Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Golok Buntet, Mahkota Maen Pukulan

8 September 2019   19:01 Diperbarui: 8 September 2019   19:10 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Maen pukulan (Silat) di Betawi sudah dikenal sejak zaman Kolonial Belanda. Golok adalah mahkotanya. Foto | Jakarta Kita

Bang Idris selalu hati-hati dalam mengambil keputusan. Undangan maen pukulan dalam acara buka palang pintu dipertimbangkan dengan cara bermunajat kepada Sang Maha Pencipta. Ia yakin sekali bahwa sekali keputusan diambil akan membawa resiko untuk hari-hari berikutnya.

Bukan kalah atau menang yang dicari pada acara itu. Maen pukulan, yang pada zaman sekarang disebut bersilat atau pencak silat, pada acara buka palang pintu memang dimaksudkan untuk memeriahkan sekaligus menghormati para tamu. Tapi, di balik itu, para jawara dari kulon memberi perhatian lebih pada penampilan Bang Idris.

Bang Idris, anak semata wayang Kiyai Toha memang belakangan ini sedang menjadi bahan sorotan. Selain ia pintar membaca Alquran dan memberi nasihat kepada para pemuda di Kampung Petir, juga jadi incaran gadis di kampung seberang. Ganteng sekali sih ia tidak, tetapi sopan santun dan tutur katanya itu kala bicara membuat cewek langsung klepar-kleper.

Bagi para jawara, yang menarik dari sosok Bang Idris adalah soal Golok Buntet. Ketika ia tampil dalam pentas maen pukulan, orang selalu memperhatikan kelebat golok putih mengkilap yang diayunkan si pemiliknya itu.

Soal itu, Bang Idris sejak lama sudah menyadari. Karena itulah, sesuai pesan orangtua, ia selalu berhati-hati dalam setiap pementasan.

"Maen pukulan itu bukan untuk jadi jago-jagoan. Tapi, memperkuat silaturahim dan melestarikan budaya kita. Tentu juga, di dalamnya, ada unsur menjaga kesehatan. Sebab, maen pukulan itu ada unsur olahraga selain seni keindahan," pesan Kiyai Toha yang selalu diingat Idris di setiap saat.

Lalu, Idris pun memberi jawaban undangan acara buka palang pintu setelah tiga malam Shalat Istiharoh, minta petunjuk-Nya.

Idris punya perasaan. Sekali ini maen pukulan pada acara itu bukan ajang untuk memeriahkan pengantenan, tetapi juga sudah ditunggangi pihak lain. Artinya, ada jawara ikut nimbrung, ikut-ikutan, untuk menguji kemampuan dirinya.

Ada yang ingin menjatuhkan dalam maen pukulan. Bukan saling menghormati. Pokoknya, pikir Idris, asal bisa jatuh deprok seja sudah bagus. Untuk mencederai sih, rasanya tak bakalan. Sebab, konsekuensinya bakal menyulut pertikaian sengit di antara para jawara maen pukulan.

Apalagi, Kiyai Toha, meski kini sudah sepuh, masih dihormati para jawara yang bercokol di sejumlah pasar di Jakarta. Pasar Induk Cipinang, Pasar Induk Kramatjati hingga Pasar Enjo dan Jangkrik sekalipun, semuanya "berkiblat" dan belajar dari Abah Toha.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun