Setengah jam sudah mereka duduk di trotoar Pantai Losari tanpa ada kata yang terucap. Entah, perbendaharaan kalimat yang telah disiapkan Ersa untuk mengakhiri hubungannya dengan Aldo sejak kemarin malam seperti raib begitu saja. Dia ingin, ingin sekali meyakinkan cowok berhidung bangir di sebelahnya ini bahwa hubungan yang kini mereka jalani secara diam-diam akan sangat melukai hati dan perasaan Suci.
Tapi, Aldo tidak merasa menyakiti hati Suci.
"Kamu takut, Sa?" Bahkan, pertanyaannya ringan tanpa beban.
Gadis berparas lancip itu hanya mengangguk. Dibiarkannya sepoi angin mempermainkan bilah-bilah rambutnya.
"Kenapa?" Nada kalimat Aldo sama sekali tidak menyiratkan gamang.
"Dia itu kakak saya," tegas Ersa dengan dada sesak.
"Memangnya kenapa kalau dia kakakmu? Apa dengan begitu kamu harus...."
"Kamu! Kamu seperti tidak punya perasaan, Aldo!" Ersa mengangkat muka. Menentang mata elang Aldo.
Aldo mengusap wajahnya.
"Mungkin, mungkin saya tidak punya perasaan," ujarnya sembari mengangguk-angguk getas, "tapi paling tidak, saya sudah jujur. Saya tidak membohongi hati saya, Sa. Kalau saya mencintaimu ketimbang Suci, itu memang tidak dapat saya pungkiri."
Ersa termakan kalimat polos Aldo. Di balik setiap patah kata cowok itu, dia menemukan ketulusan di sana. Dia sendiri tidak tahu harus menanggapi apa. Dan hanya terdiam dengan pikiran yang menerawang.