Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menikmati Keindahan Bromo, Ketika Letih Jadi Tak Berarti

23 September 2018   23:20 Diperbarui: 24 September 2018   18:13 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bromo | Foto: G. Manihuruk

Salah satu harapan yang saya tuliskan sebelum memasuki tahun 2018 adalah menjajaki kota Malang. Jika ditanya kenapa, sebenarnya saya sendiri pun tidak begitu yakin apa jawabannya.

Mungkin itu karena saya ingin mengenal lebih jauh kota yang kerap disebut pada makanan favorite saya dan ingin mencicipi langsung seperti apa bakso olahan asli Malang. Mungkin pula karena kecantikan Ibu Susi Susanti saat membawa dengan mantab obor Asian Games 2018 di gunung Bromo yang saya lihat di televisi, atau mungkin karena bisikan-bisikan traveller yang menurut saya (sebelumnya) sangat berlebihan mendeskripsikan keindahan Bromo pada dunia melalui coretan-coretannya.

Antara Penasaran dan Rasa Waswas

Saya bukan orang yang bisa menerima suhu dingin dengan mudah. Terkadang, bahkan AC di kantor saja berhasil membuat saya menggigil ngga karu-karuan sampai harus memastikan jaket terpasang sempurna, curi-curi memegang remote AC agar bisa meningkatkan suhu tanpa harus ijin terlebih dahulu pada orang lain, bahkan sesekali harus menerima sindiran yang mengatakan saya beraroma bayi karena harus memakai minyak kayu putih demi mendapatkan rasa hangat.

Saya sendiri tahu persis bahwa suhu di gunung Bromo hanya 8C. Ini saya ketahui dari siaran berita saat menyaksikan Ibu Susi Susanti membawa obor di sana beberapa bulan lalu sebelum perhelatan Asian Games 2018 dimulai. Namun, ada keinginan untuk tetap berada di sana meski harus mempertaruhkan kesehatan.

Ada rasa penasaran untuk menaklukkan takut dalam diri menghadapi cuaca dingin, namun di sisi lain, ada pula perasaan waswas bagaimana jika keputusan ini malah berakibat buruk pada kesehatan pribadi. Yang pertama mungkin bisa saya jawab dengan memaksakan diri untuk tetap berangkat ke kota ini. Yang kedua, karena taruhannya adalah nyawa, maka saya harus mempersiapkan perlengkapan apapun yang membuat kondisi yang saya khawatirkan tidak terjadi pada diri saya.


Tidak ada rasa takut apapun yang dapat menghalangi saya untuk mewujudkan keinginan ini. Maka, hari itu, sehari sebelum keberangkatan Kompasianer menuju lokasi ICD 2018, saya curi start berangkat ke Malang. Mewujudkan satu dari sekian harapan.

Disambut Sejuknya Malang

Usai melakukan perjalanan selama kurang lebih 17 jam dengan menggunakan kereta Matarmaja, kami tiba di stasiun Malang.

Bukan hal yang mudah untuk duduk di kursi yang sama yang hanya berukuran pas selebar bokong selama puluhan jam ketika di samping kiri, kanan serta di bagian depan ada penumpang lain yang harus dijaga perasaannya namun terkadang tak mengerti bahwa menjaga perasaan orang lain juga adalah suatu keharusan.

Seperti saat penumpang di bagian depan meluruskan kakinya ke bangku kita, namun tidak menerima mendapatkan hal yang sama. Atau saat penumpang dengan mudah melepas sepatu tanpa peduli aroma sepatunya yang begitu mengganggu hidung penumpang di sebelahnya. Ini lebih parah sih ya, ditegur takut malu, ngga ditegur kita yang ngga nyaman selama perjalanan.

Lupakan tentang ketidaknyamanan dalam perjalanan. Tidak peduli seberapa banyak tantangan yang ditemui, setiap perjalanan akan selalu menemukan episode terbaru.

Begitu menginjakkan kaki di stasiun Malang, hawa langsung berbeda. Yang terbiasa di ibu kota dengan suhu 28-31C spontan merasa lega. Tak ada lagi gerah, tak ada pula panas menyengat. Suhu udara di Malang benar-benar melegakan. Untuk sesaat, saya benar-benar setuju bahwa travelling sangat ampuh untuk meredakan beban pikiran.

