diambil dari  Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) serta investasi Swasta maupun BUMN. 

Anggaran tersebut nantinya akan digunakan untuk pembiayaan infrastruktur dasar yang akan dibangun di ibu Kota baru, seperti jalan, drainase waduk dan lain lain. Untuk alokasi dana sendiri menurut Menteri PPN/Kepala Bapennas Bambang Brojdonegoro dalam dialam dialog tersebut, sudah ada pencadangan dana untuk tahun anggaran 2020 yang masuk di sejumlah Kementerian, terutama Kementerian PUPR.  

Sebagai Provinsi yang berhadapan langsung dengan Kaltim, sudah pasti  akan memberi dampak buat daerah Sulteng. Sebagaimana dikatakan Jehansyah Siregar, bahwa daerah penyanggah dengan Selat Makassar ditengahnya akan menjadi pusat Indonesia dari beberapa aspek. Jelas akan muncul berbagai pendapat, bagaimana Sulteng harus memainkan peran geopolitik dan geostrateginya dalam menyikapi dan merespon geliat pemindahan ibu kota baru. Karena jika tidak cerdas memangkap peluang, maka Provinsi lainlah yang akan mengolah peluang strategis tersebut.

Ahmad HM bersama Presiden Jokowi. Doc Ahmad Ali
Ahmad HM bersama Presiden Jokowi. Doc Ahmad Ali
Beberapa pandangan sudah disampaikan oleh stakeholder di Sulteng. Salah satunya datang dari Anggota DPR RI Ahmad HM Ali.  Menurutnya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan akan membuat peran Sulteng menjadi sentra strategis dalam pemenuhan logistik dan pangan. Karena itu, Sulteng harus mempersiapkan infrastuktur transportasi cepat dan representatif. 

 "Letak Sulteng menjadi sangat strategis karena merupakan jalur terdekat dalam rantai pasok berbagai kebutuhan logistik di Pulau Kalimantan. Ini kesempatan bagi Sulteng untuk menangkap peluang tersebut dengan melakukan pembenahan khususnya pada sarana dan sarana penunjang," ujar Ahmad Ali dalam perbincangan beberapa waktu lalu.

Dalam konsepsi seorang Ahmad Ali, pemindahan ibukota adalah momentum bagi daerah penyangga untuk turut berkembang, sehingga ia sependapat jika daerah penyangga kelak akan menjadi pusat Indonesia baik dari segi ekonomi, pembangunan dan kebudayaan. Karena itu Sulteng harus cermat memainkan peran geopolitiknya. 

"Saya yakin daerah penyangga akan mendapat manfaat tinggal bagaimana pemimpin kedepan punya framing yang tepat. Seperti apa Sulteng harus mengambil peluang dalam pemindahan ibukota tersebut," ungkap Ahmad Ali yang akan maju sebagai calon Gubernur Sulteng pada pilkada 2020.

Hasanuddin Atjo menjadi pemateri dalam dialog interaktif. Doc Job Runtukahu
Hasanuddin Atjo menjadi pemateri dalam dialog interaktif. Doc Job Runtukahu
Pandangan yang sama juga disampaikan Kepala Bappeda Sulteng, Hasanuddin Atjo dalam sebuah dialog interaktif bersama multi stakeholder di Palu belum lama ini. Menurutnya, pemindahan  ibu kota negara akan memberi manfaat besar bagi Provinsi Sulteng yang ditakdirkan berhadapan langsung dengan daerah Kaltim. 

Dimana Sulteng kelak akan menjadi jembatan penghubung antara ibu kota negara yang baru dengan Wilayah Timur Indonesia, Serta dapat menjadi penghubung antara Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) wilayah II yang meliputi laut Sulawesi, Selat Makassar, laut flores dan selat lombok dengan wilayah III yang meliputi Samudra Pasifik, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu dan Samudera Hindia.


Hasanuddin Atjo menilai, pemindahan ibu kota negara untuk mengatasi masalah disparitas antar wilayah lain di Indonesia. Disatu sisi akan turut mendongkrak kemajuan di daerah penyanggah termasuk Sulteng. Menurutnya, Sulteng sebagai jembatan bagi Kawasan Timur Indonesia, harus dapat menjadi pemasok dan pemenuhan kebutuhan. Seperti bahan makanan pokok, energi pracetak, industri metal, industri minyak, dan logistik. "Yang jelas pemindahan ibu kota akan berdampak pada terbangunnya pusat-pusat pertumbuhan baru termasuk beberapa daerah di Sulteng," tuturnya.


Namun nada skeptis juga datang dari sejumlah pihak, dimana melihat dampak ancaman  terhadap lingkungan cukup besar jika pembangunan sudah berproses di ibu kota baru. Pasalnya, selama ini Sulteng termasuk daerah yang menyuplai bahan galian C yakni sirtu ke daerah Kalimantan untuk pembanguan infrastruktur. Ditenggarai kebutuhan material galian C akan lebih besar dan eksploitasi akan semakin tidak terkendali, khususnya di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan.


Ancaman lain adalah, sebagaimana pengalaman Jakarta sebagai ibukota menjadi magnet tersendiri, bagi pencari kerja berbondong bondong datang untuk mendapat pekerjaan   dan meninggalkan daerahnya. Dipastikan tidak sedikit warga Sulteng yang akan merantau mencari peruntungan di ibu kota baru, padahal tenaga dan sumber dayanya diperlukan untuk membangun daerah. 

Dikuatirkan akan terjadi distorsi peradaban, warga yang terbiasa hidup dalam kearifan lokal akan berubah menjadi pragmatis, karena magnet pembangunan yang gradual.  

Pembahasan RPJMN 2020-2024 di Manado. Doc Hasanuddin Atjo
Pembahasan RPJMN 2020-2024 di Manado. Doc Hasanuddin Atjo
Namun narasi ancaman tersebut semua masih sebatas asumsi, karena realitasnya dalam pembangunan pasti ada ancaman dan juga peluang. Fakta juga Sudah memperlihatkan  bahwa kerusakan lingkungan juga sudah terjadi sebelum pemindahan ibukota. 

Makanya Pemerintah daerah yang kredibel, pasti akan mempertimbangkan baik buruknya dampak sebuah pembangunan dari sebuah pemindahan ibu kota.
Pemerintah juga juga punya kajian dalam sebuah analis SWOT yakni metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) sebagai solusi. 

Yang menjadi persoalan jangan sampai Sulteng terkesan 'gagap' dalam merespon lompatan Visi Indonesia Jokowi, termasuk soal pemindahan ibu kota yang sudah tidak bisa ditawar lagi.

Kita salut dengan sosok Hasanuddin Atjo yang punya visi cemerlang dalam merespon wacana pemindahan ibu kota. Visinya tentang peran Sulteng sebagai jembatan penghubung dengan membangun jalan tol Tambu Kasimbar sepanjang 28 kilometer, adalah visi cerdas. Dimana jal tol tersebut nantinya akan dilalui oleh sejumlah alat transportasi darat yang dimuat oleh kapal fery dari ibukota Negara atau wilayah lain. 

Visi ini sudah disampaikannya dalam forum penyusunan RPJMN 2020-2024 di Manado. Tidak menutup kemungkinan, kelak akan dieksekusi oleh Jokowi  Jika dianggap strategis dalam menunjang kemajuan daerah Sulteng dan memberi dampak pada pembangunan ibu kota baru.

Kita juga mengapresiasi seorang Wakil Rakyat seperti Ahmad HM Ali yang punya framing bagaimana Sulteng harus merespon pemindahan ibu kota. Figur yang punya konsepsi, seperti apa Sulteng harus berbuat dalam konteks geopolitik Sulawesi. 

Narasinya bahwa sebagai daerah terdekat dan penyalur logistik, Sulteng harus membangun infra struktur yang cepat dan memadai, menggambarkan bahwa sosok Ahmad Ali bukan hanya memiliki visi, tapi juga aksi. Betullah kata adagium bahwa, visi tanpa aksi adalah sebuah lamunan.

Sebagai figur yang siap maju memimpin Provinsi Sulteng kedepan, maka dengan mengenal konsepsi politik dari seorang figur Ahmad Ali, kita tidak ragu jika kelak dirinya mendapat kesempatan memimpin Sulteng. Sebagai figur yang sudah berkiprah di pentas nasional, rasanya Ahmad Ali tahu betul bagaimana visi seorang Jokowi dan bagaimana daerah harus bersinergi dan membrackdown visi tersebut dalam tataran praksis. 

"Saya tidak takabur. Namun jika saya mendapat kepercayaan memimpin Sulteng, maka saya siap melakukan lompatan kemajuan daaerah. Saya siap melakukan gebrakan," tuturnya optimis.

Saya yakin masih banyak yang melihat sisi positif dan peluang yang bisa diraih daerah Sulteng dalam pemindahan ibu kota negara. Dan saya membayangkan jika orang orang yang punya visi cemerlang berkolaborasi, maka lompatan kemajuan bukan sekedar impian tapi sebuah realitas.

Jika Jokowi sudah melompat dengan Visi Indonesianya, bagaimana dengan Sulteng? Sudah siapkah kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun