Nah, kepiawaiannya dalam retorika di berbagai forum dan memutar balik kata, sejatinya bagi Pak Tua adalah sebuah permainan. Bisa jadi peristiwa yang terjadi itu dimaknai sebagai kenikmatan dalam hidupnya.
**
Jika kita mau membuka diri, jujur dan mengedepankan logika, sayogianya Pak Tua sudah harus mengambil posisi sebagai yang sebenar-benarnya orang tua. Kalau bisa sih mengasuh cucuk. Atau lebih kerennya menjadi penasihat, memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa.
Realitasnya, Pak Tua lebih suka menyaksikan kerumunan manusia berteriak dan terprovokasi oleh "api nafsu syahwat politik" dan mengorbankan rakyat kecil.
Jujur saja orang tua mana pun jika tak diingatkan memang sering marah. Padahal ia lupa. Apa lagi saat menyaksikan "pertarungan" di layar televisi. Kita saja pun demikian saat menyaksikan sebuah pertandingan final sepakbola Piala Dunia, misalnya.
Namun sebagai orang yang pernah memimpin organisasi kemasyarakatan Islam terbesar, termasuk jadi "komandan" partai "surga", Pak Tua atau Amien Rais pernah merasakan ikut larut dalam kerumunan manusia di Masjidil Haram.
Di sini, ketika mengenakan pakaian ihram, tentu Pak Tua sadar betul akan larangan-larangannya. Alangkah eloknya jika larangan itu kembali diingat-ingat sebagai bekal menghadapi hari kematian.
Sayogianya Amien Rais memandang kerumunan manusia bukan diarahkan seperti yang diskenariokan, membangun people power, tapi mengarahkan kumpulan manusia yang ikhlas untuk mencapai ridho Allah saat Ramadan ini. Ya, seperti kala berada di Masjidil Haram yang dimuliakan Allah.
Pak Tua, Amien Rais, kunantikan keikhlasannya untuk melakukan Taubatan Nasuha.
Â
Â
Â