"Perang abadi Guru VS Administrasi ini butuh solusi, bukan cuma revisi. Baca sampai habis, dan mari renungkan bersama."
...
Coba bayangin ini: seorang guru, dengan penuh semangat, datang ke sekolah membawa mimpi besar untuk mengubah dunia. Di tasnya, ada spidol warna-warni, rencana pembelajaran, dan harapan agar murid-muridnya tumbuh menjadi generasi emas penerus bangsa. Tapi apa yang menyambutnya di meja kerja? Tumpukan berkas administrasi setinggi gunung Semeru!
Guru, sang pejuang ilmu pengetahuan, kini bukan hanya bertarung di medan kelas. Mereka juga harus berjibaku di "medan tempur administrasi" yang penuh jebakan lembar kerja, laporan harian, RPP yang revisinya tiada akhir, hingga absensi yang harus dibuat serinci riset ilmiah.
Inspirator atau Juru Ketik?
Mari kita luruskan dulu, ya. Guru itu hakikatnya adalah inspirator. Mereka seharusnya punya ruang untuk berbicara dengan hati, membangun karakter, dan menyampaikan ilmu seperti pelukis yang melukis di kanvas kosong. Tapi sayangnya, tugas administrasi kadang mencabut kuas itu dari tangan mereka dan menggantinya dengan... stempel surat tugas dan lembar monitoring.
Kadang, ada guru yang berkata dalam hati, "Aku dulu bercita-cita jadi pendidik, bukan juru ketik." Namun, kenyataan berkata lain. Tumpukan laporan itu harus selesai, atau dunia pendidikan bisa runtuh... setidaknya itulah yang sering dikatakan oleh pihak-pihak yang gemar mencetak form baru setiap minggu.
Waktu untuk Murid Berkurang?
Mari kita hitung. Dalam sehari, guru punya waktu 24 jam. Sepuluh jam di sekolah, delapan jam untuk tidur (kalau beruntung), dan sisanya? Dibagi antara mengoreksi tugas, menyiapkan materi, serta---tentu saja---mengerjakan administrasi. Apa akibatnya? Waktu untuk fokus pada murid jadi terkikis. Padahal, interaksi langsung dengan murid adalah inti dari pendidikan itu sendiri.
Sebuah penelitian dari jurnal Teaching and Teacher Education (Dicke et al., 2015) menyebutkan,