Lega akan cuaca Malang yang menyambut maksud saya bukanlah dingin yang tak bersahabat. Bisa dikatakan sejuk. Tak perlu jaket yang super tebal untuk terhindar dari dingin, tak perlu pula baju tipis untuk mengurai gerah. Tak salah jika Malang masuk list kota yang harus dikunjungi demi menghilangkan penat dari setiap pekerjaan.

Menyapa Kuliner Malang yang Terkenal 

Melangkah meninggalkan stasiun Malang, menyebrang sedikit, kita akan disambut dengan Sentra Kuliner Sriwijaya. Wisatawan yang berkunjung ke Malang dengan menggunakan Kereta, bisa melepas letih dan lapar di sana.

Ada aneka makanan yang dapat menjadi pilihan. Makanan dapat pula dinikmati dengan cara lesehan, tak jauh dari sana, terdapat toilet umum yang dapat dimanfaatkan untuk sekedar cuci muka atau buang air dengan membayar biaya sebesar Rp 2.000 per orang setiap kali masuk.

Tetap jadi catatan, bahwa senikmat apapun makanan yang ditemukan di jalanan Malang, belum di Malang namanya kalau belum menikmati Bakso Malang yang diolah asli di Malang.

Maka, untuk mewujudkan sub harapan dari sebuah harapan ini, berdasarkan rekomendasi dari rekan-rekan travel blogger dan wisatawan lain yang telah lebih dahulu menginjakkan kaki di Malang, Bakso President Malang menjadi pilihan untuk melunasi rasa penasaran. Ulasan kenikmatan Bakso asli Malang dapat ditemukan di sini.

Bromo, Lukisan yang Tersambangi

Menjelang pergantian tahun, membolak balik kalender terbaru adalah tradisi yang tak pernah bisa terlewatkan. Buat saya, lukisan di dalamnya sangat menarik untuk dinikmati, yang kedua, memastikan tanggal merah ada di setiap bulannya. Hehee.

Urusan melihat-lihat lukisan di kalender, jika yang tersaji di sana adalah lukisan pemandangan, Bali, Bromo, dan Candi Borobudur adalah 3 gambar yang tak pernah bisa terlepaskan. Begitupun saat membeli frame. Pilihannya kalau buka foto artis ya foto pemandangan. Dan Bromo tak pernah ketinggalan.

Dulu sering terlintas, kenapa harus Bromo? Atau Borobudur? Atau Bali? Kenapa bukan tempat lain?

Lalu, kini pertayaan itu terjawab.

Berselang 5 jam dari pusat kota Malang, Bromo terbilang sulit untuk didatangi. Bagi mereka yang pertama kali seperti saya ini, ya rasanya cukup bikin kaget. Meski sudah memegang prediksi suhu di Bromo dari berita yang saya dapatkan, saya pikir hanya dengan mengenakan jaket tebal saja cukup. Ternyata tidak!

Semakin jauh perjalanan, semakin turun pula suhu sekitar yang artinya semakin dingin suhu yang diterima oleh tubuh.

Mengandalkan jeep bermuatan tujuh orang untuk menerobos jalanan menuju Bromo rupanya tak cukup untuk menghangatkan tubuh yang belum terbiasa dengan kondisi dingin tersebut. Beruntung, seperempat perjalanan, jeep berhenti bersamaan dengan jeep-jeep lainnya yang ternyata adalah transportasi paling tepat untuk digunakan menuju Bromo dan kami bertemu dengan warga sekitar yang menjajakan syal dan topi kupluk kepada pengunjung yang bersiap menuju puncak Bromo. Selamet.... selamet....

Semestinya menurut Pak Supir, tak perlu memakan waktu sampai 5 jam menuju Bromo dari lokasi keberangkatan kami. 3-4 jam biasanya cukup. Sayang, kali itu, jeep yang kami tumpangi bermasalah entah di bagian mananya sehingga perputaran roda terkesan lamban. Bahkan, masih menurut sang supir, adalah hal yang mustahil pengunjung yang akan naik ke Bromo bisa tertidur di jeep karena biasanya tubuh penumpang sibuk terguncang baik karena medan jalanan yang berlobang-lobang, juga karena jeep dikemudikan dengan kecepatan yang maksimal.

Meskipun jam tibanya di lokasi mundur dari perkiraan karena kondisi jeep yang kurang memadai, seluruh peserta masih berkesampatan tiba di Bromo ketika kondisi masih benar-benar gelap.

Oh ya, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, jeep merupakan transportasi yang direkomendasikan menuju puncak Bromo. Oleh sebab itu, tidak heran jika setiba di puncak, jalanan persis seperti di Ibu kota. Macet cet cet!

Masih menurut si Abang supir, tak kurang dari 700 jeep beroperasi setiap harinya mengantar jemput penumpang dengan tujuan yang sama.

Kebayang kan lo? Tempat sekecil itu dipakai untuk 700 unit jeep? Padet dong kan? Belum lagi, ada saja pengunjung yang ngotot untuk menggunakan motor demi menyambangi tempat ini. Kalau motor trail sih ngga masalah, nah ini pada bawa motor bebek, matic dan sejenisnya. Hmmm... Kalau kata abang supir, itu terlalu nekat. 1 karena medan yang cukup "garang", 2 karena pada saat akan kembali, pengunjung tentu melewati padang pasir atau yang disebut dengan pasir berbisik yang jika dilalui dengan motor biasaya membuat ban selip dan mudah tergelincir.

Jangan gara-gara mau hemat, liburan malah berujung ke rumah sakit yaa..

Kembali ke laptop!

Bukit Kingkong namanya. Lokasi di mana kami diturunkan abang supir setelah berada di dalam jeep kurang lebih 5 jam. Karena menurutnya, bukit itu adalah spot terbaik untuk mendapatkan pemandangan sempurna dari Bromo yang menawan.

Hari masih gelap. 8C disertai dengan jalanan yang cukup menanjak. Nafas yang tak lagi terbiasa mau tak mau berupaya untuk terus beradaptasi dengan suhu yang diadapi kini. Jaket kian dieratkan, kupluk kian dibenamkan, dan tangan yang telah terbungkus sarung tangan tak lupa masuk ke dalam kantung jaket demi memaksimalkan rasa hangat. Bagi yang tak terbiasa, dingin itu cukup menyiksa. Semakin lelah, semakin tinggi kebutuhan Oksigen, maka semakin perih juga hidung ini menghirup udara yang super dingin itu.

Di tengah gelap, akhirnya, untuk pertama kali di tahun 2018, saya kembali menyaksikan lautan bintang di atas sana. Sesuatu yang mustahil untuk ditemukan di tengah hiruk pikuk ibu kota.

Sejam menanti, dari ufuk timur, mentari pagi perlahan mulai mengintip. Menimbulkan keriuhan di tengah ratusan pengunjung yang berkumpul di satu titik dan memberi segenap kesabarannya untuk menyaksikan keindahan Bromo yang rupawan.

Dan ya, saat yang dinanti tiba. Pagi telah menunjukkan wajahnya. Dari ketinggian, saya merasa tengah menyaksikan lautan awan menari-nari di bawah sana. Ya ampun, maklumlah yaa, baru pertama kali. Jadi agak norak gitu. Bodo amat! Ini luar biasa indahnya!

Menatap matahari terbit dari bukit Kingkong | Foto: Efa Butar butar
Menatap matahari terbit dari bukit Kingkong | Foto: Efa Butar butar
Puas menyaksikan matahari pagi yang tak pernah gagal membuat jatuh cinta, kami bergeser sedikit, mencari tahu Bromo yang sesungguhnya.

Tak jauh di belakang kami, itulah dia, lukisan yang selama ini hanya bisa saya nikmati dari foto-fotonya saja. Yang hanya bisa saya lihat di frame-frame baru yang dipajang toko di etalasenya. Gambar yang selama ini saya kira hanya akan saya nikmati dari layar komputer saja.

Mengabadikan diri di Bromo | Foto: G. Manihuruk
Mengabadikan diri di Bromo | Foto: G. Manihuruk
Bromo itu sungguh ada. Benar ada, dan sekarang berada di depan mata saya dengan begitu anggunnya. Entahlah, tidak heran jika pengunjung rela memberikan waktu dan materi untuk berada di tempat ini, semua lelah dan segala yang telah keluar itu sirna sudah. Tergantikan dengan keindahan yang tak akan pernah bisa terlupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun